kabarbursa.com
kabarbursa.com

BI Pastikan Pelemahan Rupiah Masih Terkendali

Rupiah Terpuruk ke Level Rp16.000, Pengaruh Global dan Sikap BI Dinantikan
Ilustrasi rupiah (Dok : Int).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Bank Indonesia (BI) memastikan pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini masih dalam kondisi terkendali, meskipun tekanan eksternal semakin besar seiring dengan penguatan indeks dolar AS yang telah mencapai level 107.

Beberapa faktor eksternal turut memberikan tekanan, termasuk eskalasi geopolitik di Asia Timur antara China dan Taiwan, serta ekonomi Amerika Serikat yang masih menunjukkan ketahanan.

Pemprov Sulsel

Selain itu, permintaan dolar AS dari salah satu BUMN dalam sebulan terakhir juga menjadi salah satu penyebab pergerakan rupiah yang cenderung melemah.

Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia, Edi Susianto, menyatakan bahwa meskipun situasi global cukup menantang, pelemahan rupiah masih terkendali berkat dukungan pasokan valas dari para eksportir.

Ia juga menegaskan bahwa BI terus mengawal pergerakan rupiah untuk menjaga kepercayaan pasar.

“Kondisi cadangan devisa kita juga masih dalam keadaan terjaga untuk mendukung stabilitas nilai tukar,” katanya.

Tekanan yang dialami rupiah pekan ini tercermin dari pelemahan sebesar 0,47%, yang didorong oleh sentimen global. Pada pasar forward, rupiah ditutup di Rp15.977 per dolar AS pada penutupan bursa New York, hanya sejengkal dari level psikologis Rp16.000 per dolar AS.

Pada perdagangan Jumat pagi, nilai tukar forward rupiah bergerak di Rp15.981 per dolar AS. Kondisi ini sejalan dengan tren di kawasan Asia, di mana mayoritas mata uang melemah terhadap dolar AS.

Mata uang baht memimpin penurunan dengan pelemahan sebesar 0,13%, disusul oleh ringgit yang turun 0,09%, won 0,07%, yen 0,07%, serta dolar Hong Kong dan dolar Singapura yang masing-masing melemah 0,01%.

Faktor utama yang mendorong penguatan dolar AS adalah data inflasi harga grosir (Producer Price Index/PPI) di Amerika Serikat yang tercatat naik 0,4% secara bulanan pada November, melampaui prediksi pasar dan angka bulan sebelumnya yang hanya 0,02%.

Secara tahunan, inflasi grosir juga lebih tinggi dari perkiraan dengan angka 3,4%. Namun, inflasi inti PPI—di luar kelompok makanan dan energi—tercatat lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu sebesar 0,2%.

Inflasi inti yang lebih spesifik, yang tidak memasukkan harga makanan, energi, dan perdagangan, juga turun menjadi 0,1% dari bulan sebelumnya sebesar 0,3%.

Selain itu, Amerika Serikat juga melaporkan kenaikan klaim pengangguran awal menjadi 242.000, lebih tinggi dari ekspektasi pasar, dengan klaim lanjutan mencapai 1,89 juta.

Meski data ketenagakerjaan masih menunjukkan kekuatan secara keseluruhan, kenaikan klaim pengangguran menjadi perhatian pasar.

Chris Larkin dari E*Trade menjelaskan bahwa kenaikan harga komoditas tertentu, seperti telur, turut memberikan kontribusi pada lonjakan inflasi harga grosir.

Namun, pelaku pasar juga mulai fokus pada lonjakan klaim pengangguran sebagai indikator potensi pelemahan pasar tenaga kerja.

Di sisi lain, penguatan indeks dolar AS juga didorong oleh kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat. Yield Treasury tenor 10 tahun naik menjadi 4,32%, sementara tenor 30 tahun melonjak 5,5 basis poin ke 4,53%.

Imbal hasil tenor 2 tahun juga tercatat naik di level 4,18%. Kenaikan ini mencerminkan respons pasar terhadap prospek kebijakan moneter Federal Reserve, di mana pelonggaran suku bunga yang diharapkan tahun depan berpotensi terhambat jika inflasi terus bergerak di atas target.

Di tengah kondisi global yang penuh tekanan, sentimen domestik juga turut memberikan dampak pada pergerakan pasar surat utang Indonesia.

Meskipun demikian, Bank Indonesia menegaskan bahwa stabilitas nilai tukar akan tetap terjaga melalui koordinasi kebijakan yang kuat dan pengawasan ketat terhadap dinamika pasar global maupun domestik.

Sebelumnya diberitakan, Rupiah kembali terpuruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (12/12) kemarin. Rupiah mencatatkan pelemahan empat hari berturut-turut sejak awal pekan ini.

Berdasarkan data Refinitiv, nilai tukar rupiah ditutup melemah 0,06% ke level Rp15.920 per dolar AS. Sepanjang hari, rupiah bergerak dalam rentang Rp15.920 hingga Rp15.950 per dolar AS.

Pelemahan rupiah terjadi di tengah penurunan Indeks Dolar AS (DXY) sebesar 0,27% ke posisi 106,42 pada pukul 15.00 WIB.

