KabarMakassar.com – Sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Makassar mengalami kekosongan stok Pertamax, sementara antrean panjang terjadi pada pembelian Pertalite.
Berdasarkan pantauan KabarMakassar, beberapa SPBU tampak tidak memiliki antrean untuk Pertamax. Salah satunya di SPBU Jalan Toddopuli Raya, di mana papan informasi menunjukkan tidak tersedianya bahan bakar tersebut.
Hanya antrean kendaraan yang mengisi Pertalite yang terlihat cukup panjang.
Kondisi serupa juga terjadi di SPBU Jalan Veteran, tepatnya di seberang Toko Mr DIY, serta di SPBU Poros BTP-Moncongloe, yang memasang tulisan “Pertamax dan Solar dalam pengiriman.”
Wahyu, salah satu pengguna kendaraan bermotor, mengaku kesulitan mencari Pertamax untuk motornya. Ia telah berkeliling ke beberapa SPBU, tetapi selalu mendapat jawaban yang sama: stok kosong.
“Kemarin saya dari Toddopuli, terus sempat ke Hertasning, tapi semua bilang tidak ada Pertamax,” ujarnya, Senin (10/03).
Karena tidak menemukan Pertamax, Wahyu pun terpaksa mengisi motornya dengan Pertalite.
“Terpaksa pakai Pertalite, karena bensin sudah mau habis. Sudah cari beberapa tempat, semua kosong. Daripada kehabisan di jalan, ya terpaksa,” keluhnya.
Kelangkaan Pertamax terjadi di tengah kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk di PT Pertamina. Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menahan tujuh tersangka dalam kasus ini, yang melibatkan subholding Pertamina serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.
Selain itu, Kejagung juga mengungkap adanya dugaan praktik pengoplosan Pertamax dengan Pertalite, yang bahkan menyeret Riva Siahaan (RS), Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite, kemudian mencampurnya di storage atau depo hingga menghasilkan Pertamax. Namun, pembelian Pertalite ini dilakukan dengan harga Pertamax, yang diduga merugikan keuangan negara.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92,” demikian keterangan Kejagung, Selasa (25/02).