KabarMakassar.com — Tren deflasi yang terjadi di Sulawesi Selatan (Sulsel) selama lima bulan berturut-turut menjadi perhatian serius para pakar ekonomi. Pasalnya, Deflasi yang dialami Sulsel mengikuti jejak Nasional yang juga mengalami Deflasi berturut sejak Mei lalu.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Marsuki DEA, menilai bahwa deflasi ini merupakan sebuah anomali, mengingat kondisi perekonomian secara umum telah pulih dari dampak negatif pandemi COVID-19 dan gejolak politik seperti Pilpres beberapa waktu lalu.
“Dalam kondisi perekonomian yang sudah keluar dari dampak negatif COVID-19 dan hingar-bingar Pilpres, apalagi menyongsong Pilkada raya serentak, tren deflasi selama lima bulan ini bisa dianggap sebagai keadaan anomali,” jelasnya saat dihubungi KabarMakassar, Kamis (03/10).
Prof. Marsuki mencatat bahwa beberapa pelaku ekonomi menahan belanja mereka akibat kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi dan sosial yang dinilai kurang kondusif.
“Banyak pelaku ekonomi yang menahan belanja karena khawatir tren perekonomian dan sosial yang dianggap akan kurang kondusif,” tambahnya.
Ia juga memperingatkan bahwa jika kondisi ini dibiarkan, akan terjadi kelesuan ekonomi yang lebih dalam, meningkatkan angka PHK dan kemiskinan, serta menekan pertumbuhan ekonomi secara bertahap.
Pentingnya Kebijakan Ekstraordinary untuk Mengatasi Krisis
Untuk mencegah krisis ini semakin dalam, Prof. Marsuki menegaskan pentingnya kebijakan dari otoritas strategis yang bersifat “ekstraordinary.” Menurutnya, kebijakan ini harus mampu mengakomodasi masalah-masalah ekonomi dan bisnis yang rentan, serta mendukung sektor-sektor yang banyak melibatkan masyarakat, baik sebagai tenaga kerja maupun unit usaha.
“Kebijakan yang bersifat ekstraordinary diperlukan untuk mengakomodasi masalah ekonomi dan bisnis yang banyak melibatkan masyarakat kebanyakan,” tegasnya.
Ia menyarankan beberapa langkah kebijakan, seperti kemudahan akses pembiayaan, perpajakan, dan perizinan, serta menjaga agar tidak ada kenaikan harga komoditas strategis seperti BBM, listrik, dan air.
Selain itu, ia menekankan pentingnya bantuan sosial (bansos) yang transparan dan bertanggung jawab bagi masyarakat yang paling terdampak, serta distribusi pasar yang lebih luas.
“Bansos yang transparan dan bertanggung jawab sangat penting untuk membantu kelompok masyarakat yang paling menderita akibat kondisi ini,” tambahnya.
Deflasi dan Penurunan Harga di Pasar
Sementara, Pengamat Ekonomi dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Murtiadi Awaluddin, juga menyoroti tren deflasi di Sulsel, yang sebagian besar disebabkan oleh penurunan harga sejumlah kebutuhan pokok, seperti kentang dan sayuran lainnya.
“Penurunan harga terjadi pada beberapa kebutuhan pokok, misalnya sayur-sayuran seperti kentang, yang harganya terus menurun dalam beberapa bulan terakhir,” kata Murtiadi.
Menurutnya, penurunan harga barang sering kali diakibatkan oleh melimpahnya jumlah barang di pasaran, baik akibat impor maupun panen raya.
“Biasanya penurunan harga terjadi karena banyaknya barang yang beredar di masyarakat, bisa jadi karena adanya impor atau hasil panen raya yang menyebabkan jumlah barang meningkat,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa sementara penurunan harga dapat meningkatkan daya beli masyarakat, pemerintah harus tetap waspada terhadap dampak jangka panjang jika jumlah barang yang beredar terlalu banyak, terutama untuk barang yang tidak tahan lama.
Fluktuasi Harga dan Dampaknya Terhadap Ekonomi
Senada, Guru Besar Ekonomi Unhas, Prof. Hamid Paddu, menjelaskan salah satu faktor penentu deflasi bisa melihat dari kurangnya daya beli masyarat. Namun, dalam kasus deflasi Sulsel bahkan nasioanl hal ini bukan faktor utama.
“Fluktuasi harga sangat bergantung pada faktor-faktor penyebabnya. Dalam beberapa kasus, penurunan harga bisa disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat,” jelas Prof. Hamid.
Namun, ia juga mencatat bahwa penurunan harga yang terjadi baru-baru ini lebih banyak dipengaruhi oleh stabilisasi harga komoditas, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), yang sempat naik tajam akibat kenaikan harga minyak mentah.
