KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan berfluktuasi dan cenderung mengalami pelemahan pada perdagangan akhir pekan ini. Rupiah diproyeksikan bergerak dalam rentang Rp15.410 hingga Rp15.500 per dolar AS. Pada penutupan perdagangan Kamis (03/10) rupiah melemah tajam sebesar 1,05% atau turun 160,5 poin ke level Rp15.428,5 per dolar AS.
Indeks dolar AS pada saat yang sama tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,19%, mencapai posisi 101,86. Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa beberapa faktor eksternal dan internal mempengaruhi pelemahan rupiah.
Dari faktor eksternal, data ketenagakerjaan dari ADP AS menunjukkan peningkatan tenaga kerja swasta pada September 2024 yang lebih tinggi dari perkiraan. Kondisi ini memperkuat pandangan positif terhadap ekonomi AS.
Di sisi lain, ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga turut memberi tekanan pada pasar, terutama terkait potensi terganggunya pasokan minyak mentah dunia dari wilayah tersebut. Situasi ini berdampak pada ketidakpastian harga energi global, yang kemudian mempengaruhi sentimen di pasar keuangan.
Secara domestik, Bank Indonesia (BI) memberikan sinyal untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan hingga akhir tahun 2024. Hal ini didorong oleh terkendalinya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah. Kebijakan pelonggaran moneter ini diharapkan dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional, terutama di sektor perbankan.
Penurunan suku bunga juga diharapkan dapat menekan biaya pinjaman (cost of fund), sehingga suku bunga kredit dapat turun dan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi.
Ibrahim memprediksi bahwa meskipun pergerakan rupiah diperkirakan fluktuatif, tekanan terhadap mata uang ini akan tetap besar, dengan kemungkinan rupiah ditutup melemah dalam rentang Rp15.410 hingga Rp15.500 per dolar AS.
Nlai tukar rupiah diperkirakan akan mengalami penguatan di akhir tahun 2024 seiring dengan tren penurunan suku bunga di dalam negeri. Namun, ia juga memperingatkan bahwa penguatan rupiah mungkin terbatas akibat ketidakpastian global, terutama terkait dengan situasi di Timur Tengah.
Faktor utama yang memengaruhi pergerakan rupiah adalah kombinasi dari kebijakan suku bunga The Fed dan dinamika geopolitik Timur Tengah.
Melihat kondisi itu, rupiah akan sulit untuk menembus level di bawah Rp15.000 per dolar AS, dengan kisaran nilai tukar diperkirakan berada di antara Rp15.300 hingga Rp15.800 hingga akhir tahun.
Sebelumnya diberitakan, Nilai tukar rupiah kembali mengalami pelemahan pada perdagangan Rabu (02/10) kemarin, dengan penurunan sebesar 62 poin atau 0,41 persen, ditutup pada level Rp15.268 per dolar AS setelah sebelumnya berada di level Rp15.206.
Pelemahan ini disebabkan oleh kombinasi sentimen global dan domestik, yang memengaruhi pergerakan nilai tukar. Termasuk Ketegangan geopolitik timur tengah.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa ketegangan geopolitik di Timur Tengah menjadi salah satu faktor utama penguatan dolar AS. Kekhawatiran muncul setelah Iran menembakkan lebih dari 180 rudal balistik ke Israel pada Selasa lalu sebagai balasan atas kampanye militer Israel terhadap sekutu Iran, Hizbullah, di Lebanon. Israel menyatakan bahwa serangan tersebut dapat memperluas konflik menjadi perang yang lebih luas.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengancam bahwa Iran akan menanggung akibat serangan rudalnya, sementara Teheran mengancam bahwa setiap pembalasan akan berujung pada “kehancuran besar.” Ketegangan ini meningkatkan kekhawatiran pasar, dengan Presiden AS Joe Biden yang memberikan dukungan penuh kepada Israel, dan Dewan Keamanan PBB dijadwalkan mengadakan pertemuan khusus terkait situasi ini.
Selain ketegangan di Timur Tengah, fokus pasar juga beralih ke data penggajian sektor swasta AS yang akan dirilis pada Rabu ini, yang dinilai sebagai indikator penting bagi pasar. Di sisi lain, perselisihan perburuhan di pelabuhan AS juga menjadi perhatian. Aksi mogok besar-besaran oleh pekerja dermaga di Pantai Timur dan Gulf Coast memicu kekhawatiran, karena hal ini menghentikan hampir setengah dari arus pengiriman laut AS.
Kondisi Manufaktur Domestik dan Global Lesu
Dari sisi domestik, Ibrahim juga menyoroti bahwa Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia masih terkontraksi, meski menunjukkan sedikit peningkatan. PMI manufaktur Indonesia tercatat di level 49,2 pada September 2024, naik tipis dari 48,9 pada bulan sebelumnya, namun tetap berada di bawah angka 50 yang menandakan kontraksi.
