kabarbursa.com
kabarbursa.com

Dinamis Sepanjang Pekan, Rupiah Ditutup di Level Rp15.875 per Dolar AS

Dinamis Sepanjang Pekan, Rupiah Ditutup di Level Rp15.875 per Dolar AS
Ilustrasi Rupiah (Dok: KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah bergerak fluktuatif sepanjang perdagangan pekan ini, dipengaruhi oleh berbagai dinamika global dan domestik.

Sentimen seperti eskalasi konflik geopolitik, sikap hawkish Federal Reserve (The Fed), hingga laporan ekonomi dari Tiongkok dan Indonesia menjadi faktor utama yang memengaruhi pergerakan mata uang Garuda.

Pemprov Sulsel

Rupiah mengawali pekan dengan tren penguatan pada perdagangan Senin dan Selasa. Namun, pelemahan terjadi pada Rabu dan Kamis, sebelum akhirnya rupiah berhasil menutup pekan ini dengan penguatan pada hari Jumat.

Berdasarkan data Bloomberg pada akhir perdagangan pekan ini, Jumat (22/11) kemarin, rupiah spot ditutup pada posisi Rp15.875 per dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah mencatatkan penguatan sebesar 0,35 persen secara harian, meski terkoreksi tipis 0,01 persen dibandingkan dengan posisi akhir pekan lalu di level Rp15.874 per dolar AS.

Kurs referensi Jisdor Bank Indonesia (BI) pada Jumat juga menunjukkan tren serupa. Rupiah ditutup di level Rp15.911 per dolar AS, menguat sebesar 0,19 persen dibandingkan posisi sehari sebelumnya. Namun, secara mingguan, rupiah Jisdor tercatat melemah 0,23 persen dibandingkan posisi pekan lalu.

Sepanjang pekan ini, pergerakan rupiah dipengaruhi oleh beberapa faktor domestik, salah satunya hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) yang berlangsung pada 19-20 November 2024.

Keputusan Bank Indonesia untuk menahan suku bunga acuan di level 6 persen sesuai dengan ekspektasi pasar, sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap nilai tukar rupiah.

Namun, tekanan terhadap rupiah terjadi setelah laporan defisit neraca transaksi berjalan kuartal ketiga 2024 dirilis pada hari Kamis. Defisit tersebut tercatat sebesar 2,2 miliar dolar AS atau 0,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih rendah dibandingkan defisit sebesar 3,2 miliar dolar AS atau 0,9 persen dari PDB pada kuartal sebelumnya.

Bank Indonesia juga mencatat bahwa selama sepekan, nilai tukar rupiah bergerak dalam rentang Rp15.870 hingga Rp15.920 per dolar AS.

Sementara itu, aliran modal asing tercatat masuk ke pasar keuangan Indonesia selama periode transaksi 18–21 November 2024 dengan nilai mencapai 7,5 triliun rupiah.

Berdasarkan data transaksi dalam periode tersebut, nonresiden tercatat melakukan jual neto sebesar 7,5 triliun rupiah, yang terdiri dari jual neto sebesar 3,3 triliun rupiah di pasar saham, 3,59 triliun rupiah di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan 0,61 triliun rupiah di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Meski demikian, secara keseluruhan sepanjang tahun 2024, investor asing masih mencatatkan beli neto dalam jumlah yang cukup besar.

Hingga 21 November 2024, nonresiden mencatatkan beli neto sebesar 27,15 triliun rupiah di pasar saham, 33,17 triliun rupiah di pasar SBN, dan 187,68 triliun rupiah di SRBI. Bahkan jika dilihat dalam semester II tahun 2024, beli neto asing tercatat mencapai 26,81 triliun rupiah di pasar saham, 67,13 triliun rupiah di pasar SBN, dan 57,33 triliun rupiah di SRBI.

Premi risiko investasi Indonesia, yang tercermin dari credit default swaps (CDS) 5 tahun, berada pada level 72,65 basis poin per 21 November 2024.

