KabarMakassar.com — Indonesia akan menghadapi masa jatuh tempo pembayaran utang pada tahun 2025, yang menimbulkan berbagai pandangan dari kalangan ekonom.
Meskipun situasi utang negara ini tetap dalam kondisi yang aman, tantangan dari sisi nilai tukar rupiah dan kewajiban pembayaran dalam dolar AS bisa memicu tekanan ekonomi yang lebih besar jika tidak dikelola dengan baik.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Hamid Paddu, menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki kemampuan bayar yang memadai. Menurutnya, Debt Coverage Ratio (DCR) Indonesia berada di atas rata-rata, yakni di atas angka 15, yang artinya kemampuan ekonomi negara dalam membayar utang adalah tiga kali lipat dari kekayaan yang ada.
“Kemampuan bayar kita masih bagus. DCR kita di atas 15, itu menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi dan kekayaan negara untuk membayar utang berada dalam kondisi yang aman,” jelas Prof. Hamid.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun pembayaran utang jatuh tempo, Indonesia telah menyiapkan skema pembayarannya sejak tahun lalu dan mencicilnya secara bertahap.
Terpisah, pandangan berbeda disampaikan oleh Pakar Perbankan dan Keuangan, Surardjo TUI. Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tekanan nilai tukar rupiah yang berpotensi terus melemah, meskipun suku bunga diturunkan.
Hal ini disebabkan oleh kewajiban Indonesia untuk membayar utang dan bunga utang dalam dolar AS, serta ketergantungan pada impor barang strategis seperti beras dan bahan bakar minyak (BBM).
“Agak sulit bagi Indonesia untuk menurunkan nilai dolarnya karena kita memiliki kewajiban pembayaran utang dalam dolar, ditambah impor beras dan BBM. Semua transaksi ini menggunakan dolar, sehingga tekanan terhadap rupiah sulit dihindari,” ujar Surardjo.
Ia memperingatkan, jika tidak berhati-hati dalam mengelola kewajiban utang dan impor, potensi resesi bisa muncul.
“Resesi bisa terjadi jika pengelolaan utang dan impor tidak hati-hati. Ini bisa berdampak besar pada sektor industri,” tambahnya.
Surardjo juga menyoroti bahwa meskipun Indonesia memiliki kemampuan untuk membayar utang, beban tersebut akan berdampak pada masyarakat.
Ia menyebutkan beberapa strategi yang mungkin dilakukan pemerintah jika beban pembayaran utang meningkat, seperti menaikkan pajak, mengurangi pengeluaran yang tidak penting, dan membatasi subsidi BBM.
“Salah satu strategi jika Indonesia kesulitan membayar utang adalah menaikkan pajak atau mengurangi subsidi BBM. Namun, ini akan berdampak pada masyarakat,” jelasnya.
Surardjo juga menyoroti tanda-tanda pembatasan BBM yang sudah mulai diberlakukan dengan penggunaan barcode dalam pembelian, sebagai salah satu langkah untuk mengurangi impor BBM dan menjaga stabilitas dolar Indonesia.
Di sisi lain, ia juga menilai bahwa bagi wilayah seperti Sulawesi Selatan, potensi resesi dapat memberikan peluang bagi sektor ekspor. Harga komoditas ekspor cenderung meningkat saat kondisi ekonomi melemah, sehingga memberikan keuntungan bagi daerah yang bergantung pada ekspor, seperti hasil perikanan dan pertanian. Namun, sektor industri dalam negeri bisa terkena dampak negatif jika resesi benar-benar terjadi.
Secara keseluruhan, meskipun Indonesia masih memiliki ruang untuk membayar utang, tantangan eksternal terutama terkait dolar AS dan impor strategis perlu dikelola secara hati-hati agar tidak memperburuk kondisi ekonomi di masa mendatang.
Untuk informasi, saat ini Indonesia memiliki utang jatuh tempo mencapai Rp 800,33 triliun pada 2025. Rinciannya Rp 705,5 triliun berupa Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 94,83 triliun berupa pinjaman.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menuturkan utang jatuh tempo itu tidak masalah selama persepsi APBN, kondisi ekonomi, dan keadaan politik RI tetap terjaga.
“Jadi kalau negara ini tetap kredibel, APBN-nya baik, kondisi ekonominya baik, kondisi politiknya stabil maka sudah hampir dipastikan risikonya kecil,” kata Sri Mulyani dalam rapat dengar bersama Komisi XI DPR RI, Kamis (6/6) silam.
Utang pemerintah mencapai Rp8.338 triliun per April 2024. Angka ini naik dari bulan sebelumnya yang mencapai Rp8.262 triliun.
Sri Mulyani mengatakan utang pemerintah per April itu mayoritas dalam bentuk surat berharga negara (SBN).
“Mayoritas instrumennya adalah SBN, tadi yang 87,9 persen, hampir 88 persen,” katanya.
Sementara sebesar 12,06 persen dari utang Ro8.338 triliun itu dalam bentuk pinjaman. Rinciannya, Rp7.333 triliun berasal dari SBN dan Rp1.005 triliun pinjaman.
Adapun rasio utang mencapai 38,64 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per akhir April 2024. Angka ini konsisten terjaga di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Rasio utang April juga menurun dari angka rasio utang terhadap PDB bulan sebelumnya yang mencapai 38,79 persen.