KabarMakassar.com — Puluhan Warga Pinrang walk out dalam forum rapat koordinasi Pemeriksaan Substansi Formulir UKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan) dan UPL (Rencana Pemantauan Lingkungan) terkait dengan rencana aktivitas tambang pasir di muara Sungai Saddang oleh PT. Pinra Talabangi (PTB) di Ruang Rapat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Senin (13/01).
Salah satu warga, Ibu Raoda mengaku puluhan warga Pinrang memilih keluar dari forum lantaran diduga tidak diberikan hak bicara.
“Kami memilih keluar dari forum karena sudah tidak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat. Pendamping kami juga tidak diberi kesempatan bicara. Untuk apa lagi kami bertahan di rapat yang tidak netral ini,” ungkap Ibu Raoda.
Koordinator Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) LBH Makassar, Hasbi Asiddiq selaku pendamping warga menjelaskan bahwa proses yang diawali dengan presentasi oleh pihak perusahaan ini yang kemudian dilanjutkan dengan tanggapan dan perbaikan dari berbagai dinas terkait ada beberapa hal yang dipertanyakan.
Misalnya terkait mekanisme operasional pertambangan khususnya jeti (pelabuhan tambang) atau stockpile atau tempat penyimpanan sementara dari pasir yang telah dikeruk, yang tidak dijelaskan secara detail dalam Formulir UKL-UPL Perusahaan.
“Tidak dijelaskan secara detail terkait dengan mekanisme operasional perusahaan, dapat berdampak pada tidak jelasnya mekanisme operasional yang dilakukan oleh Perusahaan, dan dapat menimbulkan dampak negatif yang tidak terdeteksi sehingga tidak dikelola atau dipantau oleh perusahaan. Warga yang berprofesi sebagai petani tambak, dan nelayan ambaring yang hendak menyampaikan ketakutannya terkait aktivitas penambang, juga tidak diberikan ruang yang aman untuk menyampaikan pendapatnya,” sebutnya
Selain itu dalam presentasi Pemrakarsa sambung Hasbi perusahaan hanya memasukan 60 tanda tangan warga yang menyetujui hadirnya PT PTB ini.
Padahal kata Hasbi berdasarkan dokumen dari Sekretaris Desa, ada sekitar 527 Warga Baba Binanga yang menolak adanya aktivitas pertambangan di desa mereka.
“Mereka yang menyetujui tambang, ada yang sudah tidak tinggal lagi di kampung. Bahkan ada yang sudah tidak ada tanahnya di sana. Makanya dia tidak merasakan langsung dampak tambang ke depan.” ujar Ibu Yanka, salah satu petambak di Desa Baba Binanga.
Sementara itu, Sekretaris Camat Duampanua, Pinrang, yang juga hadir dalam forum tersebut menegaskan kalau lokasi konsesi pertambangan PT. PTB merupakan daerah rawan bencana tingkat tinggi untuk banjir dan erosi, yang mesti dipertimbangkan untuk diberikan Persetujuan Lingkungan oleh DLH Provinsi Sulsel.
Ia menjelaskan bahwa di Duampanua dan Cempa Pinrang sendiri merujuk pada Peta Geoportal ESDM, terdapat 19 Konsesi tambang pasir di sepanjang Sungai Saddang dengan luasan mencapai 371,82 hektar.
Khusus untuk Desa Bababinanga terdapat 4 konsesi tambang Total luas konsesi tambang mencapai 115,2 hektar.
“Dari 19 konsesi tambang tersebut hampir semuanya masih tahap pencadangan, baru PT. PTB yang telah ditingkatkan ke tahap eksplorasi,” pungkasnya
Rapat Koordinasi ini dipimpin langsung oleh Andi Rosida, Kepala Bidang Penataan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan, yang juga dihadiri oleh berbagai instansi terkait seperti Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan Wil. VII Makassar, Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP), Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya, dan Tata Ruang Provinsi Sulsel, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulsel, Dinas Perhubungan Provinsi Sulsel, Bidang Pengendalian Lingkungan Hidup DLHK Provinsi Sulsel, Bidang DAS dan Konservasi DLHK Provinsi Sulsel, Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) DLHK Provinsi Sulsel, Pejabat Pengendali Dampak Lingkungan Hidup (PEDAL) DLHK Provinsi Sulsel, yang pada umumnya memberikan saran dan tanggapan untuk perusahaan sebelum memperoleh persetujuan lingkungan hidup.