KabarMakassar.com — Bank Indonesia (BI) baru-baru ini mengumumkan perpanjangan kebijakan pelonggaran makroprudensial hingga akhir 2025, termasuk pemberlakuan insentif down payment (DP) atau uang muka 0% untuk kredit properti.
Langkah ini diambil BI sebagai bagian dari upaya memperkuat akses keuangan masyarakat, khususnya dalam sektor properti, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan kredit, tetapi juga menjadi bentuk dukungan nyata bagi sektor perumahan yang memiliki peran penting dalam perekonomian nasional.
Perry menekankan bahwa BI terus berkomitmen untuk mendukung perekonomian di tengah situasi ekonomi global yang penuh tantangan.
“Bank Indonesia melanjutkan ketentuan Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit/pembiayaan properti paling tinggi 100% dan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor Bank paling rendah sebesar 0% hingga Desember 2025,” tulis BI melalui akun Instagram resmi mereka, @bank_indonesia, dikutip Selasa (28/10).
Kebijakan ini awalnya direncanakan berlaku hanya hingga akhir 2024. Namun, dengan melihat potensi kebijakan ini dalam mendorong permintaan kredit properti, BI memutuskan memperpanjang hingga 31 Desember 2025.
Dengan ketentuan LTV/FTV 100%, masyarakat yang ingin membeli rumah atau properti kini bisa mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tanpa perlu membayar uang muka. Insentif ini diharapkan bisa memberikan daya beli yang lebih besar bagi masyarakat, terutama kalangan muda dan keluarga baru, untuk memiliki hunian pertama mereka.
Kebijakan ini juga diyakini akan memperkuat sektor properti, meningkatkan penjualan properti, dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor konstruksi yang berkaitan erat dengan penyerapan tenaga kerja
Pelonggaran Kebijakan untuk Mendorong Pertumbuhan Kredit Dua Digit
Bank Indonesia melaporkan bahwa kebijakan pelonggaran makroprudensial seperti insentif DP 0% ini telah berhasil mendorong pertumbuhan kredit secara signifikan.
Hingga September 2024, kredit tumbuh sebesar 10,85% secara tahunan (year-on-year). Pertumbuhan kredit dua digit ini menunjukkan bahwa kebijakan pelonggaran telah memberikan dampak positif dalam mendongkrak minat perbankan untuk menyalurkan kredit lebih banyak, di tengah kondisi perekonomian yang masih beradaptasi dengan tantangan global.
Meski penyaluran kredit meningkat, Bank Indonesia tetap memperhatikan kualitas kredit yang disalurkan agar tetap terkendali. Hal ini terbukti dari rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) yang berada pada level rendah.
Pada September 2024, NPL gross tercatat sebesar 2,26%, sementara NPL net berada di angka 0,78%. BI meyakini bahwa stabilitas kualitas kredit ini penting untuk menjaga kesehatan sektor keuangan nasional, meskipun ada pelonggaran di sektor properti dan kendaraan bermotor.
Pembiayaan Syariah dan UMKM Alami Pertumbuhan Positif
Kebijakan pelonggaran ini juga berdampak positif pada sektor pembiayaan syariah, yang mengalami pertumbuhan sebesar 11,37% secara tahunan pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan minat masyarakat yang semakin tinggi terhadap pembiayaan berbasis syariah, sejalan dengan upaya BI untuk mendorong pertumbuhan ekonomi syariah yang inklusif.
Selain itu, pertumbuhan kredit juga dirasakan pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang meningkat sebesar 5,04% secara tahunan. Pertumbuhan kredit di sektor UMKM tercatat lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya, menandakan adanya peningkatan akses modal bagi pelaku usaha kecil di Indonesia.
Dukungan BI terhadap sektor UMKM ini bertujuan untuk memperkuat pondasi ekonomi yang berbasis pada usaha kecil dan menengah. Dengan adanya akses keuangan yang lebih mudah bagi UMKM, diharapkan semakin banyak pelaku usaha yang mampu mengembangkan bisnisnya dan berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja baru.
UMKM juga dinilai memiliki peran strategis dalam pemerataan ekonomi, terutama di wilayah-wilayah yang membutuhkan pembangunan dan pengembangan ekonomi lokal.
Sistem Keuangan yang Stabil dan Likuiditas Memadai
Bank Indonesia juga memastikan bahwa pelonggaran makroprudensial ini tidak mengganggu stabilitas keuangan. BI melaporkan bahwa sistem keuangan nasional tetap dalam kondisi stabil dan memiliki likuiditas yang memadai untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.
Indikator alat likuid per dana pihak ketiga (AL/DPK) tercatat sebesar 25,22% pada September 2024, menunjukkan bahwa perbankan memiliki cukup likuiditas untuk memenuhi kebutuhan penyaluran kredit.
Selain itu, rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan mencapai 26,69% per Agustus 2024, yang jauh di atas ketentuan minimum dan menunjukkan kesiapan perbankan dalam menyerap risiko-risiko yang mungkin terjadi.
Stabilitas sistem keuangan ini memberikan keyakinan bagi Bank Indonesia untuk terus mendorong sektor keuangan agar lebih inklusif dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
BI juga berharap agar seluruh industri perbankan tetap menjaga keseimbangan antara pertumbuhan kredit dan manajemen risiko yang baik, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi yang optimal tanpa mengabaikan keamanan sektor keuangan.
Dengan perpanjangan kebijakan pelonggaran makroprudensial hingga akhir 2025, BI berharap ekonomi nasional dapat terus bertumbuh secara berkelanjutan melalui sektor-sektor kunci seperti properti, UMKM, dan pembiayaan syariah. Bank Indonesia optimis bahwa peningkatan akses keuangan ini akan mendorong daya beli masyarakat, memperkuat investasi, serta mempercepat pemulihan ekonomi pascapandemi.
Gubernur Perry Warjiyo menyampaikan bahwa BI terus berkomitmen untuk bersinergi dengan pemerintah dan industri keuangan dalam memperluas inklusi keuangan. Langkah ini diyakini dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mencapai target yang telah ditetapkan, termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui akses keuangan yang merata.
Dengan adanya kebijakan DP 0% dan berbagai kebijakan pelonggaran lainnya, Bank Indonesia berharap masyarakat dapat memanfaatkan peluang ini untuk memenuhi kebutuhan keuangan dengan lebih mudah dan terjangkau. Ke depannya, BI berencana untuk terus mengevaluasi kebijakan ini agar tetap relevan dengan perkembangan ekonomi, sehingga dapat memberikan dampak optimal bagi masyarakat, pelaku usaha, dan sektor keuangan secara keseluruhan.