kabarbursa.com
kabarbursa.com

Rupiah Diprediksi Lanjutkan Depresiasi Imbas Kebijakan Trump dan Data Ekonomi AS

Rupiah Diprediksi Lanjutkan Depresiasi Imbas Kebijakan Trump dan Data Ekonomi AS
Ilustrasi Rupiah (Dok : KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Rupiah diperkirakan masih akan berada di bawah tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (18/11). Penguatan mata uang AS didukung oleh solidnya data ekonomi dan ketidakpastian kebijakan perdagangan global yang berpotensi memperlemah mata uang Garuda lebih lanjut.

Kebijakan hawkish dari Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, semakin membebani rupiah. Dalam pernyataannya baru-baru ini, Powell mengindikasikan bahwa The Fed tidak akan terburu-buru menurunkan suku bunga lebih lanjut, menyusul data ekonomi AS yang masih menunjukkan ketahanan. Hal ini mendorong dolar AS ke level tertinggi dalam setahun terakhir.

Pemprov Sulsel

Di tengah minimnya data ekonomi penting dari dalam negeri, pasar mata uang cenderung bergerak wait and see. Saat ini, investor masih berhati-hati dengan risiko kebijakan perdagangan yang dapat memperkuat dolar AS.

Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, menjelaskan di sisi lain, rupiah mendapat sedikit dukungan dari stabilitas ekonomi China. mencatat bahwa pertumbuhan penjualan ritel China yang lebih tinggi dari perkiraan dan surplus neraca perdagangan yang bertahan selama 54 bulan berturut-turut memberikan sedikit angin segar bagi mata uang regional, termasuk rupiah.

Meskipun, menurut Ibrahim hal tersebut belum cukup untuk menahan dominasi dolar AS di pasar.

“Meskipun ekspor dan impor Indonesia mencatat angka yang kuat, rupiah tetap rentan karena dominasi dolar AS yang menguat akibat data ekonomi AS yang solid,” jelasnya.

Pada penutupan perdagangan Jumat (15/11), dolar AS menguat tajam di tengah meningkatnya ketidakpastian mengenai prospek suku bunga AS dalam jangka pendek. Mengutip data dari Bloomberg, rupiah ditutup melemah ke level Rp 15.874 per dolar AS, turun 0,07% secara harian dan 1,29% dalam sepekan terakhir.

Sementara itu, kurs referensi Jisdor dari Bank Indonesia juga mencatat pelemahan. Pada Jumat, rupiah berada di posisi Rp 15.873 per dolar AS, terkoreksi 0,09% dari hari sebelumnya dan melemah 1,38% sepanjang minggu.

Ibrahim memperkirakan, pada perdagangan Senin (18/11), rupiah akan bergerak dalam kisaran Rp 15.860 – Rp 15.940 per dolar AS.

Sebelumnya, nilai tukar rupiah kembali terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sepanjang pekan perdagangan 11-15 November 2024. Sentimen global yang tak menentu menjadi pemicu utama pelemahan ini, membuat mata uang Garuda tidak mampu mempertahankan kekuatannya.

Menurut data yang dirilis Bloomberg pada Sabtu (16/11), rupiah spot ditutup melemah sebesar 1,29% sepanjang pekan ini, mencapai level Rp15.874 per dolar AS.

Meski demikian, rupiah berhasil mencatatkan sedikit penguatan harian sebesar 0,07% pada penutupan perdagangan Jumat kemarin. Pelemahan pekan ini menjadi yang terburuk sejak 12 Agustus 2024, ketika rupiah sempat menyentuh level Rp15.950 per dolar AS.

Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang Asia lainnya juga mengalami tekanan. Sepanjang pekan ini, enam mata uang utama di kawasan Asia mencatatkan pelemahan lebih dari 1%. Yen Jepang (JPY), ringgit Malaysia (MYR), baht Thailand (THB), rupiah (IDR), dolar Singapura (SGD), dan dolar Taiwan (TWD) menjadi yang paling terpukul. Di sisi lain, won Korea Selatan (KRW) menjadi satu-satunya mata uang yang mampu bertahan dengan mencatatkan penguatan sebesar 0,11%.

Indeks dolar AS, yang mencerminkan nilai tukar dolar terhadap sekeranjang mata uang utama Asia, sempat terkoreksi tipis ke level 106,66 dari 106,67 pada penutupan perdagangan sehari sebelumnya. Namun, secara mingguan, indeks ini mencatatkan penguatan sebesar 1,58% dari posisi 105 pada akhir pekan lalu, menandakan dominasi dolar yang terus berlanjut.

Dari sisi domestik, tekanan terhadap rupiah semakin diperparah oleh keluarnya aliran modal asing dari pasar keuangan Indonesia. Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa selama periode transaksi 11-14 November 2024, terjadi arus keluar modal asing mencapai Rp7,42 triliun.

Aliran modal keluar ini terdiri dari penjualan bersih di pasar saham sebesar Rp4,12 triliun dan dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp3,65 triliun. Meski demikian, pasar surat berharga negara (SBN) masih mencatatkan arus masuk bersih senilai Rp0,35 triliun.

Secara kumulatif, sejak awal tahun hingga 14 November 2024, total aliran modal asing yang masuk ke Indonesia masih mencatat angka positif.

BI melaporkan, pasar saham memperoleh arus masuk bersih sebesar Rp30,88 triliun, pasar SBN sebesar Rp37,29 triliun, dan SRBI mencapai Rp192,98 triliun.

