kabarbursa.com
kabarbursa.com

Lampaui Target Nasional, Sulsel Berhasil Tekan Stunting

Lampaui Target Nasional, Sulsel Berhasil Tekan Stunting
Perayaan Hari Anak Nasional Sulawesi Selatan 2024 di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan (Dok: Nofi KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Prevalensi stunting Provinsi Sulsel mengalami penurunan dari tahun 2018 hingga tahun 2022, tetapi di tahun 2023 berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Prevalensi stunting Sulsel sedikit mengalami peningkatan yaitu dari 27,2 persen menjadi 27,4 persen atau meningkat 0,2 persen.

Angka tersebut lebih tinggi dari prevalensi stunting nasional yaitu 21,5 persen. Target prevalensi stunting nasional tahun 2024 sendiri adalah 14 persen.

Pemprov Sulsel

Kepala Dinkes Provinsi Sulsel, Ishaq Iskandar menyampaikan pada bulan Agustus ini target prevalensi stunting di Sulsel telah melampaui target nasional.

“7,63 persen stunting hasil pengukuran bulan Agustus 2024,” katanya.

“Akan disurvei lagi di bulan November, oleh BKPK kerjasama dengan pihak ketiga/PT Surveyor Indonesia,” sambungnya.

Ishaq Iskandar menyebut berdasarkan data hasil penimbangan di Posyandu bulan Agustus tahun 2024. Absolut jumlah anak stunting adalah 41.785 anak.

Sejumlah tantangan penanganan stunting, kata Ishaq juga merupakan hal yang perlu untuk segera diatasi. Ia membeberkan sejumlah tantangannya di Sulsel.

“Tantangan utama ialah akses dan kualitas gizi, pendidikan dan kesadaran masyarakat, infrastruktur kesehatan, kondisi sosial dan ekonomi,” jelasnya.

Terdapat pula sembilan fokus utama tantangan lain yang harus dihadapi seperti masih tingginya angka balita underweight 21,7 persen maupun wasting 8,3 persen sehingga berdampak pada angka stunting. Kedua adalah masih tingginya prevalensi ibu hamil KEK, 10,9 persen BBLR; 6,48 persen dan Ibu hamil anemia. Ketiga ialah pola pengasuhan anak yang cenderung mengabaikan standar asupan gizi yang tepat dan masih tingginya angka penyakit infeksi pada anak seperti diare, Ispa dan lainnya.

Lebih lanjut ia menyebutkan, faktor lainnya adalah, perilaku masyarakat yang belum menerapkan prinsip GERMAS (angka perokok masih tinggi, higiene sanitasi dan lainnya), masih tingginya angka kemiskinan, masih tingginya angka pernikahan dini, masih kurangnya jumlah petugas gizi di puskesmas serta kolaborasi dan kerja sama sektor masih harus ditingkatkan.

Ia juga menyoroti bagaimana faktor budaya berperan memengaruhi penanganan stunting.

Pertama, kepercayaan bahwa ibu hamil tidak boleh mengonsumsi hewan laut seperti kepiting, cumi-cumi dan lainnya karena anaknya akan lahir seperti kepiting. Hal ini banyak menyebabkan kurangnya asupan nutrisi atau protein bagi ibu hamil.

Kedua, tradisi pemberian makanan pralaktal seperti madu, air kelapa, gula pasir kopi pada bayi baru lahir menyebabkan bayi tidak mendapat pemberian ASI eksklusif padahal ASI adalah makanan terbaik bagi bayi karena komposisi gizi nya yang seimbang.

“Terakhir adalah kepercayaan pemberian makanan pendamping ASI, pola asuh anak dan lainnya,” imbuhnya.

Menyikapi hal tersebut, Dinkes Sulsel melakukan upaya dalam percepatan penurunan stunting di Provinsi Sulsel.

Pertama, melaksanakan inovasi Pappadeceng Gizi yaitu inovasi layanan fasilitasi intervensi dan pendampingan gizi untuk percepatan upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi.

Sasaran program ini adalah ibu hamil, bayi dan anak di bawah dua tahun (Kelompok sasaran 1000 HPK). Desa yang menjadi lokus Program Pappadeceng Gizi adalah 120 desa lokus tertinggi stunting dan wasting di 24 Kabupaten/Kota.

