kabarbursa.com
kabarbursa.com

Pengamat Ingatkan Potensi Hambatan Digitalisasi Jika Transaksi QRIS Dikenai Pajak

Pengamat Ingatkan Potensi Hambatan Digitalisasi Jika Transaksi QRIS Dikenai Pajak
Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui (Dok : Ist).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui, mengingatkan pemerintah dan otoritas terkait untuk tidak mengenakan tambahan pajak pada transaksi menggunakan QR Code Indonesian Standard (QRIS). Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi menghambat adopsi sistem pembayaran digital yang sedang digalakkan.

“Kalau sampai dikenai pajak, orang akan berpikir ulang untuk menggunakan QRIS. Mereka mungkin akan kembali ke pembayaran tunai, yang justru bertolak belakang dengan tujuan transformasi digital,” ujar Sutardjo, Senin (30/12).

Pemprov Sulsel

Ia menegaskan bahwa pengenaan pajak tambahan pada transaksi QRIS dapat mengurangi minat masyarakat terhadap pembayaran digital, terutama pada transaksi dengan nominal kecil.

Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan tujuan pemerintah dalam memperluas penggunaan teknologi finansial yang praktis dan efisien.

“Misal kita transaksi sedikit, terus kena pajak lagi, tentu orang berpikir, lebih baik tunai saja,” tandasnya.

Sutardjo juga menilai bahwa kebijakan yang memberatkan masyarakat justru akan menjadi hambatan dalam mendorong masyarakat menuju ekonomi berbasis digital.

Ia mendesak pemerintah dan regulator untuk memastikan pembayaran digital tetap praktis dan terjangkau bagi semua kalangan.

“Dengan membuatnya lebih mudah dan murah, masyarakat akan lebih termotivasi untuk beralih ke pembayaran digital,” tambahnya.

Transformasi digital di sektor keuangan, termasuk melalui penerapan QRIS, merupakan salah satu langkah strategis untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Namun, Sutardjo mengingatkan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada dukungan kebijakan yang tidak membebani masyarakat.

Diketahui, ini kembali menjadi sorotan usai Pemerintah resmi menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Hal ini dinilai bakal mengenai transaksi QRIS.

Baru-baru ini, Bank Indonesia (BI) angkat bicara terkait informasi biaya administrasi QRUScyang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 2025.

Dalam unggahan akun resmi Instagram @bank_indonesia, BI menegaskan bahwa tidak ada perubahan subjek maupun objek pajak, sehingga tarif PPN berlaku sama untuk transaksi tunai maupun non-tunai.

“PPN yang dikenakan kepada konsumen hanya berlaku untuk barang atau jasa yang dibeli, bukan untuk transaksi menggunakan QRIS atau metode pembayaran non-tunai lainnya,” tulis BI, dikutip Senin (30/12).

BI menjelaskan bahwa PPN yang dimaksud hanya berlaku pada biaya layanan yang dibebankan oleh penyedia jasa pembayaran (PJP) kepada merchant, termasuk biaya transaksi merchant atau Merchant Discount Rate (MDR).

“PPN ini tidak dikenakan kepada konsumen, sebagaimana yang sudah berlaku selama ini,” tegas BI.

Untuk mendukung pelaku usaha mikro, BI mengatur bahwa transaksi dengan nominal hingga Rp500.000 pada merchant usaha mikro tidak dikenakan biaya MDR. Dengan demikian, PPN atas biaya layanan transaksi tersebut menjadi Rp0.

BI mengumumkan bahwa sejak 1 Desember 2024, MDR QRIS untuk transaksi hingga Rp500.000 pada merchant usaha mikro telah ditetapkan sebesar 0 persen. Langkah ini bertujuan untuk meringankan beban pelaku usaha kecil dan mendorong adopsi pembayaran digital yang lebih luas.

“Maka PPN atas MDR transaksi tersebut adalah Rp0,” tulis BI.