KabarMakassar.com — Pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan beruntun sepanjang pekan lalu di tengah sentimen negatif dari dalam dan luar negeri. Inflasi yang meningkat, arus modal keluar (capital outflow) yang tinggi, pelemahan IHSG, dan nilai tukar rupiah yang mendekati titik terendah dalam beberapa bulan terakhir mewarnai dinamika investasi di Indonesia.
Sementara itu, faktor global seperti kebijakan moneter The Fed yang dinantikan dan ketidakpastian menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) turut memengaruhi sentimen pasar di dalam negeri.
Inflasi Oktober Naik, Memperberat Tekanan Ekonomi Domestik
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Oktober 2024 mencatat inflasi sebesar 0,08% secara bulanan (mtm) dan sebesar 1,71% secara tahunan (yoy), turun tipis dari 1,84% yoy pada bulan sebelumnya.
Namun, inflasi inti yang mencerminkan kenaikan harga barang dan jasa tanpa memperhitungkan sektor makanan bergejolak dan energi tercatat lebih tinggi, yaitu 0,22% (mtm), dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 0,16% (mtm).
Inflasi ini sebagian besar didorong oleh kenaikan harga komoditas pangan dan energi global. Meski masih dalam target Bank Indonesia, kenaikan inflasi ini meningkatkan kewaspadaan pelaku pasar terhadap stabilitas daya beli masyarakat di tengah kenaikan harga.
Dengan inflasi inti yang cenderung naik, tekanan harga ke depan masih mungkin terjadi, yang akan berdampak pada ekonomi domestik, khususnya di sektor konsumen.
IHSG Tertekan, Sektor Perbankan dan Transportasi Melemah
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah signifikan, turun 2,46% atau 189,4 poin, ke level 7.505,26. Penurunan ini merupakan yang terburuk dalam tiga pekan terakhir dan didorong oleh koreksi di sektor perbankan terutama BUMN, serta sektor transportasi yang juga mengalami tekanan. Kondisi ini menempatkan IHSG dalam tren bearish, dipengaruhi oleh lemahnya sentimen pasar dalam negeri yang diperparah oleh arus keluar modal asing.
Menurut analis, IHSG pekan depan (4-9 November 2024) masih akan berada dalam tekanan jual, tetapi terdapat peluang rebound jika level support 7.450 hingga 7.372 berhasil dipertahankan. Di sisi lain, jika tekanan jual masih berlanjut, IHSG akan menghadapi resistance di rentang 7.715 hingga 7.806. Investor juga akan memantau laporan data ekonomi penting seperti pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang dijadwalkan rilis pada hari Selasa, serta cadangan devisa dan indeks keyakinan konsumen yang akan dirilis Kamis mendatang. Data ini diperkirakan akan memengaruhi prospek pergerakan IHSG dalam jangka pendek.
Rupiah Terkonsolidasi di Level Rendah, Dekati Titik Terendah 11 Minggu
Pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga mengalami pelemahan. Rupiah ditutup pada posisi Rp15.715 per dolar AS, turun 0,36% atau 56 poin secara mingguan. Rupiah yang sempat tertekan berada di sekitar level terendahnya dalam 11 minggu terakhir, dipicu oleh penguatan dolar AS yang terus bertahan sebagai aset safe haven di tengah ketidakpastian global. Kekuatan dolar AS ini terdukung oleh ekspektasi pasar terkait kebijakan suku bunga The Fed yang akan diumumkan pada 7 November mendatang.
Mata uang Garuda diperkirakan masih akan mengalami volatilitas pada pekan depan, dengan proyeksi kurs berada pada rentang resistance di level Rp15.778 hingga Rp15.985, sementara level support ada di rentang Rp15.580 hingga Rp15.425. Penguatan dolar AS terhadap rupiah ini juga dipengaruhi oleh imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun yang mencapai 4,28 persen pada akhir pekan, meningkatkan daya tarik aset berbasis dolar bagi investor asing dan menekan mata uang negara berkembang seperti rupiah.
Obligasi Pemerintah Mengalami Tekanan, Yield Naik Tipis
Pasar obligasi pemerintah Indonesia pekan lalu juga mencatatkan kinerja yang tertekan, dengan yield obligasi bertenor 10 tahun meningkat menjadi 6,774% pada akhir pekan. Ini menandai pergerakan yield yang naik tipis di tengah peningkatan aksi jual oleh investor asing di Surat Berharga Negara (SBN). Kenaikan yield ini mencerminkan peningkatan persepsi risiko pada aset berbasis rupiah di tengah ekspektasi inflasi yang lebih tinggi dan arus modal keluar yang berlanjut.
Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa pada periode 28-31 Oktober 2024, terjadi arus keluar modal asing yang mencapai Rp4,86 triliun, dengan rincian Rp2,53 triliun net sell di pasar saham dan Rp3,95 triliun di pasar SBN. Namun, terdapat pembelian bersih sebesar Rp1,63 triliun pada Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang menunjukkan minat investor asing yang masih ada pada instrumen SRBI. Selama Januari hingga Oktober 2024, aliran dana asing ke pasar saham dan SBN masing-masing tercatat sebesar Rp39,91 triliun dan Rp43,51 triliun.
Selain itu, Bank Indonesia juga mencatat bahwa premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia untuk tenor 5 tahun meningkat dari 67,80 basis poin menjadi 68,69 basis poin. CDS ini merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat risiko investasi di suatu negara. Kenaikan premi CDS menunjukkan bahwa risiko investasi di Indonesia mengalami peningkatan, yang dapat memicu arus modal keluar lebih lanjut jika ketidakpastian global terus meningkat.
Sentimen Pasar Pekan Depan: Menanti Data Ekonomi dan Pilpres AS
Pekan depan, pasar keuangan domestik akan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting baik dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri, rilis data pertumbuhan ekonomi (PDB) akan menjadi perhatian utama karena ini mencerminkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah berbagai tantangan global. Selain itu, data cadangan devisa dan indeks keyakinan konsumen juga akan memberikan gambaran lebih lanjut mengenai kesehatan ekonomi domestik.
Dari sisi eksternal, keputusan The Fed tentang kebijakan suku bunga pada 7 November mendatang dan hasil pemilihan presiden AS menjadi dua faktor yang sangat memengaruhi pasar global dan regional. Keduanya memiliki potensi besar dalam memengaruhi pergerakan nilai tukar, IHSG, dan harga obligasi di Indonesia, serta dapat menentukan arah aliran modal di masa depan.
Dengan adanya ketidakpastian ini, investor disarankan untuk tetap berhati-hati dan memantau sentimen pasar secara seksama. Sektor-sektor yang lebih defensif seperti barang konsumsi dan kesehatan diperkirakan dapat menjadi pilihan bagi investor yang menghindari risiko tinggi. Meskipun pasar saat ini masih dalam tekanan, adanya rilis data positif dari dalam negeri dapat menjadi katalis untuk potensi pemulihan pasar dalam jangka pendek.