kabarbursa.com
kabarbursa.com

Rupiah Melemah di Awal 2025, Menkeu Prediksi Tren Penguatan Dolar AS Berlanjut

Rupiah Melemah di Awal 2025, Menkeu Prediksi Tren Penguatan Dolar AS Berlanjut
Mata uang dolar AS dan rupiah (Dok : int).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Memasuki tahun 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menghadapi tekanan signifikan.

Rupiah bahkan melemah hingga menembus level psikologis Rp16.000 per dolar AS. Pelemahan ini terjadi seiring penguatan dolar AS yang diperkirakan akan terus berlangsung sepanjang tahun.

Pemprov Sulsel

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan tren penguatan dolar AS akan terus memberikan tekanan pada mata uang dunia lainnya, termasuk rupiah.

Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (24/1), Sri Mulyani menjelaskan bahwa indeks mata uang dolar AS saat ini berada dalam tren kenaikan yang kuat.

“Indeks dolar AS terus menunjukkan penguatan, dan ini menambah tekanan bagi mata uang dunia lainnya, termasuk rupiah,” ujar Sri Mulyani.

Menurutnya, penguatan dolar AS dipicu oleh sejumlah faktor, salah satunya kebijakan tarif impor yang terus didorong oleh Presiden AS Donald Trump.

Kebijakan ini berdampak pada ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed), sehingga memicu potensi gejolak di pasar keuangan global.

“Kebijakan tarif yang diterapkan memengaruhi ekspektasi terhadap suku bunga The Fed. Penurunan suku bunga menjadi lebih terbatas karena inflasi masih tertahan akibat kebijakan tersebut,” jelasnya.

Dari sisi fiskal, Sri Mulyani juga menyoroti langkah ekspansif yang dilakukan Amerika Serikat. Kebijakan ini mendorong imbal hasil (yield) obligasi AS, baik untuk tenor jangka pendek maupun panjang, tetap tinggi.

“Tekanan politik global yang meningkat, ditambah dengan preferensi investor yang tinggi terhadap aset-aset keuangan AS, menjadi pendorong penguatan indeks dolar AS,” tambahnya.

Meski demikian, Sri Mulyani menilai pelemahan rupiah sejauh ini masih terkendali. Hingga 23 Januari 2025, rupiah tercatat melemah 1,14 persen. Namun, menurutnya, posisi ini masih lebih baik dibandingkan situasi akhir 2024.

“Nilai tukar rupiah kita justru menunjukkan penguatan terhadap mata uang negara maju selain dolar AS, dan stabil terhadap mata uang negara berkembang lainnya,” ungkapnya.

Sri Mulyani juga memuji langkah stabilisasi yang dilakukan Bank Indonesia, yang berhasil menjaga arus masuk modal asing tetap berlanjut. Hal ini turut didukung oleh imbal hasil instrumen keuangan domestik yang masih menarik, serta prospek ekonomi Indonesia yang tetap tangguh.

“Cadangan devisa kita pada akhir Desember 2025 tercatat sebesar USD 155,7 miliar, setara dengan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah,” tutupnya.

Disisi lain, Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memiliki peluang besar untuk menguat.

Hal ini disampaikan oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Jumat (24/01) kemarin.

Menurut Perry, stabilitas nilai tukar merupakan prioritas utama untuk menjaga inflasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta memperkuat stabilitas sistem keuangan.

“Kami melihat rupiah memiliki peluang besar untuk menguat, bahkan jika dibandingkan dengan mata uang negara maju dan kawasan regional. Stabilitas ini menjadi dasar penting bagi penguatan nilai tukar ke depan,” ujar Perry.

Ia menjelaskan, potensi penguatan rupiah sangat bergantung pada sejumlah faktor, termasuk pergerakan indeks dolar AS (DXY) dan aliran masuk investasi ke pasar keuangan domestik.

Perry mencontohkan, pada triwulan III tahun lalu, nilai tukar rupiah menunjukkan penguatan signifikan berkat arus masuk investasi sebesar Rp 60,7 triliun ke Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 54,2 triliun ke Sertifikat Bank Indonesia (SRBI).

“Kondisi ini menunjukkan bahwa inflow investasi sangat menentukan penguatan nilai tukar. Selain itu, implementasi kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Sumber Daya Alam (SDA) juga diharapkan dapat mendukung stabilitas rupiah ke depan,” jelas Perry.

Untuk informasi, Mengutip data Bloomberg, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS di pasar spot Jumat (24/01) sore kemarin, ditutup menguat.

Mata uang garuda ditutup pada level Rp 16.171,5 per dollar AS atau menguat 0,69 persen (112 poin) dibandingkan dengan penutupan sebelumnya Rp 16.283,5.

