KabarMakassar.com — Pemerintah mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp26,75 triliun hingga akhir Juli kemarin. Jumlah ini berasal dari berbagai sumber, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), pajak kripto, pajak fintech (P2P lending), dan pajak yang dipungut melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).
PPN PMSE menjadi penyumbang terbesar dengan total penerimaan sebesar Rp21,47 triliun. Pemerintah telah menunjuk 174 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN, termasuk PT Final Impian Niaga dan Niantic International Ltd yang ditunjuk pada Juli 2024. Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 163 di antaranya telah aktif melakukan pemungutan dan penyetoran PPN.
Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Dwi Astuti, setoran ini terdiri dari Rp731,4 miliar pada 2020, Rp3,90 triliun pada 2021, Rp5,51 triliun pada 2022, Rp6,76 triliun pada 2023, dan Rp4,57 triliun pada 2024.
“Penerimaan pajak dari transaksi kripto juga signifikan, mencapai Rp838,56 miliar hingga Juli 2024” bebernya, Selasa (13/08).
Ia menjelaskan, penerimaan ini terdiri dari Rp394,19 miliar PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp444,37 miliar PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger. Tahun sebelumnya, penerimaan pajak kripto tercatat Rp246,45 miliar pada 2022 dan Rp220,83 miliar pada 2023.
Sementara itu, pajak dari sektor fintech (P2P lending) menyumbang Rp2,27 triliun hingga Juli 2024. Rinciannya meliputi Rp446,39 miliar pada 2022, Rp1,11 triliun pada 2023, dan Rp712,53 miliar pada 2024.
“Pajak fintech ini terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp747,93 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp281,28 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp1,24 triliun,” lanjutnya
Penerimaan pajak dari usaha ekonomi digital lainnya melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) mencapai Rp2,18 triliun hingga Juli 2024. Angka ini berasal dari Rp402,38 miliar pada 2022, Rp1,12 triliun pada 2023, dan Rp656,37 miliar pada 2024. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp149,7 miliar dan PPN sebesar Rp2,03 triliun.
“Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen Indonesia,” ujar Dwi Astuti.
Ia menambahkan bahwa pemerintah akan terus mengeksplorasi potensi penerimaan pajak dari usaha ekonomi digital lainnya, seperti pajak kripto, pajak fintech, dan pajak SIPP, untuk meningkatkan kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional.
Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengkaji penyesuaian pajak baru untuk transaksi kripto seiring dengan rencana peralihan pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang dijadwalkan mulai awal 2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, mengungkapkan bahwa untuk merealisasikan rencana ini, OJK akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
Saat ini, pajak untuk mata uang kripto diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 68/PMK.03/2022 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 dengan tarif 0,1 persen dari nilai aset kripto, masuk dalam tarif PPh Pasal 22 Final.
Hasan menjelaskan bahwa setelah pengawasan resmi beralih ke OJK, kemungkinan besar akan ada perubahan dalam pungutan pajak karena kripto akan dikategorikan sebagai aset keuangan digital.
“Nantinya akan ada perubahan, misalnya dalam pengelompokan definisi aset. Sebelumnya, payung hukumnya adalah peraturan tentang perdagangan berjangka komoditi. Ke depan, kami akan mengakui kripto sebagai aset keuangan digital,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa OJK akan membuka ruang diskusi lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan mengenai pajak kripto.
Selain pembahasan tentang pajak, OJK juga berencana mengatur minimum permodalan untuk aset kripto, meskipun akan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awal, akan digunakan besaran yang telah ditetapkan oleh Bappebti, yakni minimal Rp100 miliar.
“Jika melihat apa yang sudah diterapkan saat ini, modal yang ditentukan oleh Bappebti sebesar Rp100 miliar di awal sudah cukup memadai,” pungkasnya.