KabarMakassar.com — Mata uang rupiah jatuh 0,21% pada pembukaan perdagangan hari ini. Pada Rabu (11/12) rupiah dj pasar spot melemah ke posisi Rp15.904 per dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir data Bloomberg, rupiah dibuka pada perdagangan dengan turun 0,21% atau 33,5 poin ke posisi Rp15.904 per dolar AS pagi ini. Pada saat yang sama, indeks dolar terlihat melemah 0,12% ke posisi 105,960.
Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak variatif terhadap dolar AS. Yen Jepang menguat 0,18%, dolar Singapura menguat sebesar 0,07%, baht Thailand menguat 0,32%, yuan China menguat 0,08%, dan won Korea menguat 0,20%, ringgit Malaysia menguat 0,10%, dan dolar Hong Kong menguat 0,02%.
Adapun mata uang yang melemah di antaranya, peso Filipina melemah 0,30%, dolar Taiwan melemah sebesar 0,12% dan rupee India melemah 0,14%.
Diketahui, rupiah diperkirakan kembali mengalami tekanan dalam perdagangan pasar spot hari ini. Sentimen utama berasal dari antisipasi para investor terhadap rilis data inflasi Consumer Price Index (CPI) Amerika Serikat yang dijadwalkan keluar malam nanti.
Indeks dolar AS menunjukkan kekuatan yang konsisten. Pada penutupan perdagangan di bursa New York dini hari tadi, indeks ini mencatatkan penguatan 0,24% dan bertahan di kisaran 106,33.
Sementara, di saat yang sama, pasar surat utang Amerika Serikat juga menghadapi tekanan bearish dengan kenaikan imbal hasil di semua tenor. Yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik 2,5 basis poin menjadi 4,22%, sementara tenor dua tahun naik 1,9 basis poin ke level 4,14%.
Kondisi ini menggambarkan sikap hati-hati para investor global yang cenderung mengurangi risiko dalam portofolio mereka.
Daat ini, pelaku pasar terus memantau perkembangan data CPI, yang diperkirakan akan menjadi indikator penting bagi langkah Federal Reserve ke depan.
Apakah data tersebut akan mendukung skenario pemangkasan suku bunga atau justru memberikan alasan bagi The Fed untuk mempertahankan kebijakan moneter saat ini masih menjadi tanda tanya.
Rupiah sendiri menghadapi tekanan di pasar non-deliverable forward (NDF). Pada penutupan dini hari tadi, rupiah tercatat melemah 0,33% dan berada di level Rp15.913 per dolar AS.
Saat pembukaan pasar Asia pagi ini, rupiah masih bertahan di kisaran yang sama, lebih rendah dibandingkan dengan posisi penutupan spot kemarin di Rp15.865 per dolar AS.
Sementara itu, beberapa mata uang Asia lainnya menunjukkan penguatan tipis. Yen Jepang bergerak naik sebesar 0,09%, dolar Singapura menguat 0,04%, dan yuan offshore mencatatkan kenaikan sebesar 0,02%.
Namun, dinamika tersebut tampaknya belum cukup untuk memberikan dorongan signifikan bagi rupiah di tengah tekanan sentimen global yang dominan.
Di kawasan Asia, investor juga menantikan sejumlah data penting lainnya, seperti inflasi grosir Jepang yang dirilis pagi ini serta laporan tingkat pengangguran Korea Selatan.
Di sisi lain, perhatian juga tertuju pada pertemuan Central Economic Work Conference di Tiongkok, yang berlangsung hingga 12 Desember. Agenda ini diharapkan menghasilkan arahan strategis bagi perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.
Sementara itu, sentimen domestik terpantau cenderung minim. Kementerian Keuangan Republik Indonesia dijadwalkan menggelar konferensi pers mengenai kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terkini pada siang nanti.
Namun, faktor ini kemungkinan belum cukup kuat untuk memengaruhi sentimen investor secara signifikan.
Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg, inflasi bulanan CPI Amerika Serikat pada November diperkirakan mencapai 0,3%, lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat di angka 0,2%.
Secara tahunan, inflasi CPI diproyeksikan meningkat menjadi 2,7% dari 2,6% pada bulan sebelumnya. Untuk inflasi inti atau core CPI, ekspektasinya tetap stabil di angka 0,3% secara bulanan dan 3,3% secara tahunan, tidak berbeda dengan laporan sebelumnya.
Dengan latar belakang ini, rupiah kemungkinan masih sulit mencatatkan penguatan yang signifikan dalam waktu dekat. Minimnya sentimen positif dari dalam negeri serta dominasi pengaruh global membuat investor terus memantau perkembangan data inflasi AS sebagai panduan utama untuk menentukan langkah investasi mereka selanjutnya.