kabarbursa.com
kabarbursa.com

Rupiah Nyaris Jebol, Pengamat Desak Perombakan Program Ekonomi Nasional

Rupiah Nyaris Jebol, Pengamat Desak Perombakan Program Ekonomi Nasional
Ilustrasi Rupiah (Dok : KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah kembali tertekan hingga menyentuh level psikologis Rp17.000 per dolar AS. Melemahnya kurs ini dinilai sebagai sinyal kuat bahwa pemerintah perlu segera mengambil langkah nyata dan terukur untuk memperbaiki kondisi ekonomi dalam negeri.

Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui, mengatakan bahwa pelemahan rupiah yang terjadi saat ini sebetulnya sudah bisa diprediksi sejak akhir tahun lalu.

Menurutnya, lemahnya mata uang Garuda adalah dampak dari berbagai kebijakan struktural yang belum ditangani dengan serius, terutama menyangkut pengelolaan impor dan strategi ekspor nasional.

“Sejak akhir tahun lalu saya sudah memperkirakan kurs rupiah akan terus melemah bahkan bisa menembus Rp18.000 di awal 2025. Ini karena tidak ada upaya signifikan dari pemerintah untuk mengendalikan impor maupun mendorong ekspor secara agresif,” ujar Sutardjo, Selasa (08/04).

Ia menambahkan, rencana impor beras dan bahan bakar minyak (BBM) yang sulit dibatasi, serta belum adanya kebijakan untuk menghentikan atau mengurangi ketergantungan terhadap barang impor, menjadi beban berat bagi kestabilan rupiah.

Ditambah lagi, belum terlihat adanya terobosan untuk memperluas pasar ekspor Indonesia ke negara-negara baru yang potensial.

Situasi ini diperparah dengan munculnya kebijakan proteksionis dari Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.

Kenaikan tarif impor hingga 32% terhadap produk Indonesia, yang dikenal dengan sebutan “Trump Tax”, menurut Sutardjo akan berdampak langsung pada penurunan ekspor Indonesia ke AS dan menggerus surplus neraca perdagangan nasional.

“Ketidakpastian program Danantara dan keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga memberikan sinyal negatif ke pasar. Belum lagi pembayaran pokok dan bunga utang yang mencapai sekitar seribu triliun rupiah tahun ini, semakin memperparah tekanan terhadap rupiah,” ungkapnya.

Sutardjo juga menyoroti kondisi Manajemen Berbasis Governing (MBG) yang dinilai belum berjalan sesuai rencana. Ditambah dengan rendahnya kepercayaan pasar terhadap konsistensi kebijakan pemerintah, menurutnya, bisa mempercepat pelarian dana ke luar negeri dan membuat permintaan terhadap dolar AS terus meningkat.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa apabila pemerintah tidak segera mengambil langkah strategis, rupiah berpotensi terus melemah bahkan melampaui level Rp18.000 per dolar AS. Untuk itu, Sutardjo mengusulkan sejumlah solusi konkret.

Pertama, pemerintah diminta untuk merombak program Danantara agar kembali pada visi awal yang digagas oleh tokoh ekonomi Sumitro Djojohadikusumo. Kedua, perlu ada pembenahan dalam struktur kepengurusan dan pelaksanaan program tersebut agar bisa dipercaya oleh investor.

Ketiga, pengurangan barang-barang impor harus menjadi prioritas. Pemerintah juga perlu secara aktif mencari dan membangun pasar ekspor baru, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program MBG, serta mempercepat hilirisasi sektor pangan guna mewujudkan swasembada.

Terakhir, Sutardjo menekankan pentingnya konsistensi antara ucapan dan tindakan pemerintah. Menurutnya, perubahan regulasi yang terlalu sering dan tidak selaras dengan pernyataan publik justru menimbulkan ketidakpastian dan merusak kepercayaan pelaku pasar.

“Kalau pemerintah tidak menunjukkan keseriusan dan konsistensi, maka pasar akan terus meragukan stabilitas ekonomi kita. Dan itu yang paling cepat terasa dampaknya adalah nilai tukar rupiah,” pungkasnya.

Untuk informasi, Usai libur panjang Lebaran Idulfitri 1446 H, pasar keuangan Indonesia langsung dihadapkan pada kenyataan pahit, rupiah tergelincir tajam. Di tengah sentimen global yang panas akibat kebijakan proteksionis Presiden AS Donald Trump, nilai tukar rupiah kembali dibuka melemah di awal pekan ini.

Pada Selasa pagi (08/04) pukul 09.20 WIB, rupiah dibuka anjlok sebesar 0,19% atau melemah 31,5 poin ke posisi Rp16.853 per dolar AS.

Tekanan tak hanya datang dari domestik, sebab pada waktu yang sama, indeks dolar AS sendiri juga menunjukkan pelemahan sebesar 0,27 poin atau 0,26% ke level 102,99.

Anjloknya rupiah kali ini bukan kejutan sepenuhnya. Sejak akhir kuartal pertama 2025, tekanan terhadap mata uang Garuda terus membesar.

Pada perdagangan terakhir sebelum libur panjang, yakni Kamis (26/03) lalu, rupiah masih bertengger di level Rp16.562 per dolar AS. Namun dalam hitungan hari, khususnya di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) atau pasar luar negeri, nilainya sempat terjun menembus Rp17.000.

Puncaknya terjadi pada Jumat (04/04) pukul 20.53 WIB, saat kontrak NDF rupiah diperdagangkan di angka Rp17.006 per dolar AS, seiring dengan pengumuman resmi Presiden AS Donald Trump mengenai kenaikan tarif impor terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Tarif baru ini mencapai angka 32%, dan menjadi ancaman serius terhadap neraca perdagangan dan aliran devisa nasional.

Kondisi tak jauh berbeda terjadi pada Senin (7/4/2025), di mana rupiah di pasar NDF tercatat kembali melemah hingga 288 poin atau 1,73% ke level Rp16.940,5 per dolar AS.

Meski pasar domestik (on shore) masih tutup karena libur Lebaran sejak 28 Maret hingga 7 April, geliat tekanan dari pasar global tak terbendung dan terus membayangi pembukaan perdagangan hari ini.