Lesunya sektor manufaktur ini tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga negara-negara lain seperti China, Australia, serta beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Vietnam yang mengalami penurunan tajam dari level 52 ke 47. Negara-negara di Eropa juga mencatat penurunan serupa, meskipun tidak seburuk Vietnam.
Meskipun sektor manufaktur masih berada di zona kontraksi, peningkatan tipis ini menunjukkan adanya optimisme di kalangan pelaku usaha dalam negeri. Ibrahim menilai bahwa ada potensi perbaikan di sektor manufaktur ketika kondisi makroekonomi global mulai pulih.
Namun, ia mencatat bahwa pelemahan manufaktur saat ini disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang lesu, sehingga perusahaan-perusahaan memilih mengurangi aktivitas pembelian dan menggunakan inventaris untuk menjaga biaya operasional tetap efisien.
Dampak Inflasi dan Deflasi Terhadap Perekonomian
Selain itu, Ibrahim juga mencatat bahwa tingkat inflasi Indonesia pada September 2024 mencapai 1,84 persen secara tahunan (year-on-year), sementara terjadi deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan (month-to-month).
Hal ini menjadikan Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut, dengan indeks harga konsumen (IHK) turun dari level 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024. Kelompok pengeluaran yang paling besar menyumbang deflasi adalah makanan, minuman, dan tembakau, dengan deflasi sebesar 0,59 persen dan kontribusi 0,17 persen.
Komoditas lain yang mempengaruhi inflasi termasuk ikan segar dan kopi bubuk, yang masing-masing memberikan andil sebesar 0,02 persen.
Lebih lanjut, Ibrahim menjelaskan bahwa komponen lain yang menyumbang inflasi adalah biaya kuliah perguruan tinggi dan sigaret kretek mesin.
Sementara itu, proyeksi inflasi dari 29 ekonom menunjukkan bahwa inflasi tahunan di Indonesia akan mereda, dengan perkiraan nilai tengah inflasi September 2024 sebesar 2,00 persen, turun dari posisi Agustus yang tercatat sebesar 2,12 persen year-on-year.
Dengan kombinasi faktor global dan domestik ini, rupiah diperkirakan masih akan menghadapi tekanan dalam beberapa waktu ke depan, terutama jika ketidakpastian geopolitik dan kondisi manufaktur global belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan signifikan.
Diketahui, baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi Indonesia. Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam keterangan resminya, Selasa (01/10) menekankan bahwa deflasi ini adalah yang paling signifikan jika dibandingkan dengan bulan-bulan yang sama dalam lima tahun terakhir.
“Deflasi bulan September 2024 ini merupakan yang terdalam dibandingkan bulan yang sama dalam lima tahun terakhir, dengan angka deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan,” kata Amalia.
Deflasi ini melanjutkan tren yang sudah terjadi sejak Mei 2024, di mana Indonesia mulai mencatat deflasi sebesar 0,03 persen. Kondisi ini terus memburuk pada bulan-bulan berikutnya dengan deflasi sebesar 0,08 persen pada Juni 2024, kemudian mencapai puncaknya di 0,18 persen pada Juli 2024.
Meski Agustus 2024 sempat menunjukkan perbaikan dengan deflasi kembali ke level 0,03 persen, pada September 2024 deflasi kembali memperdalam hingga 0,12 persen.
Penyebab Utama Deflasi: Penurunan Harga Komoditas Bergejolak
Menurut Amalia, deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini terutama disebabkan oleh penurunan harga komoditas yang tergolong bergejolak, seperti bahan bakar non-subsidi dan beberapa komoditas makanan.
Ia mencatat bahwa harga bensin dan solar turun tajam pada September 2024, yang berdampak langsung pada angka deflasi.
“Penurunan harga BBM pada bulan September, terutama untuk bahan bakar khusus non-subsidi seperti bensin dan solar, berkontribusi besar terhadap deflasi. Bensin mencatat deflasi sebesar 0,72 persen, sedangkan solar mencapai 0,74 persen,” jelas Amalia.
Penurunan harga bensin ini menyumbang andil deflasi sebesar 0,04 persen, menjadikannya deflasi terdalam sejak Desember 2023.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau juga menjadi penyumbang utama deflasi pada September 2024. Kelompok ini mencatat deflasi sebesar 0,59 persen, dengan kontribusi terhadap deflasi keseluruhan mencapai 0,17 persen. Beberapa komoditas dalam kelompok ini, seperti cabai dan beras, mengalami penurunan harga yang signifikan, turut menekan inflasi.