Meski dolar melemah secara global, tekanan terhadap mata uang Garuda datang dari berbagai faktor eksternal, terutama ekspektasi kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed).

Rilis data inflasi konsumen AS pada November 2024 yang tumbuh 2,7% year-on-year (yoy), sesuai dengan ekspektasi pasar, memperkuat peluang The Fed untuk melanjutkan pemangkasan suku bunga.

Berdasarkan perangkat CME FedWatch, probabilitas pasar terhadap pemangkasan suku bunga pada pertemuan pekan depan melonjak menjadi 96,2%, dari sebelumnya 86%.

Namun, inflasi inti AS yang masih berada di level 3,3% yoy mengindikasikan bahwa tekanan harga tetap tinggi. Hal ini mengisyaratkan The Fed akan mengambil langkah yang lebih hati-hati dalam mengurangi suku bunga pada tahun mendatang.

Pasar juga menantikan rilis data Indeks Harga Produsen (IHP) AS yang diperkirakan melandai menjadi 0,2% yoy. Jika sesuai ekspektasi, data ini akan semakin memperkuat prospek pemangkasan suku bunga.

Selain itu, klaim pengangguran mingguan AS diprediksi menurun menjadi 220.000 dari pekan sebelumnya yang mencapai 224.000 klaim.

Penurunan ini menunjukkan pemulihan pasar tenaga kerja AS, yang pada akhirnya memberikan tekanan tambahan bagi mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Sentimen negatif bagi rupiah juga datang dari Eropa. Bank Sentral Eropa (ECB) diperkirakan akan kembali memangkas suku bunga acuannya pada pertemuan besok, menandai pemangkasan keempat sepanjang tahun ini.

Langkah ini menunjukkan percepatan pelonggaran kebijakan moneter di Zona Euro, yang semakin menarik perhatian investor global terhadap aset berdenominasi euro.

Tekanan eksternal yang beragam, mulai dari kebijakan The Fed hingga perkembangan di Eropa, membuat rupiah sulit menemukan momentum penguatan.

Dengan ekspektasi kebijakan moneter global yang cenderung longgar, volatilitas nilai tukar diperkirakan masih tinggi. Investor diimbau untuk terus memantau perkembangan pasar global yang akan memengaruhi pergerakan rupiah dalam jangka pendek.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diprediksi terus melemah dan berpotensi menembus level Rp16.000 per dolar.

Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui, menyebut pelemahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kewajiban utang jatuh tempo Indonesia, impor barang strategis, serta meningkatnya kebutuhan dolar AS di pasar domestik.

Menurut Sutardjo, kurs mata uang dipengaruhi oleh neraca perdagangan yang mencerminkan perbandingan ekspor dan impor antarnegara. Semakin tinggi nilai ekspor suatu negara, semakin kuat mata uangnya karena peningkatan permintaan terhadap mata uang lokal. Sebaliknya, dominasi impor dan peningkatan utang cenderung melemahkan mata uang domestik.

Namun, ia menyoroti bahwa pasar valuta asing saat ini tidak hanya bergantung pada neraca perdagangan, tetapi juga pada dinamika permintaan dan penawaran di pasar uang. “Permintaan dolar yang meningkat, baik untuk impor barang, pembayaran utang luar negeri, maupun perjalanan ke luar negeri, menjadi faktor utama pelemahan rupiah,” jelas Sutardjo.

Faktor Utama Pemicu Pelemahan Rupiah
Saat ini, kebutuhan dolar AS di dalam negeri melonjak akibat beberapa faktor signifikan. Sutardjo mencatat, pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo, impor bahan bakar minyak (BBM), beras, gula, dan telur menjadi pemicu utama pelemahan rupiah. Hal ini, menurutnya, membuat skenario rupiah menyentuh Rp16.000 per dolar semakin realistis.

“Proyeksi rupiah di angka Rp16.000 per dolar bisa saja terjadi dan hal itu sangat wajar,” katanya.

Ia juga menambahkan bahwa meskipun Bank Indonesia dapat mengintervensi pasar valuta asing melalui penggunaan cadangan devisa, kebijakan ini tidak akan menyelesaikan akar masalah yang berasal dari kewajiban utang dan ketergantungan impor.

Sutardjo turut menyoroti target ambisius pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menurunkan nilai tukar rupiah hingga Rp5.000 per dolar AS. Menurutnya, target ini dapat dicapai hanya jika Indonesia berhasil melunasi utang luar negeri dan secara drastis mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.

“Penghapusan utang, pengurangan perjalanan luar negeri, efisiensi biaya domestik, dan penghentian impor adalah langkah penting yang harus dilakukan untuk mencapai target itu,” ujar Sutardjo.

Namun, ia mengingatkan bahwa target ini membutuhkan perubahan struktural yang signifikan dalam ekonomi Indonesia, termasuk peningkatan kapasitas ekspor dan pengurangan kebutuhan terhadap barang-barang impor.

Pelemahan rupiah saat ini menjadi cerminan tantangan ekonomi Indonesia yang masih menghadapi ketergantungan besar terhadap dolar AS. Di sisi lain, hal ini menjadi pengingat pentingnya kebijakan strategis untuk memperkuat fondasi ekonomi domestik.