kabarbursa.com
kabarbursa.com

Rupiah Kian Terpuruk, Tantangan Besar Menanti di 2025

Rupiah Kian Terpuruk, Tantangan Besar Menanti di 2025
Ilustrasi rupiah (Dok : Int).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah berhasil mencatat rebound tipis pada penutupan perdagangan Jumat (20/12) kemarin setelah sebelumnya tertekan lebih dari 1% pada hari Kamis. Rupiah menguat 0,59% ke level Rp16.194 per dolar AS, berdasarkan data Refinitiv.

Sepanjang hari, rupiah bergerak fluktuatif. Nilai terendah tercatat di Rp16.185, sementara level tertinggi mencapai Rp16.305 per dolar AS. Meski berhasil rebound, secara mingguan rupiah tetap terkoreksi cukup dalam, mencatat pelemahan sekitar 1,25%.

Pemprov Sulsel

Faktor Penggerak: Pelemahan Dolar AS

Penguatan rupiah pada hari ini didukung oleh pelemahan Indeks Dolar AS (DXY) yang turun 0,16% ke level 108,231. Kondisi ini memberikan ruang bagi penguatan sejumlah mata uang, termasuk rupiah.

Selain itu, intervensi aktif Bank Indonesia melalui pasar spot, pasar NDF domestik, dan pasar Surat Berharga Negara (SBN) turut membantu stabilisasi nilai tukar.

Menurut data Bloomberg pada pukul 12:03 WIB, rupiah berada di Rp16.280/US$, sempat menyentuh Rp16.258/US$. Namun, penguatan ini belum signifikan, hanya 0,06%.

Jika posisi ini bertahan hingga penutupan, rupiah berpotensi mencatat pelemahan mingguan 1,75%, menjadikannya salah satu yang terlemah di Asia setelah yen Jepang, yang melemah 2,20%.

Dinamika Regional dan Pasar Saham

Di tengah pelemahan dolar AS, beberapa mata uang Asia juga menunjukkan penguatan tipis, seperti yen Jepang (0,22%), peso Filipina (0,14%), dan dolar Singapura. Namun, sejumlah mata uang lain, seperti won Korea Selatan dan baht Thailand, masih tertekan.

Penguatan rupiah juga sejalan dengan optimisme di pasar saham. IHSG pada sesi pertama perdagangan ditutup naik 0,26%, menunjukkan sentimen positif yang mulai bangkit. Sementara di pasar obligasi, imbal hasil SBN tenor 10 tahun turun tipis ke 7,063%, meski tenor lainnya masih mencatat kenaikan kecil.

Tantangan 2025: Era “Kenormalan Baru” Rupiah di Level Rp16.000-an
Dengan posisi rupiah di kisaran Rp16.000-an per dolar AS, para analis memproyeksikan bahwa level ini bisa menjadi “kenormalan baru” bagi Indonesia memasuki tahun 2025.

Pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat, dengan kebijakan proteksionisme “America First” dan potensi defisit fiskal besar, diprediksi akan mendorong penguatan dolar AS lebih lanjut.

Imbal hasil surat utang AS yang tinggi serta ancaman skenario Perang Dagang 2.0 juga akan menambah tekanan bagi mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Dalam riset JP Morgan, Indonesia dihadapkan pada prospek lingkungan suku bunga global yang lebih tinggi dan potensi tekanan fiskal domestik.

Meski begitu, langkah-langkah intervensi Bank Indonesia serta kebijakan fiskal yang lebih terukur diharapkan mampu menjaga stabilitas rupiah di tengah tantangan global yang semakin kompleks.

Sebelumnya diberitakan, Nilai tukar rupiah yang melemah hingga menyentuh level Rp 16.000 per dolar AS pada Rabu (13/12) langsung direspons cepat oleh Bank Indonesia (BI). Demi menahan pelemahan lebih lanjut, BI melakukan strategi triple intervention yang cukup agresif.

Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Edi Susianto, menjelaskan bahwa intervensi dilakukan di tiga pasar utama, yaitu pasar spot, pasar forward non-deliverable domestik, dan pasar obligasi pemerintah.

“Kami melakukan intervensi rangkap tiga untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan pasar,” ujar Edi.

Edi menambahkan, langkah ini menjadi upaya BI untuk menjaga kepercayaan pelaku pasar terhadap rupiah di tengah tekanan sentimen global.

“Tentu kami akan terus mengawal pergerakan rupiah untuk memastikan market confidence tetap terjaga,” katanya.

Ia juga mengungkapkan bahwa pelemahan rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti data inflasi Amerika Serikat (AS) yang meningkat dan ketegangan geopolitik antara China dan Taiwan.

“Dolar AS indeks (DXY) tadi malam menguat ke level sekitar 107, seiring rilis data CPI AS yang menunjukkan kenaikan, serta eskalasi geopolitik yang memperburuk sentimen,” jelas Edi.

