KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah kembali tertekan pada penutupan perdagangan Rabu (06/11) kemarin, terdepresiasi 0,53% ke level Rp15.833 per dolar AS. Pelemahan mata uang Garuda ini tak lepas dari lonjakan tajam indeks dolar AS yang terus menguat, tercatat naik 1,56% menjadi 105,03 pada pukul 15:32 WIB.
Kondisi ini mencerminkan semakin menguatnya daya tarik dolar AS sebagai mata uang safe haven di tengah berbagai ketidakpastian global.
Sejak awal perdagangan, rupiah sudah menunjukkan tren pelemahan. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka turun 0,58% atau 91,5 poin di posisi Rp15.840 per dolar AS. Di sisi lain, indeks dolar AS menguat 1,18% di pagi hari, bergerak ke level 104,540.
Kenaikan dolar AS tidak hanya mempengaruhi rupiah, tetapi juga membuat hampir seluruh mata uang Asia melemah terhadap greenback. Yen Jepang turun 1,08%, dolar Singapura melemah 0,66%, baht Thailand terdepresiasi 0,65%, dan yuan China merosot 0,35%.
Pelemahan rupiah berlanjut hingga sesi pertama perdagangan. Pada pukul 13:59 WIB, rupiah berada di posisi Rp15.853 per dolar AS, turun 0,88%.
Di saat yang sama, indeks dolar AS justru semakin melesat 1,72% ke level 105,20, menandakan bahwa penguatan dolar AS masih cukup kuat.
Penguatan ini dipicu oleh berbagai faktor eksternal, termasuk data ekonomi AS yang menunjukkan ketahanan sektor-sektor ekonomi utama, serta ekspektasi pasar bahwa Federal Reserve (The Fed) akan tetap mempertahankan kebijakan moneter ketat.
The Fed dan Potensi Pemangkasan Suku Bunga
Dinamika pasar global semakin terfokus pada pertemuan The Fed yang berlangsung pekan ini. Diperkirakan, The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, lebih kecil dibandingkan dengan pemangkasan 50 basis poin yang terjadi pada September lalu.
Meskipun pengurangan ini lebih moderat, ekspektasi pasar tetap tinggi karena data ekonomi AS yang masih menunjukkan ketahanan, sekaligus inflasi yang belum terkendali.
Langkah pemangkasan suku bunga ini diprediksi akan berlanjut di masa mendatang, meskipun situasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi AS yang stabil memberikan tantangan bagi kebijakan tersebut.
Ketegangan Pilpres AS Memperburuk Sentimen Pasar
Selain itu, ketegangan politik di AS semakin memanas menjelang pemilihan presiden (Pilpres) yang semakin mendekat.
Jajak pendapat terbaru menunjukkan Donald Trump unggul tipis atas Kamala Harris dengan perolehan suara mencapai 60.508.879 (51%) serta mengumpulkan 230 suara electoral college.
Trump telah menguasai satu dari tujuh swing states yang diprediksi akan sangat menentukan hasil pemilihan pada Selasa mendatang.
Ketidakpastian politik ini memicu lonjakan indeks dolar AS (DXY), yang meroket ke level tertinggi dan memberikan tekanan terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah.
Data Ekonomi AS dan Indonesia Menambah Guncangan Pasar
Tidak hanya faktor politik, namun data ekonomi dari AS juga turut memberikan dampak besar pada pergerakan dolar AS. Data dari Institute for Supply Management (ISM) menunjukkan sektor jasa AS tetap solid meskipun ada tekanan dari ekonomi global.
Indeks manajer pembelian (PMI) non-manufaktur AS meningkat menjadi 56 pada Oktober, level tertinggi sejak Agustus 2022, dari sebelumnya 54,9 pada September. Angka ini juga melampaui ekspektasi pasar yang hanya mengharapkan angka 53,8, menunjukkan bahwa sektor jasa tetap menjadi pendorong utama ekonomi AS.
Di sisi domestik, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2024 tercatat sebesar 4,95% secara tahunan (YoY).
Meskipun hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, pencapaian ini masih menunjukkan ketahanan perekonomian Indonesia di tengah tantangan global.
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku tercatat Rp5.638,9 triliun, sementara berdasarkan harga konstan tercatat Rp3.279,6 triliun.
Tantangan di Depan Mata
Dengan adanya tekanan dari penguatan dolar AS, ketegangan politik menjelang Pilpres AS, serta ketidakpastian terkait kebijakan moneter The Fed, pasar global diperkirakan akan terus bergejolak.
Para pelaku pasar, khususnya di Indonesia, perlu tetap waspada terhadap volatilitas yang tinggi, mengingat fluktuasi nilai tukar rupiah dan mata uang regional lainnya.
Kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas nilai tukar domestik. Sementara itu, data ekonomi Indonesia yang mencatatkan pertumbuhan yang lebih lambat juga menambah tantangan bagi perekonomian domestik dalam menghadapi tekanan eksternal yang semakin berat.