“Saat dicek, penurunan harga lebih banyak terjadi karena banyak kelompok barang yang mengalami penurunan harga setelah sempat melonjak, seperti BBM,” ungkapnya.
Selain BBM, kelompok bahan makanan dan minuman, termasuk rokok, juga mengalami penurunan harga setelah sempat naik, yang turut berkontribusi pada deflasi.
Prof. Hamid menekankan bahwa deflasi kali ini berbeda dengan yang terjadi saat krisis ekonomi 1998-1999, di mana penurunan daya beli masyarakat disebabkan oleh menurunnya pendapatan.
“Deflasi kali ini lebih disebabkan oleh penurunan harga setelah lonjakan, bukan karena daya beli yang menurun seperti pada krisis 1998,” katanya.
Selain itu, ia juga mencatat bahwa penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia akan mendorong minat konsumsi masyarakat, yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dalam beberapa bulan mendatang.
“Dengan bunga bank yang rendah, masyarakat lebih cenderung menggunakan uang mereka untuk konsumsi daripada menabung,” ujarnya.
Kebijakan dan Intervensi Pemerintah Diperlukan
Secara keseluruhan, para pakar sepakat bahwa meskipun tren deflasi ini dapat memberikan keuntungan bagi konsumen, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas harga dan mendorong pemulihan ekonomi.
Pada kondisi saat ini,intervensi pemerintah menjadi hal yang penting agar dapat menjaga penurunan harga sehingga tidak berdampak negatif pada sektor ekonomi lainnya.
Mereka juga menyarankan agar pemerintah memperhatikan distribusi barang yang berlebihan dan memastikan kebijakan yang mendukung sektor-sektor ekonomi yang berpotensi kembali pulih.
Dengan fluktuasi harga yang terus terjadi, upaya pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara permintaan dan penawaran akan menjadi faktor kunci dalam menjaga stabilitas ekonomi Sulsel di masa mendatang.
Untuk informasi, baru-baru ini Indonesia mencatat deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) pada September 2024, menandai deflasi kelima berturut-turut di sepanjang tahun ini. Menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi pada bulan September 2024 ini merupakan yang terdalam dalam lima tahun terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Kondisi ini terjadi di tengah penurunan harga berbagai komoditas, khususnya bahan bakar non-subsidi.
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam keterangan resminya, Selasa (01/10) menekankan bahwa deflasi ini adalah yang paling signifikan jika dibandingkan dengan bulan-bulan yang sama dalam lima tahun terakhir.
“Deflasi bulan September 2024 ini merupakan yang terdalam dibandingkan bulan yang sama dalam lima tahun terakhir, dengan angka deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan,” kata Amalia.
Deflasi ini melanjutkan tren yang sudah terjadi sejak Mei 2024, di mana Indonesia mulai mencatat deflasi sebesar 0,03 persen. Kondisi ini terus memburuk pada bulan-bulan berikutnya dengan deflasi sebesar 0,08 persen pada Juni 2024, kemudian mencapai puncaknya di 0,18 persen pada Juli 2024. Meski Agustus 2024 sempat menunjukkan perbaikan dengan deflasi kembali ke level 0,03 persen, pada September 2024 deflasi kembali memperdalam hingga 0,12 persen.
Menurut Amalia, deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini terutama disebabkan oleh penurunan harga komoditas yang tergolong bergejolak, seperti bahan bakar non-subsidi dan beberapa komoditas makanan. Ia mencatat bahwa harga bensin dan solar turun tajam pada September 2024, yang berdampak langsung pada angka deflasi.
“Penurunan harga BBM pada bulan September, terutama untuk bahan bakar khusus non-subsidi seperti bensin dan solar, berkontribusi besar terhadap deflasi. Bensin mencatat deflasi sebesar 0,72 persen, sedangkan solar mencapai 0,74 persen,” jelas Amalia.
Penurunan harga bensin ini menyumbang andil deflasi sebesar 0,04 persen, menjadikannya deflasi terdalam sejak Desember 2023.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau juga menjadi penyumbang utama deflasi pada September 2024. Kelompok ini mencatat deflasi sebesar 0,59 persen, dengan kontribusi terhadap deflasi keseluruhan mencapai 0,17 persen. Beberapa komoditas dalam kelompok ini, seperti cabai dan beras, mengalami penurunan harga yang signifikan, turut menekan inflasi.
Sulsel sendiri termasuk dalam salah satu provinsi yang turut mendapat sebaran deflasi di Indonesia.
Dari 38 Provinsi, 24 Provinsi mencatat deflasi per September 2024 kemarin. Papua Barat menjadi provinsi dengan deflasi terdalam, mencapai 0,92 persen, sedangkan Maluku Utara mencatat inflasi tertinggi dengan angka 0,56 persen. Hal ini menunjukkan adanya variasi dalam pola harga komoditas di berbagai daerah.