kabarbursa.com
kabarbursa.com

Harga Nikel Terkontraksi Pengaruhi Penerimaan Ekspor Sulsel

Harga Nikel Terkontraksi Pengaruhi Penerimaan Ekspor Sulsel
Ilustrasi biji nikel (Dok : Int).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Ketua Gabungan Perusahaan Eksport Indonesia (GPEI) Sulawesi Selatan (Sulsel), Arief R. Pabettingi, menyebut harga nikel yang saat ini berada di level terendah, mempengaruhi penerimaan daerah secara signifikan.

Penurunan harga ini berdampak besar pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sulsel, mengingat nikel merupakan andalan utama ekspor.

Pemprov Sulsel

Arief menjelaskan komoditas nikel telah menjadi tulang punggung ekonomi Sulsel, menyumbang hampir 60 persen dari total ekspor.

“Saat harga nikel bagus, otomatis PAD Sulsel juga baik. Namun, sebaliknya, ketika harga turun, PAD Sulsel ikut merosot,” ungkapnya Selasa (4/6).

Ia menyebut, penurunan harga nikel ini dipengaruhi oleh kondisi global, termasuk fluktuasi nilai tukar mata uang, terutama dolar Amerika Serikat.

Selain itu, sentimen geopolitik dan potensi konflik di berbagai belahan dunia turut memainkan peran dalam penurunan harga.

“Sepanjang ada kondisi sentimen geopolitik dan perang yang memanas, serta kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan di suatu negara, pelemahan harga nikel akan terus terjadi,” tambah Arief.

Meskipun harga nikel saat ini rendah, kebutuhan akan nikel dalam industri mobil tetap tinggi.

“Nikel sangat dibutuhkan dalam industri mobil, yang berkembang pesat di Eropa, Amerika, dan China,” kata Arief.

Diketahui, realisasi penerimaan pajak di Sulsel pada Kuartal I/2024 mencapai Rp2,7 triliun, mengalami kontraksi sebesar 4,02% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp2,82 triliun.

Hal ini dipengaruhi oleh turunnya aktivitas ekonomi di sektor konstruksi dan pertambangan, serta penurunan harga komoditas seperti nikel dan kelapa sawit.

Kepala Bidang DP3 Kanwil DJP Sulselbartra, Soebagio menjelaskan, penurunan penerimaan terutama terjadi pada Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM), yang turun 10,96% menjadi Rp1,19 triliun.

Penurunan ini terutama disebabkan oleh melambatnya aktivitas ekonomi di sektor-sektor tersebut.

“PPN & PPnBM menjadi jenis pajak yang mengalami kontraksi pada kuartal pertama dan ini cukup mempengaruhi realisasi penerimaan pajak. Terutama pada PPN Dalam Negeri (DN) yang penurunannya mencapai 11,18%. Tahun lalu PPN DN mampu terkumpul Rp1,19 triliun pada Kuartal I, tahun ini hanya Rp1,05 triliun,” ungkapnya.