KabarMakassar.com — Industri perbankan kembali dirundung masalah serius. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mencabut izin operasional PT BPR Kencana, sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang berlokasi di Cimahi, Jawa Barat, pada Senin (16/12) kemarin. Dengan pencabutan ini, tercatat sebanyak 19 bank tutup sepanjang 2024, jumlah yang jauh melampaui rata-rata dalam 18 tahun terakhir dan tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Langkah pencabutan ini adalah bagian dari pengawasan ketat untuk menjaga stabilitas perbankan dan melindungi konsumen.
PT BPR Kencana telah menghadapi berbagai masalah serius sejak awal tahun. Pada April 2024, bank tersebut telah masuk dalam status Bank Dalam Penyehatan karena memiliki rasio permodalan (KPMM) di bawah 12%, rasio kas rata-rata kurang dari 5% selama tiga bulan, serta tingkat kesehatan bank yang tergolong tidak sehat.
Namun, upaya perbaikan gagal dilakukan oleh pengurus dan pemegang saham. Pada 26 November 2024, status bank ditingkatkan menjadi Bank Dalam Resolusi karena tidak ada perbaikan signifikan terkait permodalan dan likuiditas.
Keputusan terakhir jatuh pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang memutuskan untuk tidak menyelamatkan bank tersebut. LPS kemudian meminta OJK mencabut izin PT BPR Kencana.
OJK meminta nasabah PT BPR Kencana untuk tetap tenang. Dana nasabah dijamin oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Langkah ini menegaskan komitmen OJK dalam menjaga kepercayaan publik terhadap industri perbankan di tengah tantangan besar yang melanda sektor tersebut sepanjang 2024.
Kasus ini menambah panjang daftar bank yang kehilangan izin operasional pada tahun ini. Dengan 19 kasus sepanjang Januari hingga Desember 2024, sektor perbankan menghadapi ujian berat untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan masyarakat.
Peningkatan jumlah bank bangkrut ini menjadi sinyal perlunya penguatan pengawasan dan strategi penyelamatan yang lebih efektif di masa mendatang.
Kepala OJK Sulselbar, Darwisman, mengungkapkan bahwa sebagian besar penutupan atau pencabutan izin Bank ini disebabkan oleh tindakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh pengurus, termasuk direktur dan pemegang saham.
“Fraud ini memicu penurunan pendapatan, sehingga ketika BPR/BPRS ditetapkan untuk proses penyehatan, mereka tidak menunjukkan komitmen untuk melakukan perbaikan. Hal ini membuat kami harus mengambil langkah tegas,” jelas Darwisman.
Selain fraud, miss management atau pengelolaan yang buruk juga menjadi faktor yang memperparah kondisi sejumlah BPR/BPRS.
Menurutnya, ketiadaan tata kelola yang baik menyebabkan kesulitan institusi-institusi tersebut untuk bertahan dalam persaingan dan menjaga kesehatan finansial.
Darwisman menjelaskan, untuk mencegah hal serupa terulang, OJK telah menyusun roadmap pengembangan BPR/BPRS dan memperkuat pengawasan melalui penerapan prinsip-prinsip penting.
“Ada tiga pilar utama yang harus diterapkan agar BPR tetap sehat dan kuat. Pertama, prinsip kehati-hatian. Kedua, penerapan manajemen risiko. Ketiga, tata kelola yang baik. Ketiganya menjadi fondasi utama bagi keberlanjutan BPR/BPRS,” ujarnya.
Selain itu, OJK juga menerapkan program pengawasan yang dilakukan secara langsung (onsite) maupun tidak langsung (offsite) berdasarkan analisis laporan keuangan dan operasional yang disampaikan oleh BPR/BPRS.
Sebelumnya, Darwisman sempat menegaskan bahwa tidak ada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang berpotensi akan dicabut izin usahanya.
“Berdasarkan pemantauan kinerja keuangan hingga Triwulan I/2024 terhadap BPR/BPRS di wilayah Sulsel, tidak terdapat yang berpotensi akan dicabut izin usahanya,” ujar Darwisman, saat dihubungi KabarMakassar.com, Selasa (14/5).
Adapun terkait faktor-faktor atau indikator penilaian untuk memutuskan penutupan atau pencabutan izin usaha suatu BPR/BPRS, Darwisman menjelaskan bahwa OJK memiliki prosedur ketat.
“Dalam hal BPR/BPRS mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha dan tidak dapat disehatkan kembali, OJK menetapkan BPR/BPRS dalam resolusi dan menyampaikan pemberitahuan kepada LPS. Apabila LPS menetapkan untuk tidak melakukan penyelamatan, maka OJK akan melakukan pencabutan izin usaha BPR/BPRS,” jelasnya.
Lebih lanjut, kriteria penetapan BPR/BPRS dalam resolusi tercantum dalam POJK Nomor 28 Tahun 2023 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan BPR dan BPRS. Indikator penilaian utama adalah rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) dan Cash Ratio.
Sebagai informasi tambahan, sebaran jaringan kantor industri jasa keuangan di wilayah Sulampua saat ini mencakup 2.346 kantor bank umum dan 84 kantor BPR/BPRS.
Dengan pemantauan yang ketat dan langkah-langkah antisipatif, OJK Regional 6 Sulampua memastikan bahwa BPR/BPRS di Sulsel tetap beroperasi dengan baik dan tidak ada yang berpotensi ditutup dalam waktu dekat.