Hal ini menunjukkan stabilitas risiko investasi Indonesia yang cukup terjaga. Sementara itu, yield Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun tercatat turun ke level 6,90 persen, yang menandakan adanya daya tarik bagi investor untuk menanamkan modal di aset-aset domestik.

Rupiah yang bergerak fluktuatif sepanjang pekan ini menggambarkan dinamika pasar yang sangat dipengaruhi oleh sentimen global maupun domestik.

Pergerakan dolar AS yang diukur melalui indeks Dolar (DXY), yang menunjukkan kekuatan mata uang tersebut terhadap enam mata uang utama dunia, juga menjadi faktor penting dalam menentukan pergerakan rupiah.

Dengan berbagai sentimen yang terus berkembang, rupiah diperkirakan masih akan menghadapi tekanan yang cukup besar, seiring dengan ketidakpastian global yang masih tinggi.

Sebelumnya diberitakan, Lukman Leong, Analis Doo Financial Futures, menjelaskan bahwa penguatan dolar AS selama pekan ini menjadi faktor utama yang menekan rupiah. Kenaikan nilai dolar didukung oleh kekhawatiran terkait kebijakan proteksionisme Presiden Donald Trump serta eskalasi konflik di Ukraina yang memicu permintaan terhadap aset safe haven. Dolar AS juga mendapatkan dorongan tambahan dari pernyataan hawkish The Fed yang tetap optimis mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi.

Di dalam negeri, hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) yang memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pergerakan rupiah.

Keputusan ini sudah sesuai dengan ekspektasi pasar dan tidak memberikan kejutan berarti. Namun, laporan defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III-2024 menjadi tekanan tambahan bagi rupiah.

Defisit tercatat sebesar USD 2,2 miliar atau 0,6 persen dari PDB, lebih rendah dibandingkan defisit kuartal sebelumnya yang mencapai USD 3,2 miliar atau 0,9 persen dari PDB.

Gejolak geopolitik juga menjadi perhatian utama pasar pekan ini. Ketegangan di Ukraina kembali memanas setelah Rusia meluncurkan rudal besar yang menghantam fasilitas militer Ukraina.

Selain itu, situasi di Timur Tengah yang masih belum stabil turut menambah ketidakpastian. Ketegangan ini mendorong kenaikan harga komoditas, termasuk emas, yang sering dianggap sebagai aset aman. Fenomena ini menciptakan pergeseran investasi dari pasar mata uang, termasuk rupiah, ke aset yang lebih defensif.

Meski begitu, rupiah berhasil sedikit menguat pada akhir pekan, didorong oleh pernyataan optimistis dari pejabat Tiongkok terkait prospek pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pernyataan ini memberikan harapan baru bagi pasar, terutama jelang pengumuman tarif dari Amerika Serikat yang diantisipasi investor.

Melihat ke depan, prospek rupiah pada pekan depan diperkirakan akan menghadapi tantangan besar. Pada awal pekan, investor akan menantikan keputusan Bank Sentral Tiongkok (PBoC) terkait kebijakan moneter.

Jika PBoC memutuskan untuk melonggarkan kebijakan moneternya, ini dapat menjadi sentimen positif bagi rupiah. Namun, tekanan diperkirakan kembali meningkat di pertengahan pekan, terutama setelah rilis risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang diperkirakan masih mempertahankan sikap hawkish.

Selain itu, data ekonomi Amerika Serikat seperti inflasi PCE dan revisi PDB kuartal ketiga yang akan dirilis pada pertengahan pekan juga dapat memperkuat dolar AS, menekan rupiah lebih lanjut.

Dengan minimnya data domestik yang signifikan, pergerakan rupiah pekan depan diperkirakan akan sangat bergantung pada sentimen eksternal, terutama dari perkembangan kebijakan moneter global dan ketegangan geopolitik. Investor disarankan tetap waspada terhadap berbagai potensi risiko yang dapat memengaruhi pasar keuangan.