KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali mengalami pelemahan pada perdagangan pagi ini, Rabu (08/01).
Berdasarkan data Bloomberg hingga pukul 09.14 WIB, rupiah melemah sebesar 0,26% atau turun 40 poin ke level Rp16.182,5 per dolar AS.
Tidak berselang lama, pukul 09.40 WIB, pelemahan rupiah semakin dalam hingga mencapai 0,28% atau turun 44,5 poin, berada di level Rp16.187 per dolar AS.
Di sisi lain, indeks dolar AS (DXY), yang menjadi acuan kekuatan mata uang dolar terhadap mata uang global lainnya, terpantau menguat.
Pada pagi ini, indeks dolar menguat sebesar 0,05% ke posisi 108,60. Bahkan, angka ini sempat naik lebih tinggi ke level 108,63 dibandingkan posisi sebelumnya di 108,41. Penguatan dolar ini menjadi faktor utama yang mendorong pelemahan nilai tukar rupiah.
Sentimen penguatan dolar AS didukung oleh rilis data ekonomi AS yang lebih baik dari perkiraan.
Data Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor jasa AS pada Desember 2024 mencatat angka 54,1, naik signifikan dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di level 52,1.
Angka tersebut tidak hanya melampaui proyeksi, tetapi juga menunjukkan penguatan aktivitas sektor jasa di AS, yang menjadi salah satu pilar penting ekonomi negara tersebut.
Selain itu, data lowongan pekerjaan AS untuk November 2024 juga memberikan dorongan tambahan bagi dolar AS.
Data terbaru menunjukkan bahwa lowongan pekerjaan di AS mencapai 8,0 juta, lebih tinggi dari angka bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 7,8 juta.
Kedua data ekonomi ini menjadi indikator positif bahwa perekonomian AS terus menunjukkan pemulihan yang solid.
Penguatan ekonomi AS ini memunculkan spekulasi bahwa Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan suku bunga acuan pada level saat ini.
Kebijakan tersebut semakin memperkuat posisi dolar AS terhadap berbagai mata uang global, termasuk rupiah. Dengan tren ini, tekanan pada nilai tukar rupiah diperkirakan akan terus berlanjut dalam beberapa waktu mendatang.
Secara keseluruhan, pelemahan rupiah ini mencerminkan respons pasar terhadap dinamika ekonomi global, khususnya penguatan ekonomi AS.
Pada perdagangan awal pekan sebelumnya, Senin (6/1), rupiah sempat melemah tipis 0,01% atau 1 poin, berakhir di level Rp16.198 per dolar AS. Di sisi lain, indeks dolar pada hari itu justru melemah 0,24% ke posisi 108,535.
Menurut Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, perhatian pasar saat ini terpusat pada kebijakan Federal Reserve (The Fed) terkait suku bunga.
Sentimen ini dipicu oleh kekhawatiran bahwa bank sentral AS akan menahan diri untuk menurunkan suku bunga lebih cepat di tengah kondisi inflasi yang lesu dan kekuatan pasar tenaga kerja yang tetap kokoh.
“The Fed belum menyatakan kemenangan atas inflasi. Gubernur Fed Adriana Kugler dan Presiden The Fed San Francisco Mary Daly menegaskan bahwa pasar tenaga kerja masih menjadi perhatian utama dalam menentukan langkah kebijakan berikutnya,” kata Ibrahim.
Ia menjelaskan, inflasi yang lambat bergerak dan pasar tenaga kerja yang solid membuat The Fed ragu untuk memangkas suku bunga dalam waktu dekat.
Data penggajian non-pertanian yang akan dirilis pekan ini menjadi salah satu indikator yang dinanti oleh pasar untuk melihat tanda-tanda kelemahan di sektor tenaga kerja.
Selain itu, data inflasi Desember juga menjadi sorotan karena diperkirakan akan memengaruhi ekspektasi terhadap potensi stimulus lebih lanjut.
Sementara itu, dari sisi global, Ibrahim menyebutkan bahwa Beijing diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran fiskal pada 2025.
Langkah ini dilakukan untuk menopang perekonomian China yang tengah bergulat dengan masalah deflasi berkepanjangan serta perlambatan di sektor properti.
Kebijakan tersebut dinilai akan menjadi respons terhadap tantangan ekonomi domestik, termasuk ancaman tarif perdagangan yang dijanjikan oleh Donald Trump jika ia terpilih kembali sebagai Presiden AS.
Dengan berbagai sentimen yang berkembang, Ibrahim memperkirakan pergerakan rupiah pada hari ini akan mengalami fluktuasi.
Namun, mata uang Garuda diprediksi mampu ditutup menguat dalam rentang Rp16.150-Rp16.210 per dolar AS, seiring dengan ekspektasi pelaku pasar terhadap sinyal positif kebijakan moneter global.
Untuk informasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini menyampaikan laporan akhir tahun dalam konferensi pers “APBN Kita” pada Senin (6/1).
