KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan penguatan tipis pada pembukaan perdagangan Rabu pagi (21/11). Rupiah tercatat naik 2,5 poin atau 0,02 persen, bertengger di level Rp15.842 per dolar AS. Meski hanya sedikit menguat, langkah positif ini menjadi sinyal stabilitas di tengah fluktuasi pasar global.
Dominasi Mata Uang Asia di Zona Hijau
Rupiah bukan satu-satunya mata uang Asia yang berjaya pagi ini. Sebagian besar mata uang regional turut mencatatkan penguatan. Ringgit Malaysia naik 0,11 persen, peso Filipina tumbuh 0,06 persen, won Korea Selatan bertambah 0,05 persen, dolar Singapura naik 0,04 persen, dan baht Thailand melaju 0,09 persen.
Namun, tidak semua mata uang Asia mencatat hasil serupa. Yen Jepang justru melemah 0,20 persen, sementara yuan China terkoreksi 0,10 persen.
Mata Uang Negara Maju Ikut Menguat
Tren positif juga terlihat pada mata uang negara-negara maju. Poundsterling Inggris mencatat kenaikan 0,06 persen, diikuti euro Eropa, franc Swiss, dan dolar Australia yang masing-masing menguat 0,04 persen dan 0,05 persen. Sementara itu, dolar Kanada stagnan tanpa perubahan signifikan.
Sentimen Global dan BI Menjadi Katalis
Pengamat Komoditas dan Mata Uang, Lukman Leong, menjelaskan bahwa penguatan rupiah kali ini didorong oleh sentimen data ekonomi Amerika Serikat. Data perumahan AS yang lebih lemah dari ekspektasi memberi tekanan pada dolar AS, membuka peluang bagi rupiah untuk menguat.
“Rupiah memiliki peluang untuk terus menguat terhadap dolar AS hari ini. Data ekonomi AS yang melemah menciptakan ruang bagi mata uang emerging markets, termasuk rupiah, untuk bergerak positif,” kata Lukman.
Selain itu, hasil rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan sore ini menjadi perhatian pelaku pasar. Pasar memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuannya untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah tekanan eksternal.
Lukman memproyeksikan nilai tukar rupiah bergerak di kisaran Rp15.775 hingga Rp15.875 per dolar AS sepanjang hari ini. “Stabilitas rupiah akan sangat bergantung pada hasil keputusan BI dan respons pasar terhadap sentimen global, khususnya terkait kebijakan moneter AS,” ujarnya.
Dengan sentimen global yang cukup positif dan ekspektasi kebijakan BI yang kondusif, mata uang Garuda diharapkan mampu mempertahankan posisinya atau bahkan melanjutkan penguatan. Namun, investor tetap perlu mencermati dinamika pasar yang bergerak cepat, terutama terkait data ekonomi dan kebijakan dari negara-negara maju.
Sebelumnya, Dari Dalam Negeri, investor masih wait and see hasil Rapat Dewam Gubernur (RDG) Bank Indoneeis yang akan dimulai pada hari ini, hingga besok Rabu (20/11), dan hasilnya akan diumumkan pada Rabu siange sekitar pukul 14:00 WIB.
Pelaku pasar menanti apakah BI akan kembali menahan suku bunga acuannya di tengah merananya rupiah dalam beberapa hari terakhir. Pada hari yang sama, BI akan merilis kebijakan terbaru dari deposit facility rate dan lending facility rate.
Sebagai catatan, pada Oktober lalu, BI menahan suku bunganya di level 6% dengan Suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.
“Keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5% pada 2024 dan 2025,” jelas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur di kantornya, Rabu (16/10) silam.
Kebijakan tersebut ditujukan juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi serta menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
“Fokus kebijakan moneter jangka pendek ini pada stabilitas nilai tukar rupiah karena meningkatnya ketidakpastian para keuangan global,” ujarnya.
Dari global, bank sentral China (People’s Bank of China/PBoC) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunganya di hari yang sama dengan RDG BI.
China lewat Loan Prime Rate (LPR) tenor satu dan lima tahun diperkirakan pasar masih akan menahan suku bunganya masing-masing sebesar 3,1% dan 3,6% setelah sebelumnya memangkas suku bunganya dari 3,35% dan 3,85%.
Untuk diketahui, LPR satu tahun memengaruhi pinjaman perusahaan dan sebagian besar pinjaman rumah tangga di China, sementara LPR lima tahun digunakan sebagai acuan untuk suku bunga hipotek.
Langkah ini sudah diperkirakan. Sebelumnya, Gubernur PBoC, Pan Gongsheng, telah mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga acuan pinjaman akan dipangkas 20 hingga 25 basis poin (bps).