KabarMakassar.com — Pada perdagangan hari ini, Senin (4/11),’nilai tukar rupiah diprediksi akan bergerak fluktuatif namun berpotensi ditutup melemah terhadap dolar AS, berada di kisaran Rp15.720 hingga Rp15.790 per dolar AS.
Kondisi ini mengikuti tren pelemahan yang sudah berlangsung selama dua minggu berturut-turut, di mana pada penutupan perdagangan Jumat (1/11), rupiah berada di posisi Rp15.715 per dolar AS, turun sebesar 0,16% dalam sehari dan terkoreksi hingga 0,51% sepanjang pekan lalu.
Pelemahan rupiah terutama dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal yang menekan kinerja mata uang Garuda, terutama dari penguatan indeks dolar AS (DXY).
Dalam lima pekan terakhir, DXY terus bergerak di zona hijau, menunjukkan kekuatan dolar AS yang meningkat seiring kecenderungan investor global untuk beralih ke aset safe haven di tengah ketidakpastian global, khususnya menjelang pemilihan umum di Amerika Serikat dan pengumuman kebijakan moneter dari The Federal Reserve (The Fed) pada 7 November.
Pada perdagangan terakhir, indeks dolar AS naik 0,41% ke level 104,31, posisi tertinggi sejak awal Agustus 2024. Kenaikan ini mencerminkan kekhawatiran pasar atas kondisi global yang mendorong pelaku pasar beralih ke aset-aset aman, termasuk dolar AS.
Tekanan ini semakin memperlemah rupiah, yang terus berada dalam tren konsolidasi antara level support di Rp15.690 per dolar AS dan resistance di Rp15.780 per dolar AS. Level support ini beberapa kali diuji dalam pergerakan pada 30 Oktober hingga 1 November, sementara level resistance teridentifikasi pada 29 Oktober.
Faktor Domestik yang Berpotensi Mempengaruhi Pergerakan Rupiah
Di dalam negeri, pelaku pasar juga menantikan sejumlah data ekonomi penting yang dapat memengaruhi pergerakan rupiah pekan ini. Data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 menjadi salah satu fokus utama.
Konsensus pasar yang dihimpun dari berbagai institusi memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,03% secara tahunan (year-on-year/yoy), namun melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,1%. Secara kuartalan (quartal-to-quartal/qtq), pertumbuhan diproyeksikan hanya mencapai 1,58%, menurun dari pertumbuhan kuartal II yang tercatat di angka 3,79%.
Perlambatan ini dipicu oleh melemahnya daya beli masyarakat dan konsumsi domestik, serta absennya hari besar keagamaan yang biasanya mendorong belanja konsumen. Jika data yang dirilis lebih rendah dari ekspektasi, hal ini bisa semakin memperberat tekanan pada rupiah.
Selain data PDB, pasar juga menunggu rilis data cadangan devisa dan indeks keyakinan konsumen. Cadangan devisa menjadi salah satu penopang utama stabilitas rupiah, terutama di tengah tekanan eksternal. Adanya pelemahan devisa dapat meningkatkan volatilitas dan mengurangi kemampuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas rupiah.
Dengan latar belakang tersebut, para analis memperkirakan bahwa rupiah akan tetap berada dalam tren pelemahan hingga akhir pekan ini. Tekanan yang datang dari penguatan dolar AS dan ketidakpastian global akan membuat pergerakan rupiah semakin sulit menembus level resistance di Rp15.780 per dolar AS.
Di sisi lain, jika terdapat dorongan positif dari data domestik yang lebih baik dari ekspektasi, rupiah mungkin akan mampu bertahan di atas support Rp15.690.
Secara teknikal, jika tekanan terhadap rupiah semakin kuat, level resistance baru dapat terbentuk, yang akan memperlemah potensi penguatan rupiah dalam jangka pendek. Meskipun demikian, potensi rebound masih terbuka, terutama jika rilis data ekonomi dari AS memberikan sinyal pelonggaran kebijakan moneter oleh The Fed pada pekan ini.
Di tengah ketidakpastian yang cukup tinggi ini, investor disarankan untuk berhati-hati dan memperhatikan sentimen-sentimen dari pasar global dan data ekonomi domestik yang dirilis pekan ini. Pergerakan dolar AS yang dipicu oleh ketidakpastian global dan potensi kebijakan The Fed akan menjadi faktor krusial dalam menentukan arah rupiah.
Dengan kondisi yang masih cenderung bearish, investor dan pelaku pasar diharapkan siap menghadapi fluktuasi yang mungkin terjadi, baik dari eksternal maupun internal.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus tertekan sepanjang pekan ini, mencerminkan kondisi yang semakin sulit bagi mata uang Garuda akibat penguatan dolar AS di tengah ketidakpastian global. Dalam perdagangan terakhir Jumat (1/11) kemarin, nilai rupiah ditutup melemah 0,16% ke posisi Rp15.715 per dolar AS, menurut data Refinitiv.
Dengan pelemahan ini, rupiah mencatat koreksi mingguan sebesar 0,51%, memperpanjang tren depresiasi yang sudah berlangsung dua minggu berturut-turut.
Penguatan dolar AS didorong oleh faktor eksternal yang kuat, termasuk penantian pelaku pasar terhadap pemilihan umum AS dan keputusan penting dari bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), yang dijadwalkan pada 7 November 2024.