Kedua, memastikan seluruh anak dengan kriteria hasil pengukuran antropometri berat badan tidak naik, berat badan kurang, gizi kurang mendapatkan intervensi makanan tambahan berbasis pangan lokal dengan jumlah hari pemberian sesuai algoritma Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Ketiga, memastikan seluruh anak stunting dirujuk ke rumah sakit di evaluasi oleh dokter spesialis anak dan mendapatkan resep Formula PKMK (Regulasi : KEPMENKES NO.HK.01.07/MENKES/1928/2022).

Keempat, memastikan seluruh anak dengan kasus gizi buruk memperoleh tata laksana balita gizi buruk dengan menggunakan Formula 100 dan RUTF (Ready to use terapeutic feeding).

Kelima, peningkatan kolaborasi dan kerja sama lintas sektor terutama dalam menjangkau balita yang tidak pernah mengunjungi layanan kesehatan serta pendistribusian paket intervensi gzi (Perpres 72 tentang Percepatan Penurunan Stunting).

Keenam, meningkatkan cakupan posyandu menggunakan alat antropometri sesuai standar (Kemenkes).

Ketujuh, meningkatkan cakupan remaja putri dan ibu hamil mengkonsumsi tablet tambah darah (Kemenkes)

Dan terakhir adalah peningkatan deteksi dini melalui peningkatanan cakupan penimbangan dan pengukuran di posyandu (Total coverage) Perpres 72 Tahun 2021.

Dinkes terus melakukan evaluasi mendalam terhadap program penanganan stunting dengan cara menilai berbagai indikator keberhasilan yang mencakup beberapa aspek.

Dilakukan analisis terhadap data status gizi yang diperoleh sebelum dan setelah adanya intervensi, untuk melihat perubahan yang terjadi. Selain hal tersebut, evaluasi juga mencakup pengumpulan serta penilaian terhadap data indikator-indikator spesifik yang telah ditetapkan untuk mengukur efektivitas program.

Tak kalah penting, perubahan perilaku masyarakat yang terkait dengan pola makan dan kesehatan juga menjadi salah satu indikator utama yang dinilai, guna memastikan adanya pergeseran positif dalam kebiasaan hidup masyarakat.

Semua elemen-elemen ini saling berkaitan dalam rangka mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai dampak program tersebut terhadap penanggulangan stunting.

Dinas PMD turut menegaskan atensinya terhadap penanganan stunting. Sekretaris Dinas PMD Provinsi Sulsel, A M Akbar, menyampaikan pada hari ini Rabu (06/11), PMD melaksanakan launching Posyandu Era Baru di 24 kabupaten/kota.

“PMD melaksanakan launching Posyandu Era Baru di 24 kabupaten/kota yang dipusatkan di Posyandu Nusa Indah Pannampu Makassar,” ucapnya.

Ia menuturkan sebelumnya telah dilaksanakan bimbingan teknis (Bimtek) kepasa Kader Posyandu Era Baru kepada Kader Posyandu di 24 kabupaten/kota di Sulsel.

“PMD fokus pada pembentukan kelembagaan Posyandu Era Baru dan Pembinaan Kader Posyandu,” pungkasnya.

Sementara itu, Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Prof Zudan Arif Fakrulloh memimpin langsung Rapat Koordinasi Nasional Serta Pengukuran dan Intervensi Serentak Pencegahan Stunting yang dilaksanakan di Hotel Four Points by Sheraton.

Ia menekankan agar seluruh kabupaten/kota dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terus berupaya untuk menurunkan permasalahan stunting di Sulsel.

“Semua OPD agar bergerak bareng menurunkan stunting. Target saya sampai 10 persen,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut ia menegaskan telah memberi arahan kepada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan sejumlah Dinas di Provinsi Sulsel untuk berkolaborasi bersama, menguatkan gerakan penurunan jumlah anak stunting.

“Kemudian menggerakkan BKKBN, dengan semua pasukannya, GENRE. Kader posyandu, kemudian kepala puskesmas. Itu harus bergerak bareng, jadi saya minta Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), kemudian Dinas Ketahanan Pangan (Ketapang) dan BKKBN itu berempat kompak turun bersama-sama sampai puskesmas dan posyandu,” urainya.

Prof Zudan menyebut, nantinya akan dilakukan langkah untuk menimbang dan mengukur bayi. Dimulai dari umur 0 sampai dengan 5 tahun.

Ia menilai, pengalaman yang telah diperolehnya sebagai Pj terdahulu di Gorontalo maupun Sulbar menjadi bekal yang amat baik menghadapi permasalahan stunting.

“Dengan bergerak bareng sampai level terkecil sampai ke puskesmas dan posyandu Insya Allah bisa kita turunkan,” tuturnya.

Diketahui, Stunting berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.