KabarMakassar.com — Rupiah kembali berada dalam tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah rilis data inflasi konsumen di AS menunjukkan kenaikan. Kondisi ini memicu kekhawatiran di pasar keuangan Indonesia, mencerminkan dampak global dari kebijakan moneter AS.
Dilansir dari Refinitiv, pada Kamis (16/01), rupiah dibuka melemah 0,09% di level Rp16.330 per dolar AS. Posisi ini melanjutkan tren negatif dari penutupan perdagangan kemarin, di mana rupiah terkoreksi 0,21%.
Penurunan ini berbanding terbalik dengan indeks dolar AS (DXY), yang turun tipis 0,07% ke angka 109,01 pada pukul 09.03 WIB, dibandingkan posisi sebelumnya di 109,09.
Pelemahan rupiah dipicu oleh rilis data inflasi AS yang menguat untuk bulan Desember 2024. Tingkat inflasi tahunan naik menjadi 2,9%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya di angka 2,7%.
Kenaikan ini sesuai ekspektasi pasar, namun tetap menjadi perhatian utama pelaku pasar global. Faktor pendorong utama adalah efek dasar rendah dari tahun lalu, terutama pada sektor energi.
Meskipun inflasi utama menunjukkan peningkatan, inflasi inti atau core inflation yang tidak memasukkan makanan dan energi justru sedikit melemah.
Inflasi inti turun menjadi 3,2% dari 3,3% pada tiga bulan sebelumnya, sedikit di bawah ekspektasi pasar sebesar 3,3%.
Penurunan ini didukung oleh melambatnya kenaikan biaya tempat tinggal, yang hanya meningkat 4,6% sepanjang tahun lalu. Angka tersebut merupakan kenaikan tahunan terkecil sejak Januari 2022.
Kenaikan inflasi utama diimbangi oleh tren penurunan inflasi inti, yang dianggap lebih mencerminkan tekanan harga yang mendasari.
Para ekonom memprediksi laporan Indeks Harga Pengeluaran Konsumsi Pribadi (PCE) untuk Desember 2024 akan menunjukkan pelemahan signifikan, bahkan mungkin berada di bawah target 2% yang ditetapkan Federal Reserve (Fed).
Presiden Federal Reserve Richmond, Thomas Barkin, menyatakan bahwa tren penurunan inflasi sedang berlangsung.
“Laporan CPI Desember melanjutkan tren bahwa inflasi bergerak turun menuju target,” ujar Barkin.
Hal senada disampaikan Presiden Fed New York, John Williams, yang menyebut bahwa proses disinflasi sedang berjalan baik.
Dengan tren ini, Federal Reserve diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran 4,25%-4,50% pada pertemuan kebijakan mendatang, 28-29 Januari 2025.
Langkah ini diambil setelah Fed menurunkan suku bunga sebesar satu poin persentase penuh dalam tiga pertemuan terakhir tahun 2024.
Kenaikan inflasi di AS dan kebijakan moneter Fed memberikan dampak signifikan terhadap nilai tukar rupiah.
Pelemahan rupiah mencerminkan arus keluar modal asing dari pasar keuangan Indonesia, seiring dengan meningkatnya daya tarik aset dolar AS.
Ekonom memperingatkan bahwa pelemahan rupiah dapat memicu kenaikan biaya impor, terutama pada sektor energi dan bahan baku industri.
Kondisi ini dapat memengaruhi stabilitas harga di dalam negeri, meskipun Bank Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi pasar.
Dengan inflasi AS yang mulai menunjukkan penurunan, ada harapan bahwa tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, akan mereda dalam beberapa bulan mendatang.
Namun, hingga stabilitas global benar-benar tercapai, Indonesia tetap harus waspada terhadap volatilitas pasar.
Rupiah yang tertekan menunjukkan tantangan ekonomi global yang terus memengaruhi Indonesia.
Dengan rilis data inflasi AS yang menjadi fokus utama pasar, penting bagi pelaku ekonomi di dalam negeri untuk bersiap menghadapi dinamika global yang dapat memengaruhi stabilitas keuangan dan ekonomi.
Di tengah ketidakpastian, sinergi antara pemerintah dan Bank Indonesia menjadi kunci untuk menjaga kestabilan ekonomi dalam negeri.
Di Dalam negeri, sebelumnya diberitakan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang berlangsung pada 14-15 Januari 2025 kemarin, memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan BI-Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%.
Selain itu, suku bunga Deposit Facility diturunkan menjadi 5,00%, dan Lending Facility menjadi 6,50%. Kebijakan ini diambil berdasarkan proyeksi inflasi 2025 dan 2026 yang tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1%.
Selain itu, keputusan ini didukung oleh kondisi nilai tukar Rupiah yang sesuai dengan fundamentalnya.
Langkah tersebut bertujuan untuk mendukung pengendalian inflasi serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat di tengah dinamika perekonomian global dan nasional.
Bank Indonesia mengarahkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas ekonomi sekaligus memperkuat pertumbuhan.
Kebijakan moneter difokuskan pada pengendalian inflasi dalam sasaran yang telah ditetapkan dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.
“Kebijakan makroprudensial longgar ditempuh untuk meningkatkan pembiayaan sektor-sektor prioritas, seperti UMKM dan ekonomi hijau, melalui implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang mulai berlaku Januari 2025,” Tulis Bank Indonesia dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis (16/01).