Situasi ini menimbulkan lonjakan minat pasar pada aset safe haven, mendorong penguatan indeks dolar AS (DXY) yang mengalami kenaikan 0,41% ke level 104,31 pada Jumat kemarin. Level ini merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2024, menunjukkan apresiasi dolar AS dalam lima pekan berturut-turut.
Kondisi global yang tidak pasti semakin memperkuat posisi dolar AS, karena pelaku pasar cenderung menghindari risiko dengan berinvestasi pada aset yang lebih aman, seperti dolar AS.
Pemilu AS yang semakin dekat menciptakan suasana waspada, karena hasil pemilu diyakini akan memengaruhi kebijakan fiskal dan moneter AS ke depan. Di sisi lain, The Fed diperkirakan tetap memperketat kebijakan moneternya sebagai langkah untuk menjaga stabilitas ekonomi AS di tengah inflasi yang masih tinggi.
Di dalam negeri, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh tekanan inflasi yang kembali muncul pada Oktober 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sebesar 0,08% secara bulanan (month-to-month) pada Oktober, mengakhiri tren deflasi yang telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut. Inflasi tahunan kini mencapai 1,71%, sementara inflasi kalender (year-to-date) sebesar 0,82%.
Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia A. Widyasanti, menjelaskan bahwa peningkatan inflasi ini terutama disebabkan oleh kenaikan harga beberapa komoditas pangan yang menjadi kebutuhan utama masyarakat.
Komoditas yang paling mempengaruhi inflasi Oktober adalah emas perhiasan, minyak goreng, dan lauk-pauk. Kenaikan harga emas perhiasan, misalnya, memberikan kontribusi sebesar 0,06% pada inflasi bulan ini. Sektor pengeluaran yang paling berperan dalam inflasi adalah kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya, yang mengalami kenaikan sebesar 0,94%.
Lebih lanjut, BPS mencatat bahwa dari 38 provinsi di Indonesia, 28 provinsi mengalami inflasi pada Oktober. Inflasi tertinggi tercatat di Provinsi Maluku sebesar 0,65%, yang didorong oleh kenaikan harga komoditas pangan dan barang lainnya.
Sementara itu, Provinsi Maluku Utara mencatat deflasi terdalam sebesar 1,65%, menunjukkan bahwa tekanan harga di beberapa daerah masih terkontrol meskipun kenaikan harga pangan cukup merata di sejumlah wilayah.
Meskipun inflasi Oktober berada di angka 0,08%, yang secara nominal tergolong rendah, realisasi tersebut lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yang diperkirakan sebesar 0,03%.
Hal ini meningkatkan kekhawatiran bahwa kenaikan harga di sektor pangan dan komoditas utama lainnya dapat memicu inflasi lebih lanjut, yang pada gilirannya bisa menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Tekanan harga di sektor pangan dan meningkatnya inflasi inti mengindikasikan risiko yang lebih besar bagi stabilitas ekonomi domestik. Pasar saat ini memandang adanya potensi pelemahan lebih lanjut pada nilai tukar rupiah, terutama jika kondisi ketidakpastian global terus berlanjut dan inflasi domestik tidak dapat terkendali. Dengan harga komoditas yang cenderung meningkat, terutama di sektor pangan, stabilitas nilai tukar rupiah bisa menghadapi tantangan yang lebih berat dalam waktu dekat.
Secara keseluruhan, kombinasi dari penguatan dolar AS, ketidakpastian pemilu AS dan kebijakan moneter The Fed, serta kenaikan harga dalam negeri membuat pelaku pasar semakin berhati-hati.
Para pelaku pasar memperkirakan bahwa Bank Indonesia perlu mengambil langkah strategis untuk menjaga stabilitas rupiah. Langkah tersebut dapat mencakup intervensi pasar atau penyesuaian suku bunga, meskipun tindakan tersebut juga harus mempertimbangkan dampak pada pertumbuhan ekonomi yang saat ini juga menghadapi tekanan.
Pengamat ekonomi menilai bahwa jika situasi eksternal tidak berubah dan harga komoditas terus naik, risiko pelemahan rupiah akan semakin besar.
Untuk itu, stabilitas rupiah akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia dan juga langkah pemerintah dalam menjaga kestabilan harga pangan di dalam negeri.
Di sisi lain, Data yang dirilis pada Kamis (31/10) menunjukkan belanja konsumen AS naik tipis lebih banyak dari yang diharapkan pada September 2024. Hal ini menempatkan ekonomi pada lintasan pertumbuhan yang lebih tinggi menuju tiga bulan terakhir tahun ini.
Inflasi menurut ukuran yang ditargetkan The Fed, peningkatan indeks pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) dari tahun ke tahun, mencapai angka 2,1% pada September 2024. Angka ini turun dari 2,3% yang direvisi naik pada Agustus 2024, menurut laporan Departemen Perdagangan AS,
The Fed kemungkinan akan melanjutkan pemotongan biaya pinjaman jangka pendek AS sebesar 25 bps minggu depan, menurut taruhan para trader pada Kamis. Kontrak berjangka menempatkan peluang pemotongan sebesar 25 bps minggu depan pada 94,7%.
Intelijen Israel mengisyaratkan Iran tengah bersiap menyerang Israel dari wilayah Irak dalam beberapa hari mendatang, mungkin sebelum pemilihan presiden AS pada 5 November 2024, menurut laporan Axios mengutip dua sumber Israel yang tidak disebutkan namanya.
Serangan itu diperkirakan akan dilakukan dari Irak dengan menggunakan sejumlah besar pesawat nirawak (drone) dan rudal balistik, tambah laporan Axios.