KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 0,99% atau turun 15 poin, menutup perdagangan Senin (30/09) di level Rp15.140 per dolar AS. Meski begitu, rupiah masih menunjukkan penguatan sebesar 2,54% selama sebulan terakhir dan melonjak 7,8% dalam tiga bulan terakhir.
Pelemahan rupiah terjadi bersamaan dengan mata uang lain seperti yen Jepang (-0,17%), rupee India (-0,11%), yuan China (-0,05%), dan dolar Taiwan (-0,2%).
Di sisi lain, beberapa mata uang Asia berhasil menguat terhadap dolar AS. Dolar Singapura naik tipis 0,01%, peso Filipina menguat 0,05%, dan ringgit Malaysia naik 0,08%. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka melemah 0,03% ke posisi Rp15.130 per dolar AS, di saat indeks dolar AS naik 0,06% ke level 100,172.
Tekanan Outflow Asing Memburuk, Didorong Stimulus China
Melemahnya rupiah disebabkan oleh aliran modal asing keluar dari pasar domestik, yang kian memperburuk posisinya. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa pada periode 23-26 September 2024, investor asing melakukan penjualan bersih sebesar Rp9,73 triliun.
Aliran dana asing keluar (outflow) ini didorong oleh optimisme terhadap stimulus ekonomi China, yang membuat investor lebih memilih untuk memindahkan dana mereka ke pasar keuangan China. Investor asing tercatat menjual saham senilai Rp2,88 triliun, sementara di pasar Surat Berharga Negara (SBN), aksi jual neto mencapai Rp1,30 triliun. Di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), tercatat penjualan sebesar Rp5,55 triliun.
Tekanan terhadap rupiah kian besar seiring meningkatnya ketidakpastian global. Meski secara keseluruhan, investor asing masih mencatatkan pembelian bersih sepanjang tahun 2024, aksi jual dalam beberapa pekan terakhir telah menciptakan sentimen negatif terhadap mata uang RI.
Fokus Investor: Rilis Data Inflasi dan PMI Manufaktur
Pasar saat ini menantikan rilis data penting yang dapat memengaruhi pergerakan rupiah. Pada hari ini, akan dirilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk periode September 2024. Konsensus pasar memprediksi deflasi bulanan sebesar 0,035% (month-on-month), yang menandai deflasi lima bulan berturut-turut.
Secara tahunan, inflasi diperkirakan melandai ke level 1,975%, lebih rendah dibandingkan inflasi Agustus yang tercatat di angka 2,12%. Jika deflasi kembali terjadi, ini akan menjadi salah satu periode terburuk dalam sejarah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Selain itu, data Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur RI oleh S&P Global juga akan dirilis hari ini. Konsensus memperkirakan PMI akan berada di level 49,5, menandakan sektor manufaktur masih berada di zona kontraksi.
The Fed Beri Sinyal Kebijakan Suku Bunga
Dari eksternal, pernyataan Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell, turut mempengaruhi sentimen pasar. Powell menyatakan bahwa bank sentral AS kemungkinan akan terus menurunkan suku bunga sebesar seperempat persen secara bertahap.
Meskipun begitu, The Fed tidak terburu-buru dalam mengambil langkah lebih lanjut, seiring data baru yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi AS yang stabil.
Powell menegaskan bahwa prioritas utama tetap menjaga inflasi menuju target 2%, sambil mempertahankan tingkat pengangguran yang rendah. Pernyataan ini berpotensi memengaruhi arus modal global dan pergerakan nilai tukar rupiah.
Secara teknikal, rupiah terhadap dolar AS bergerak dalam pola konsolidasi dengan support di level Rp15.075/USD dan resistance di Rp15.165/USD. Support ini diambil dari titik terendah yang tercapai pada 20 September 2024, sementara resistance didasarkan pada rata-rata pergerakan selama 100 jam (MA100).
Penguatan rupiah akan menghadapi tantangan di level support tersebut, sementara pelemahan lebih lanjut dapat terjadi jika rupiah menembus resistance pada level Rp15.165/USD.
Dalam jangka pendek, pergerakan rupiah akan sangat dipengaruhi oleh rilis data ekonomi domestik dan sentimen global.
Pelemahan rupiah pada perdagangan Senin (30/09) dipicu oleh keluarnya modal asing dan ketidakpastian global. Investor kini menantikan rilis data inflasi dan kinerja manufaktur Indonesia, yang akan menjadi faktor kunci dalam menentukan arah pergerakan rupiah di pasar keuangan.
Sentimen global, termasuk kebijakan suku bunga The Fed dan stimulus ekonomi China, juga akan terus memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah.