kabarbursa.com
kabarbursa.com

Rupiah dan IHSG Tersungkur di Awal Pekan Akibat Pengaruh Eksternal AS

Rupiah Merosot ke Level Rp15.912, Pelaku Pasar Pantau Kebijakan AS
Ilustrasi Rupiah (Dok : KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Awal perdagangan pekan ini dimulai dengan suram bagi rupiah dan bursa saham Indonesia, terutama disebabkan oleh kondisi eksternal dari Amerika Serikat. Pada Senin (10/6), kemarin, data dari Refinitiv mencatat rupiah melemah 0,62% ke Rp16.290/US$, mendekati level psikologis baru Rp16.300/US$ yang sebelumnya pernah dicapai selama pandemi Covid-19 empat tahun lalu.

Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) naik signifikan pada Jumat lalu (7/6) sebesar 0,75% dan hari ini meningkat lagi ke 105,19, naik 0,29%. Kondisi ini menekan pasar keuangan domestik yang juga diikuti oleh keluarnya dana asing dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan pasar saham.

Pemprov Sulsel

Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa dalam periode 3-6 Juni 2024, investor asing tercatat melakukan penjualan neto Rp0,66 triliun di pasar SBN dan Rp1,45 triliun di pasar saham. Selama tahun 2024 hingga 6 Juni, investor asing telah melakukan penjualan neto sebesar Rp36,02 triliun di pasar SBN dan Rp8,01 triliun di pasar saham.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mengalami penurunan signifikan, turun 0,63% ke 6.852, posisi terendah sejak 14 November 2023. Penurunan ini cukup mengkhawatirkan, terutama mengingat IHSG juga jatuh 1,1% pada akhir pekan lalu ke angka 6.897.

Penurunan ini sebagian besar dipicu oleh laporan data tenaga kerja AS yang lebih kuat dari perkiraan. Pada Jumat malam (7/6/2024), Departemen Ketenagakerjaan AS melaporkan bahwa jumlah pekerjaan di luar sektor pertanian meningkat menjadi 272.000 pada Mei 2024, jauh melebihi perkiraan konsensus yang hanya 185.000. Tingkat pengangguran juga naik sedikit menjadi 4%.

Kepala Penelitian Regional ING di Amerika, Padhraic Garvey, dikutip dari Reuters, mengatakan bahwa sulit bagi The Fed untuk memangkas suku bunga di tengah angka tenaga kerja yang tinggi. Kondisi ini berdampak negatif bagi aset berisiko, termasuk pasar saham global dan Indonesia, karena inflasi kemungkinan besar akan tetap tinggi, membuat The Fed sulit mencapai target inflasinya.