KabarMakassar.com — Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Sulawesi Selatan, Arief R. Pabettingi, mengungkapkan alasan ekspor Sulawesi Selatan mengalami penurunan yang signifikan, dengan komoditas nikel menjadi sektor paling terdampak. Menurutnya, situasi ini dipengaruhi oleh tensi politik global dan tingkat keamanan internasional yang bergejolak.
Arief menjelaskan, ketegangan politik antarnegara tujuan ekspor berdampak langsung pada stabilitas jalur perdagangan dan daya beli negara-negara tersebut.
“Ketegangan politik ini menyebabkan penurunan intensitas perdagangan, termasuk dengan Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan. Hal ini membuat daya beli negara tujuan ekspor kita ikut menurun,” ujar Arief.
Meskipun secara nasional ekspor Indonesia masih mencatat pertumbuhan stabil di angka 6%, Arief menegaskan bahwa dinamika global tersebut tetap memberikan dampak signifikan bagi Sulawesi Selatan.
“Nikel merupakan salah satu komoditas yang sangat dibutuhkan dunia. Namun, ketegangan global ini menyebabkan kebijakan penurunan harga nikel, yang pada akhirnya memengaruhi pendapatan asli daerah (PAD),” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa nikel berkontribusi besar terhadap PAD Sulawesi Selatan. Penurunan harga dan volume ekspor nikel otomatis mengurangi pemasukan daerah, yang menjadi tantangan besar bagi perekonomian Sulsel.
Selain nikel, Arief juga menyoroti dampak ketegangan global pada komoditas lain, seperti minyak. “Di satu sisi, kebutuhan akan minyak sangat tinggi, tetapi terganggunya jalur distribusi membuat volume barang turun, yang pada akhirnya memengaruhi harga,” tambahnya.
Para pelaku usaha, terutama eksportir, berharap situasi global ini dapat segera membaik.
“Kami berharap tensi politik global dan persaingan antarnegara dapat mereda, sehingga jalur perdagangan kembali stabil dan ekonomi dapat pulih,” pungkas Arief.
Penurunan ekspor ini menjadi peringatan bagi Sulawesi Selatan untuk memperkuat strategi mitigasi risiko, termasuk diversifikasi pasar dan inovasi dalam komoditas ekspor.
Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan melaporkan bahwa total ekspor daerah tersebut hingga kuartal III/2024 mencapai US$1,57 miliar. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 6,59% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang tercatat sebesar US$1,68 miliar.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh melemahnya penjualan sejumlah komoditas unggulan di pasar global, seperti nikel dan biji-bijian berminyak.
Menurut Kepala BPS Sulawesi Selatan, Aryanto, ekspor nikel pada Januari hingga September 2024 hanya mencapai US$712,38 juta, turun signifikan sebesar 24,05% dibandingkan periode yang sama tahun 2023 yang mencapai US$937,90 juta.
“Nikel memiliki kontribusi terbesar dalam ekspor Sulsel, hampir setengah dari total nilai ekspor. Oleh karena itu, penurunan signifikan pada komoditas ini berdampak besar pada kinerja ekspor secara keseluruhan,” ungkapnya.
Selain itu, ekspor biji-bijian berminyak juga mengalami kontraksi sebesar 29,22%. Pada kuartal III/2024, nilai ekspor komoditas ini tercatat hanya US$116,54 juta, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai US$164,65 juta.
Komoditas lain yang turut mengalami penurunan adalah garam, belerang, dan kapur, dengan nilai ekspor sebesar US$31,43 juta, menyusut 32,31% dari US$46,43 juta pada periode yang sama tahun lalu.
Aryanto menambahkan bahwa ekspor Sulawesi Selatan pada September 2024 tercatat sebesar US$191,04 juta. Angka ini menurun 1,96% dibandingkan Agustus 2024 yang mencapai US$194,86 juta, dan turun 4,96% dibandingkan September 2023 yang tercatat sebesar US$201 juta.
Lima negara tujuan utama ekspor Sulawesi Selatan adalah Jepang (41,85%), China (26,01%), Thailand (14,39%), Malaysia (3,65%), dan Amerika Serikat (1,73%).
“Lima komoditas utama yang mendominasi ekspor Sulsel pada September 2024 meliputi nikel, bahan bakar mineral, besi dan baja, kakao, serta biji-bijian berminyak,” tutup Aryanto.