KabarMakassar.com — Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Edi Susianto, menjelaskan bahwa depresiasi rupiah sejalan dengan mata uang negara-negara Asia lain yang turut melemah di hadapan dolar AS. Ia menyebut faktor eksternal sebagai pendorong utama di balik tren pelemahan ini.
“Hari ini mata uang Asia umumnya mengalami tekanan dari sentimen global yang kurang kondusif,” ujarnya.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin tertekan di pasar spot dan kembali melemah hingga mencapai level Rp 15.735 per dolar AS pada perdagangan siang ini. Berdasarkan data Bloomberg pada pukul 13.38 WIB, rupiah melemah 88 poin atau sekitar 0,56 persen dibanding penutupan sebelumnya.
Pada hari yang sama, indeks dolar AS tercatat menguat, bergerak di sekitar level 104,32, menurut data dari Investing. Penguatan ini didorong oleh beberapa faktor, di antaranya ekspektasi bahwa bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), tidak akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.
Data ekonomi AS yang masih menunjukkan performa positif memberi ruang bagi The Fed untuk mempertahankan suku bunga tinggi, sehingga memperkuat nilai dolar.
“Pernyataan-pernyataan pejabat The Fed yang cenderung tidak dovish turut menambah tekanan,” tambah Edi.
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga memberi dampak, setelah Israel melakukan serangkaian serangan udara terhadap Iran, memicu kekhawatiran investor dan mendorong mereka untuk mencari aset safe haven, seperti dolar AS.
Di sisi lain, perlambatan ekonomi di China dan Eropa turut membebani mata uang negara-negara Asia. Merespons pelemahan ini, Bank Indonesia memastikan terus mengintervensi pasar guna menjaga stabilitas rupiah melalui pengelolaan permintaan dan pasokan valuta asing.
“Upaya ini dilakukan untuk memastikan kepercayaan pasar tetap terjaga,” tutup Edi.
Sebelumnyax Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpantau melemah pada penutupan perdagangan Senin (28/10) kemarin, seiring dengan meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan penguatan dolar AS.
Mengutip data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup pada level Rp15.724 per dolar AS, melemah 79 poin atau 0,50 persen dari posisi Rp15.645 per dolar pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Sementara itu, menurut data Refinitiv, rupiah mengalami penurunan sebesar 0,54 persen dan ditutup di level Rp15.720 per dolar AS setelah sebelumnya sempat berfluktuasi di kisaran Rp15.735 hingga Rp15.660 per dolar.
Pelemahan rupiah kali ini dinilai cukup signifikan, bahkan menjadi titik terendah sejak Agustus 2024, di mana mata uang Garuda sempat mencapai Rp15.830 per dolar AS. Kondisi ini mencerminkan kekhawatiran pasar yang meningkat setelah adanya serangan udara oleh Israel terhadap Iran pada Sabtu (26/10).
Peristiwa ini memicu sentimen negatif di pasar, mendorong para investor untuk mengalihkan dananya ke aset yang lebih aman atau safe haven, seperti dolar AS.
Penguatan Dolar AS Ditopang Ketegangan Timur Tengah dan Sentimen Pilpres AS
Penguatan dolar AS yang terjadi pada saat bersamaan menambah tekanan pada rupiah. Indeks Dolar AS (DXY), yang menjadi tolak ukur kekuatan dolar terhadap sejumlah mata uang utama dunia, tercatat naik 0,12 persen ke level 104,385 pada pukul 15.00 WIB.
Kenaikan ini sedikit lebih tinggi dibandingkan penutupan pekan lalu di angka 104,257, menandakan preferensi pasar terhadap dolar AS yang lebih tinggi di tengah ketidakpastian geopolitik dan sentimen pilpres AS yang semakin dekat.
Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, mencatat bahwa ketegangan politik internasional serta pemilihan presiden AS yang tinggal beberapa hari lagi membuat investor lebih memilih dolar sebagai aset aman.
“Para pelaku pasar cenderung beralih ke dolar AS di tengah ketidakpastian geopolitik dan pilpres AS. Pasar tampaknya mengambil sikap antisipatif terhadap meningkatnya ketidakpastian politik di Jepang, yang turut memperkuat posisi dolar,” ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
Situasi politik di Jepang juga turut memengaruhi permintaan dolar AS. Setelah koalisi yang dipimpin oleh Partai Demokrat Liberal (LDP) kehilangan mayoritas parlementernya, kekhawatiran akan ketidakpastian politik di Jepang turut mendorong arus masuk ke dolar AS.
Ibrahim menyebut bahwa ketidakpastian ini hanya menambah dorongan bagi pasar untuk menghindari aset-aset berisiko, termasuk mata uang negara berkembang seperti rupiah.
