KabarMakassar.com — Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menetapkan aturan teknis baru mengenai pembuatan Faktur Pajak yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER-1/PJ/2025).
Peraturan ini mengatur berbagai aspek terkait Faktur Pajak, khususnya untuk transaksi yang melibatkan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP), serta ketentuan selama masa transisi penerapan tarif pajak baru.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP dan JKP sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 PMK 131 Tahun 2024.
Faktur Pajak ini harus diisi dengan informasi yang benar, lengkap, dan jelas, mencantumkan keterangan mengenai penyerahan barang atau jasa sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.
Namun, untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh PKP pedagang eceran kepada konsumen akhir, Faktur Pajak dapat dibuat tanpa mencantumkan identitas pembeli, nama, serta tanda tangan penjual.
Pada masa transisi dari 1 Januari hingga 31 Maret 2025, terdapat kebijakan khusus untuk Faktur Pajak yang mencantumkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Faktur Pajak dengan tarif 12% atau 11% tetap dianggap sah selama memuat keterangan lain yang sesuai dengan peraturan perpajakan.
Jika terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 12%, pihak yang terpungut dapat meminta pengembalian kepada PKP penjual. PKP penjual kemudian wajib melakukan pembetulan atau penggantian Faktur Pajak sesuai permintaan tersebut.
Penghitungan PPN pada Barang Kena Pajak Mewah
Khusus untuk penyerahan BKP yang tergolong mewah, pemerintah memberlakukan penghitungan khusus selama Januari 2025.
PPN terutang dihitung dengan tarif 12%, dikalikan Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual. Namun, mulai Februari 2025, penghitungan tarif 12% akan langsung diterapkan pada harga jual barang tersebut.
Ketentuan ini tidak berlaku untuk barang mewah seperti kapal pesiar, balon udara, dan sejenisnya, yang penjualannya dilakukan oleh PKP pedagang eceran.
Sebelumnyaa diberitakan, Masyarakat yang telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang-barang yang tidak tergolong mewah kini memiliki hak untuk menagih kelebihan pembayaran sebesar 1% kepada pengusaha yang memungut pajak tersebut.
Hal ini dimungkinkan karena mulai 1 Januari 2025, tarif PPN sebesar 12% hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang termasuk dalam kategori objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Sementara itu, untuk barang-barang nonmewah, tarif PPN yang berlaku tetap 11%, sebagaimana yang sudah diterapkan sejak April 2022.
Dasar hukum untuk permintaan pengembalian ini telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-1/PJ/2025, yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo pada 3 Januari 2025.
Dalam peraturan tersebut, masyarakat yang merasa kelebihan membayar pajak dapat langsung mengajukan permintaan pengembalian kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang telah memungutnya.
“Pihak terpungut meminta pengembalian kelebihan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak penjual,” demikian tertuang dalam ayat 2 Pasal 4 Perdirjen Pajak 1/2025.
Pengusaha yang menerima permintaan tersebut wajib melakukan pembetulan atau penggantian faktur pajak. Hal ini disebutkan secara rinci dalam peraturan yang sama.
“Berdasarkan permintaan pengembalian dari pihak terpungut, Pengusaha Kena Pajak penjual melakukan pembetulan atau penggantian Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak,” demikian bunyi salah satu ketentuan di Perdirjen Pajak tersebut.
Keputusan pemerintah untuk membatasi PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah bertujuan menjaga kestabilan perekonomian masyarakat.
Bagi barang dan jasa nonmewah, tarif 11% tetap berlaku tanpa perubahan. Namun, apabila terjadi kesalahan pemungutan oleh pengusaha, masyarakat memiliki hak penuh untuk meminta pengembalian kelebihan bayar sesuai aturan yang berlaku.
Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menegaskan bahwa pengembalian ini akan dilakukan dengan mekanisme yang jelas.
“Referensinya kalau sudah kelebihan dipungut ya dikembalikan. Prosesnya bisa dilakukan melalui pengembalian kepada pihak yang bersangkutan atau melalui pembetulan faktur pajak yang nantinya dilaporkan. Tidak ada masalah,” kata Suryo dalam Senin (06/01).
Kebijakan pengembalian ini juga merupakan bagian dari pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.
Merujuk pada Bab II Pasal 4 tentang Ketentuan Faktur Pajak dalam Masa Transisi, terdapat dua poin penting terkait kelebihan pungutan:
- Pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual.
- Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual harus melakukan penggantian faktur pajak atas permintaan pengembalian tersebut.
Direktorat Jenderal Pajak berharap kebijakan ini dapat membantu masyarakat yang terkena dampak kesalahan pemungutan tarif.
Pemerintah juga memastikan mekanisme pengembalian berjalan transparan dan dapat diakses oleh semua pihak yang berhak.
Kebijakan ini diharapkan menjadi langkah untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan yang lebih adil dan responsif.
Sebelumnya, Pemerintah telah resmi menerapkan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Namun, kebijakan ini hanya berlaku secara terbatas untuk barang dan jasa mewah yang umumnya dikonsumsi oleh kalangan masyarakat berpenghasilan tinggi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kenaikan PPN ini tidak berlaku untuk semua barang dan jasa.
Hanya barang-barang tertentu yang selama ini sudah termasuk dalam kategori barang mewah dan dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang akan dikenakan PPN 12%. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023.
“Itu kategorinya sangat sedikit, sangat terbatas seperti jet pribadi, kapal pesiar, dan rumah mewah yang sudah diatur dalam PMK PPnBM Nomor 15 Tahun 2023,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Selasa (31/12) kemarin.
Sri Mulyani menegaskan bahwa untuk barang dan jasa lainnya yang selama ini dikenakan tarif PPN 11%, tidak ada perubahan tarif.
“Tetap 11%, tidak ada kenaikan PPN untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini tetap 11%,” tegasnya.
Berdasarkan PMK Nomor 15 Tahun 2023, berikut daftar barang-barang yang termasuk dalam kategori barang mewah dan dikenakan tarif PPN 12%:
- Kelompok hunian mewah seperti apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual minimal Rp30 miliar.
- Balon udara yang dapat dikemudikan dan pesawat udara tanpa tenaga penggerak, serta peluru senjata api, kecuali untuk keperluan negara.
- Pesawat udara mewah, termasuk helikopter dan kendaraan udara lainnya, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan niaga.
- Senjata api dan peralatan semacam itu, kecuali yang digunakan untuk keperluan negara, seperti senjata artileri, revolver, dan pistol.
- Kapal pesiar mewah, yacht, kapal ekskursi, dan kendaraan air serupa, kecuali yang digunakan untuk keperluan negara, angkutan umum, atau usaha pariwisata.
Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk memastikan pengenaan pajak yang lebih adil dan progresif. Barang-barang yang dikenai tarif PPN 12% adalah barang yang umumnya dimiliki oleh kalangan tertentu dengan tingkat konsumsi yang sangat tinggi.
Dengan kebijakan ini, Sri Mulyani berharap masyarakat dapat memahami bahwa mayoritas barang dan jasa yang menjadi kebutuhan sehari-hari tetap dikenakan PPN sebesar 11%.
Pemerintah memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan memberikan dampak signifikan pada masyarakat luas, melainkan lebih ditujukan untuk optimalisasi penerimaan pajak dari segmen barang mewah.