kabarbursa.com
kabarbursa.com

Jelang Akhir Pekan, Rupiah Dibuka Rp15.665 Per Dolar AS

Rupiah Tertekan Dolar AS, Akhiri Pekan di Level Rp15.875
Ilustrasi Rupiah (Dok : KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah jelang akhir pekan dibuka pada level Rp 15.665 per dolar AS. Jika dibandingkan perdagangan sebelumnya, Rupiah menunjukkan penguatan pada awal perdagangan hari ini, Jumat (11/10) sebesar 0,08% di pasar spot terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Pada perdagangan sebelumnya nilai tukar rupiah ditutup di level Rp 15.678 per dolar AS. Penguatan rupiah sejalan dengan tren positif yang dialami mayoritas mata uang di Asia.

Pemprov Sulsel

Hingga pukul 09.00 WIB, baht Thailand mencatatkan penguatan terbesar di kawasan Asia dengan lonjakan sebesar 0,4%. Diikuti oleh won Korea Selatan yang naik 0,32%. Mata uang lain yang turut menguat antara lain peso Filipina yang naik 0,17% dan ringgit Malaysia yang terangkat 0,14%. Sementara itu, yuan China turut naik tipis sebesar 0,04%.

Di sisi lain, dolar Taiwan juga terlihat menguat, meski hanya tipis sebesar 0,009% terhadap dolar AS. Namun, tidak semua mata uang di Asia menunjukkan penguatan. Yen Jepang menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di kawasan setelah anjlok 0,13%. Dolar Singapura juga melemah 0,04%, diikuti oleh dolar Hong Kong yang turun tipis 0,003%.

Penguatan rupiah dan mata uang Asia lainnya terjadi di tengah harapan akan stabilitas global, meskipun kondisi ekonomi Amerika Serikat dan pergerakan inflasi terus membayangi pasar keuangan. Para pelaku pasar di Asia terus mencermati berbagai perkembangan kebijakan moneter di negara-negara utama untuk menentukan langkah investasi berikutnya.

Penguatan Rupiah Didukung oleh Sentimen Global dari Amerika Serikat

Nilai tukar rupiah diprediksi menunjukkan pergerakan positif pada perdagangan hari ini, didorong oleh serangkaian sentimen global yang berasal dari Amerika Serikat (AS). Salah satu faktor utama yang mempengaruhi pergerakan mata uang rupiah adalah data inflasi konsumen AS yang kembali melandai.

Pada September 2024, inflasi tahunan di AS turun menjadi 2,4%, lebih tinggi sedikit dari perkiraan sebelumnya sebesar 2,3%. Penurunan inflasi ini tercatat selama enam bulan berturut-turut, namun tekanan harga pada sektor makanan dan perumahan masih cukup signifikan. Hal ini menyebabkan inflasi inti, yang tidak memperhitungkan harga makanan dan energi, naik hingga 3,3%.

Selain itu, data klaim pengangguran AS yang lebih tinggi dari perkiraan turut memperkuat ekspektasi bahwa kebijakan moneter AS akan lebih longgar dalam waktu dekat. Klaim pengangguran di AS melonjak menjadi 258.000, tertinggi dalam 14 bulan terakhir, yang semakin menekan ekspektasi pasar terhadap potensi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed).

Pasar saat ini memperkirakan peluang pemangkasan suku bunga The Fed pada bulan November mencapai 86,9%. Kondisi ini menyebabkan pelemahan dolar AS di pasar global, yang menjadi salah satu faktor pendukung penguatan rupiah.

Di sisi lain, pasar juga menunggu rilis data Indeks Harga Produsen (IHP) AS pada malam ini, yang diproyeksikan kembali berada di bawah 2%. Jika data ini sesuai ekspektasi, peluang pemangkasan suku bunga oleh The Fed akan semakin besar, yang berpotensi memberikan dorongan lebih lanjut bagi penguatan rupiah di tengah pelemahan dolar AS.

Sentimen-sentimen ini memberikan angin segar bagi pasar keuangan Indonesia, terutama dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah fluktuasi pasar global.

Disisi lain, meski mengalami penguatan dibanding perdagangan sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar masih diprediksi fluktuatif pada perdagangan hari ini. Rupiahcdiprediksicakan ditutup melemah di rentang Rp15.640 – Rp15.730 dibanding perdagangan sebelumnya.

Hal ini seiring dengan rencana kementerian keuangan China yang akan mengeluarkan paket stimulus fiskal pekan ini. Sentimen datang dari fokus pasar ke arah kebijakan fiskal Tiongkok. Kementerian Keuangan China dikabarkan mempersiapkan paket stimulus fiskal yang diperkirakan mencapai 1-2 triliun yuan di pekan ini.

Selain itu, risiko fluktuasi harga komoditas energi juga masih membayangi. Eskalasi konflik geopolitik di Timur Tengah akan ditentukan oleh hasil pertemuan Pemerintah Israel dengan AS yang tengah berlangsung di Washington D.C. Peningkatan eskalasi akan berdampak pada lonjakan harga komoditas energi, khususnya minyak. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi bank-bank sentral yang mengharapkan berlanjutnya tren penurunan inflasi.