Eskalasi Ketegangan Timur Tengah Pengaruhi Pergerakan Rupiah
Ketegangan di Timur Tengah menjadi faktor dominan yang memengaruhi kurs rupiah hari ini. Setelah serangan Israel terhadap Iran, harga minyak mentah dunia melonjak secara signifikan; harga minyak jenis WTI naik 3,69 persen, sementara Brent menguat 4,09 persen dalam hitungan minggu.
Kenaikan harga minyak ini dipicu oleh kekhawatiran akan potensi eskalasi konflik di kawasan tersebut, yang dapat berdampak pada pasokan minyak global.
Meski Arab Saudi telah mengimbau semua pihak untuk menahan diri, meningkatnya ketidakpastian di Timur Tengah membuat investor semakin berhati-hati.
“Kekhawatiran atas dampak konflik ini terus membayangi pasar, terutama jika eskalasi ini sampai merusak fasilitas minyak atau nuklir Iran. Jika terjadi, ini akan meningkatkan risiko ketegangan lebih besar,” tambah Ibrahim.
Data Ekonomi AS Menjadi Fokus, Pengaruhnya pada Kebijakan The Fed
Selain faktor geopolitik, perhatian pasar juga tertuju pada rilis data ekonomi AS, terutama data lowongan kerja yang diperkirakan akan turun menjadi 7,92 juta posisi dari 8,04 juta posisi pada periode sebelumnya. Data ketenagakerjaan ini dipandang sebagai indikator penting bagi Federal Reserve dalam menentukan arah kebijakan moneter ke depan.
Ibrahim memaparkan, dengan adanya data ekonomi utama yang akan dirilis, seperti produk domestik bruto (PDB) AS dan zona euro, serta data indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) yang menjadi pengukur inflasi pilihan The Fed, investor akan lebih fokus pada kemungkinan kebijakan moneter selanjutnya.
Ketidakpastian data ekonomi dan rilis PCE di akhir pekan ini menambah tekanan pada rupiah. Kondisi ekonomi global yang tidak pasti membuat pasar memperkirakan The Fed mungkin akan mempertahankan suku bunga tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, yang pada akhirnya akan memperkuat dolar AS lebih lanjut.
Prospek Rupiah di Tengah Tekanan Eksternal
Melihat kondisi pasar saat ini, Ibrahim memperkirakan bahwa rupiah masih akan berada dalam tekanan pada perdagangan besok. “Untuk perdagangan Selasa, rupiah kemungkinan akan bergerak fluktuatif namun cenderung melemah di kisaran Rp15.710 hingga Rp15.810 per dolar AS,” jelasnya.
Ibrahim menegaskan bahwa tekanan terhadap rupiah berasal dari kombinasi faktor eksternal, baik geopolitik maupun ekonomi global, yang sulit diprediksi.
Ia juga menambahkan bahwa pergerakan rupiah akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan situasi Timur Tengah dan data ekonomi AS yang diharapkan bisa memberikan petunjuk arah kebijakan The Fed.
Dengan ketidakpastian global yang masih tinggi, BI diharapkan terus menjaga stabilitas rupiah melalui kebijakan moneter yang adaptif. Pelaku pasar juga akan mengamati langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk menstabilkan mata uang, di tengah gejolak yang kemungkinan akan terus berlanjut hingga akhir tahun.
Pemerintah Hadapi Tantangan Pembayaran Utang Jatuh Tempo pada 2025
Pemerintah dihadapkan pada kewajiban pembayaran utang besar yang jatuh tempo pada 2025, termasuk utang hasil kerja sama pembiayaan dengan Bank Indonesia (BI) yang diadakan selama pandemi COVID-19.
Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada tahun tersebut terdapat Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp100 triliun yang jatuh tempo, yang dibeli oleh BI melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) II.
Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, total SBN yang diterbitkan dalam rangka SKB II dan SKB III mencapai Rp612,56 triliun, termasuk Surat Utang Negara (SUN) seri Variable Rate (VR) yang hanya dijual kepada BI di pasar perdana.
SKB ini adalah bagian dari komitmen burden sharing atau berbagi beban antara pemerintah dan BI untuk menangani dampak ekonomi dari pandemi COVID-19.
Dalam pelaksanaan kerja sama tersebut, BI bertindak sebagai pembeli siaga (standby buyer) pada SKB I, sementara pemerintah melakukan penempatan langsung (direct placement) pada SKB II dan III, dengan fokus khusus pada sektor kesehatan dan kemanusiaan.
Sementara kewajiban pembayaran senilai Rp100 triliun ini menjadi perhatian utama, jumlah ini hanya sebagian dari total utang yang akan jatuh tempo pada tahun 2025.
Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa profil jatuh tempo utang pemerintah pada 2025 mencapai Rp800,33 triliun. Dari total ini, sekitar Rp705,5 triliun berupa jatuh tempo SBN dan Rp94,83 triliun berupa pinjaman lainnya.
Pembayaran utang yang besar ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah, mengingat periode jatuh tempo utang dari kerja sama burden sharing ini berlanjut hingga 2029.