Kondisi rupiah yang melemah ini tidak lepas dari berbagai sentimen global yang bergejolak, seperti kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed) yang cenderung hawkish serta ketidakpastian politik di Amerika Serikat usai kemenangan Donald Trump dalam pemilu 2024.

Ekspektasi pasar bahwa The Fed akan memperlambat pemangkasan suku bunga turut memperkuat dolar, membuat tekanan terhadap mata uang negara berkembang seperti rupiah semakin besar.

Tekanan terhadap rupiah juga dipengaruhi oleh tingginya arus keluar modal akibat ketidakpastian global. Situasi ini menambah tantangan bagi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu.

Dengan sentimen global yang masih belum stabil, serta aliran modal asing yang berpotensi terus keluar, tantangan bagi rupiah masih cukup besar menjelang akhir tahun. Meski demikian, upaya pemerintah dan BI dalam menjaga stabilitas ekonomi makro diharapkan dapat membantu rupiah menemukan kembali pijakannya.

Para pelaku pasar kini menantikan langkah-langkah strategis dari Bank Indonesia untuk meredam gejolak nilai tukar, termasuk intervensi pasar yang lebih agresif serta kebijakan moneter yang adaptif untuk menjaga stabilitas rupiah.

Di tengah ketidakpastian ini, perhatian akan tertuju pada langkah-langkah yang diambil oleh otoritas moneter guna menjaga stabilitas keuangan dan mendorong kembali masuknya aliran modal asing ke pasar domestik.

Diketahui, Dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan performa luar biasa dengan menguat signifikan terhadap sejumlah mata uang global. Kenaikan ini terjadi di tengah ekspektasi pasar yang berubah setelah kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS 2024.

Berdasarkan data Refinitiv pada Jumat (15/11), indeks dolar AS (DXY) ditutup di level 106,69, meningkat tipis sebesar 0,02% dibandingkan penutupan sehari sebelumnya.

Posisi ini menjadi yang tertinggi dalam setahun terakhir, sejak November 2023. Selama sepekan, indeks dolar AS telah melonjak 1,61%, sementara dalam sebulan terakhir mencatatkan kenaikan sebesar 2,99%.

Ada beberapa alasan utama yang mendukung penguatan dolar AS. Pertama, kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS 2024 menciptakan ekspektasi baru di kalangan investor.

Trump telah lama dikenal dengan keinginannya untuk memperkuat nilai tukar dolar, dan pernyataannya yang mendukung dolar yang kuat tampaknya telah meningkatkan sentimen positif terhadap mata uang AS.

Selain itu, sikap hawkish yang kembali ditunjukkan oleh bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), juga menjadi katalis bagi penguatan dolar.

Sebelumnya, The Fed sempat bersikap dovish, yang mengecewakan pasar, namun kini mereka kembali memberikan sinyal untuk memperlambat penurunan suku bunga. Kebijakan ini didorong oleh pertumbuhan ekonomi AS yang tetap solid.

The Fed menyebutkan bahwa ekonomi AS tumbuh sebesar 2,8% pada kuartal III-2024, meskipun sedikit di bawah ekspektasi, namun masih lebih baik dibandingkan rata-rata pertumbuhan historis di kisaran 1,8%-2%. Proyeksi awal menunjukkan potensi pertumbuhan sebesar 2,4% pada kuartal IV-2024.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global, pasar tenaga kerja AS tetap menunjukkan ketahanan. Meskipun ada laporan yang kurang memuaskan pada Oktober 2024 terkait Non-Farm Payrolls (NFP) yang hanya bertambah 12.000 pekerjaan, angka ini merupakan level terendah sejak Desember 2020. Penurunan tersebut sebagian besar disebabkan oleh faktor eksternal seperti dampak badai dan pemogokan pekerja.

Meski begitu, tingkat pengangguran mencapai 4,1% pada September 2024, sedikit membaik dibandingkan puncaknya yang mencapai 4,3% pada Juli 2024. Ini menandakan adanya stabilisasi meskipun pasar tenaga kerja masih menghadapi beberapa tantangan.

Sementara itu, inflasi AS juga menjadi perhatian utama. Setelah mengalami tren penurunan, inflasi tercatat naik tipis menjadi 2,6% secara tahunan (year-on-year) pada Oktober, dari 2,4% di bulan sebelumnya. The Fed mencatat adanya kemajuan menuju target inflasi jangka panjang sebesar 2%, namun mencatat bahwa perjalanan masih jauh untuk mencapai stabilitas harga yang diharapkan.

Meskipun dolar AS terus mengalami penguatan, beberapa mata uang tetap lebih kuat jika dibandingkan dengan dolar. Dinar Kuwait mempertahankan posisinya sebagai mata uang terkuat di dunia, diikuti oleh dinar Bahrain dan riyal Oman. Mata uang-mata uang ini menunjukkan daya tahan yang luar biasa meskipun ada tekanan global dari penguatan dolar AS.

Dengan dolar yang terus menguat, hal ini memberikan tantangan bagi ekonomi global, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada perdagangan internasional. Kenaikan dolar dapat mempersulit negara-negara tersebut dalam memenuhi kewajiban utang berdenominasi dolar dan memperburuk defisit perdagangan mereka.

Penguatan dolar AS kali ini juga mencerminkan dinamika pasar keuangan global yang dipengaruhi oleh kebijakan politik dan ekonomi Amerika Serikat, yang berpotensi memengaruhi perekonomian dunia dalam beberapa bulan mendatang.