Sementara itu, mengacu pada kurs tengah Jisdor, nilai tukar rupiah pada Jumat (24/1/2025) berada di level Rp 16.200 per dollar AS, atau menguat dibandingkan hari Kamis (23/1/2025) berada di level Rp 16.276 per dollar AS.

Sebelumnya diberitakan, Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan bergerak fluktuatif pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (24/01), dengan kecenderungan ditutup melemah.

Mengacu data Bloomberg, rupiah terpantau melemah 4 poin atau 0,03% ke level Rp16.283,5 per dolar AS pada perdagangan Kamis (23/01) kemarin.

Sementara itu, indeks dolar AS menunjukkan penguatan sebesar 0,19% dan mencapai posisi 108,36.

Kondisi ini tidak hanya memengaruhi rupiah, tetapi juga menyeret mayoritas mata uang Asia lainnya. Yen Jepang melemah tipis 0,05%, yuan China turun 0,14%, dan won Korea Selatan tertekan hingga 0,31%.

Mata uang lain seperti rupee India, ringgit Malaysia, dan baht Thailand masing-masing mencatat pelemahan sebesar 0,21%, 0,36%, dan 0,32%.

Dampak Kebijakan Trump terhadap Pasar Global

Tekanan terhadap rupiah dan mata uang Asia lainnya turut dipengaruhi oleh dinamika politik dan ekonomi global, terutama kebijakan ekonomi Amerika Serikat.

Presiden AS Donald Trump yang baru saja dilantik memberikan sinyal untuk menerapkan tarif baru sebesar 10% terhadap impor dari China mulai 1 Februari mendatang.

Selain itu, Trump juga mengancam tarif tambahan untuk Uni Eropa serta Kanada dan Meksiko, dengan besaran mencapai 25%.

Trump juga mengumumkan langkah-langkah agresif lainnya, seperti mengenakan tarif kepada Tiongkok atas impor fentanil yang disebut sebagai ancaman bagi AS.

Tidak hanya itu, pemerintahannya mendeklarasikan keadaan darurat energi nasional. Langkah ini memungkinkan pengurangan pembatasan lingkungan dalam proyek infrastruktur dan energi, termasuk mempercepat pembangunan pipa dan jaringan transmisi baru.

Pengamat forex, Ibrahim Assuaibi, menyebut kebijakan ini menambah ketidakpastian di pasar global.

“Meski ada upaya untuk meningkatkan produksi energi AS, banyak analis meragukan dampak signifikan dalam waktu dekat, terutama di tengah volatilitas pasar yang tinggi,” jelas Ibrahim dalam keterangannya pada Kamis (23/01).

Optimisme Domestik di Tengah Ketidakpastian Global

Di tengah tekanan eksternal, Bank Indonesia (BI) tetap optimistis terhadap prospek perekonomian Indonesia. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2025 berada di kisaran 4,7% hingga 5,5%, didorong oleh tren positif berbagai indikator makroekonomi. Pada 2026, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan meningkat lebih lanjut menjadi 4,8% hingga 5,6%.

BI juga menargetkan inflasi tetap terkendali pada kisaran 2,5% ±1% sejalan dengan kebijakan moneter yang diambil. Baru-baru ini, BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75% sebagai langkah untuk memberikan stimulus tambahan bagi pertumbuhan ekonomi.

“Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sekaligus mempercepat pemulihan ekonomi domestik. Digitalisasi di sektor keuangan mikro dan sistem transaksi pemerintah juga menjadi prioritas utama untuk mendukung percepatan pertumbuhan,” ujar Ibrahim.

Pergerakan Pasar di Awal Hari

Mengawali perdagangan Jumat (24/1/2025), rupiah terpantau menguat sebesar 0,37% atau 60,5 poin ke level Rp16.223 per dolar AS. Di sisi lain, indeks dolar AS bergerak menguat tipis 0,011% ke level 108,17 pada pukul 09.00 WIB.

Namun, dinamika mata uang Asia lainnya masih menunjukkan pola yang bervariasi. Yen Jepang melemah 0,17%, won Korea Selatan turun 0,12%, sementara rupee India dan dolar Singapura masing-masing melemah sebesar 0,12% dan 0,01%. Sebaliknya, peso Filipina dan yuan China menunjukkan penguatan masing-masing sebesar 0,25% dan 0,09%.

Pasar mata uang diperkirakan akan terus menghadapi tekanan hingga akhir pekan, terutama dengan adanya kebijakan ekonomi AS yang semakin proteksionis. Bagi investor, langkah antisipasi sangat diperlukan untuk memitigasi risiko dari ketidakpastian global yang kian kompleks.