Dalam kesempatan tersebut, ia mengungkapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 mencatat defisit sebesar 2,29% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Defisit tersebut masih dalam batas aman, namun menjadi perhatian karena hampir seluruh asumsi dasar ekonomi makro yang ditetapkan untuk APBN 2024 meleset dari target.
Pertama, inflasi yang sebelumnya diasumsikan mencapai 2,8% secara tahunan (year-on-year/yoy) ternyata hanya terealisasi di level 1,57% (yoy) hingga akhir tahun.
Hal ini mencerminkan tekanan harga yang lebih rendah dari perkiraan, meskipun faktor ini juga menunjukkan lemahnya konsumsi domestik sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi.
Kedua, asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang ditargetkan stabil di Rp15.000 per dolar AS juga meleset.
Hingga penghujung 2024, rupiah terus tertekan di kisaran Rp16.000 per dolar AS. Pelemahan ini disebabkan oleh berbagai faktor global, termasuk penguatan dolar AS dan ketidakpastian ekonomi global yang memengaruhi pasar negara berkembang.
Terakhir, proyeksi pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya optimistis ditargetkan sebesar 5,2% (yoy) tampaknya juga tidak tercapai.
Meski demikian, Sri Mulyani menyebutkan bahwa angka pertumbuhan diperkirakan tetap berada di sekitar 5% sesuai outlook.
“Kami tetap optimis meskipun tidak mencapai target, karena fondasi ekonomi kita tetap kokoh,” ujarnya.
Laporan ini menyoroti tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah tekanan global.
Sri Mulyani menegaskan bahwa meskipun asumsi makro meleset, pemerintah akan terus berupaya menjaga defisit APBN agar tetap terkendali, sembari mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan yang lebih responsif di tahun 2025.
Sebelumnya diberitakan, Mata uang rupiah diprediksi bergerak fluktuatif pekan ini di tengah sentimen global dan domestik yang beragam. Perhatian pelaku pasar tertuju pada sejumlah data penting yang dapat memengaruhi arah kebijakan moneter serta dinamika pasar keuangan.
Pada penutupan akhir pekan lalu, menurut data Refinitiv, rupiah tercatat menguat tipis sebesar 0,03% ke level Rp16.185 per dolar AS.
Di sisi lain, Indeks Dolar AS (DXY) melemah 0,28% ke level 109,08 pada Jumat (5/1) pukul 15.00 WIB. Meski ada sedikit penguatan, posisi rupiah masih berada di level yang relatif tinggi.
Di pasar global, pelaku pasar kini menunggu rilis data payroll Amerika Serikat (AS) serta risalah pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC). Kedua data ini diharapkan memberikan petunjuk mengenai arah kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed) ke depan.
The Fed sebelumnya mengindikasikan melalui dot plot terbaru bahwa laju pemangkasan suku bunga acuan akan melambat menjadi dua kali sepanjang tahun ini. Ini berbeda dengan ekspektasi sebelumnya yang memperkirakan hingga empat kali pemangkasan atau setara 100 basis poin (bps).
Penyesuaian ekspektasi ini memicu keyakinan bahwa dolar AS akan tetap kuat dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi rupiah untuk mencatat penguatan signifikan.
Dari dalam negeri, pasar akan memantau sejumlah data penting, seperti cadangan devisa, indeks kepercayaan konsumen, dan data penjualan ritel. Data ini menjadi tolok ukur apakah fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat untuk mendukung rupiah menghadapi tekanan global.
Sementara itu, kebijakan terbaru pemerintah terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga menjadi sorotan. Pemerintah telah memastikan tarif PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah, sementara barang dan jasa umum tetap dikenakan tarif lama.
Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat, terlebih didukung oleh program stimulus dan insentif pajak yang berlangsung hingga Februari 2025.
Secara teknikal, pergerakan rupiah terhadap dolar AS menunjukkan pola konsolidasi dalam jangka waktu per jam. Jika tekanan pelemahan berlanjut, level resistance terdekat yang harus diwaspadai berada di Rp16.280 per dolar AS, merujuk pada high candle intraday 19 Desember 2024.
Sebaliknya, jika rupiah mampu menguat, level support yang menjadi perhatian adalah Moving Average (MA) 200 pada Rp16.130 per dolar AS.
Fluktuasi nilai tukar rupiah pekan ini akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan data global, khususnya dari AS, serta dinamika ekonomi domestik. Dengan tantangan yang ada, perhatian pasar akan tertuju pada langkah-langkah strategis pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Pasar keuangan di awal tahun menunjukkan dinamika menarik dengan berbagai sentimen global dan domestik yang memengaruhi pergerakan rupiah, IHSG, dan pasar obligasi.
Pekan ini, volatilitas diperkirakan meningkat dengan hadirnya berbagai data penting yang dapat menjadi katalis utama.