Meski demikian, BI berkomitmen untuk terus hadir di pasar guna menjaga stabilitas nilai tukar dan mengurangi tekanan dari volatilitas global. Langkah ini menjadi bukti keseriusan BI dalam menghadapi tantangan ekonomi saat ini.

Diketahui, nilai tukar rupiah melemah 64 poin atau turun 0,40 persen ke level Rp 16.008 per dolar AS pada akhir perdagangan pekan ini. Posisi ini lebih rendah dibandingkan penutupan sebelumnya di Rp 15.944 per dolar AS.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, memprediksi rupiah akan tetap bergerak fluktuatif pada awal pekan depan, dengan potensi berada di kisaran Rp 15.090 hingga Rp 16.070.

Menurut Ibrahim, pelemahan rupiah kali ini salah satunya dipengaruhi oleh sentimen negatif dari langkah stimulus ekonomi agresif yang diambil oleh Cina.

“Investor merasa kecewa terhadap hasil dari Konferensi Kerja Ekonomi Pusat (CEWC) Cina. Kebijakan yang diumumkan, seperti peningkatan defisit anggaran, penerbitan utang, dan pelonggaran moneter, dinilai belum cukup memberikan dorongan langsung pada ekonomi Cina yang sedang tertekan,” jelas Ibrahim.

Selain itu, Cina memutuskan beberapa target ekonomi, termasuk pertumbuhan, defisit anggaran, dan penerbitan utang, yang baru akan diumumkan secara resmi pada Maret mendatang. Ketidakpastian ini semakin menambah keraguan pasar global.

Dari sisi Amerika Serikat, data inflasi yang masih tinggi serta ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 25 basis poin turut membebani rupiah.

Ibrahim memandang pasar mulai skeptis terhadap rencana jangka panjang The Fed terkait kebijakan suku bunga, terutama karena ekonomi AS masih menunjukkan daya tahan yang kuat di bawah tekanan global.

“Meski suku bunga sudah dipangkas hingga 75 basis poin sepanjang 2024, The Fed diperkirakan akan memperlambat penurunan suku bunga pada akhir 2025. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi AS di tengah tekanan inflasi,” tambah Ibrahim.

Tak hanya dari AS, keputusan suku bunga dari Bank Sentral Jepang dan Inggris juga akan menjadi perhatian pasar minggu depan. Faktor-faktor eksternal ini menunjukkan bahwa perjalanan rupiah masih akan diwarnai volatilitas dalam waktu dekat.

Kondisi rupiah saat ini yang mencapai Rp16.000 sesuai dengan prediksi pengamat.

Sebelumnya, segera beradaptasi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Tanpa langkah konkret, proyeksi pelemahan hingga Rp16.000 per dolar AS bisa menjadi kenyataan yang tak terelakkan.

Untuk informasi, Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dipengaruhi oleh sentimen global dan domestik yang beragam. Data terbaru dari Bank Indonesia (BI) mengenai suku bunga acuan dan penantian rilis transaksi berjalan serta Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menjadi sorotan utama pelaku pasar.

Dalam keputusan terakhirnya, BI mempertahankan suku bunga acuan di level 6%. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa langkah ini diambil untuk menjaga inflasi tetap dalam target pemerintah sebesar 2,5% plus minus 1% pada 2024 dan 2025, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Kami akan terus memperhatikan pergerakan nilai tukar rupiah, prospek inflasi, dan dinamika kondisi global maupun domestik untuk menentukan langkah kebijakan moneter selanjutnya,” ujar Perry.

Ketegangan geopolitik global semakin memengaruhi pasar mata uang. Lonjakan indeks dolar AS (DXY) terjadi setelah Ukraina melancarkan serangan ke wilayah Bryansk, Rusia, menggunakan senjata jarak jauh buatan AS, Army Tactical Missile System (ATACMS). Eskalasi konflik ini memperkuat posisi dolar AS di pasar global sebagai aset safe haven, sekaligus melemahkan rupiah.

Kondisi ini diperburuk oleh ketidakpastian politik di AS yang menciptakan tekanan tambahan pada pasar keuangan global. Investor semakin berhati-hati, sementara permintaan terhadap dolar AS terus meningkat.

Pelaku pasar kini menantikan rilis angka transaksi berjalan dan NPI oleh BI. Data ini akan menjadi indikator penting untuk menilai arus dana asing di Indonesia. Jika hasilnya menunjukkan perbaikan, potensi aliran dana asing kembali ke pasar domestik bisa meningkat. Sebaliknya, jika data tersebut mengecewakan, pelemahan rupiah bisa berlanjut.

Rilis data ini juga akan menjadi bahan evaluasi bagi investor untuk menentukan strategi investasi mereka di tengah ketidakpastian yang melingkupi pasar keuangan global.

Di tengah gejolak ini, langkah BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah menjadi krusial. Perry menegaskan bahwa bank sentral akan terus memantau perkembangan global dan domestik untuk memastikan stabilitas moneter dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.