KabarMakassar.com — Mulai Lusa, Kamis (02/01) Bursa Efek Indonesia (BEI) akan memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada seluruh layanan yang tercantum dalam invoice dan faktur pajak.
Hal ini diumumkan oleh Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Irvan Susandy, sebagai tindak lanjut dari kebijakan perpajakan terbaru.
Irvan menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk semua dokumen yang diterbitkan mulai 1 Januari 2025. Namun, untuk invoice dan faktur pajak yang dikeluarkan sebelum tanggal tersebut, tarif lama sebesar 11% tetap berlaku.
Irvan juga mengingatkan pihak terkait untuk segera menyelesaikan pembayaran tagihan sebelum pergantian tahun agar terhindar dari dampak penyesuaian tarif.
“Kami menghimbau agar pembayaran atas tagihan yang sudah diterbitkan sebelum 1 Januari 2025 dapat segera diselesaikan guna menghindari pengaruh perubahan tarif PPN yang berlaku mulai tahun depan,” ujar Irvan dalam keterangan resminya dikutup Selasa (31/12).
Kebijakan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), khususnya Pasal 7 ayat 1 huruf a yang mengatur kenaikan tarif PPN menjadi 12%.
Aturan lebih rinci mengenai pelaksanaan kenaikan tarif akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak.
Berdasarkan UU HPP, tarif PPN sebesar 12% berlaku untuk hampir seluruh barang dan jasa. Namun, beberapa sektor dikecualikan, seperti kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan layanan sosial tertentu. Barang dan jasa yang masuk kategori tersebut tetap mendapatkan fasilitas pembebasan PPN.
Penyesuaian tarif ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak negara sekaligus mendukung pelaksanaan reformasi perpajakan yang lebih berkelanjutan.
Sebelumnya diberitakan, Mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan resmi naik dari 11 persen menjadi 12 persen. Kebijakan ini resmi diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Jakarta, Senin (16/12).
Kenaikan tarif ini merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Sesuai amanah undang-undang, kenaikan tarif PPN ini mengikuti jadwal yang telah ditentukan. Per 1 Januari 2025, tarif PPN akan resmi menjadi 12 persen,” jelas Airlangga.
Namun, pemerintah memastikan barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, sayuran, telur, dan susu tetap bebas dari PPN. Selain itu, jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, hingga pemakaian air juga diberikan fasilitas pembebasan pajak.
“Barang-barang kebutuhan masyarakat tetap mendapatkan fasilitas bebas PPN atau tarif nol persen. Jadi, masyarakat tidak perlu khawatir,” tambah Airlangga.
Untuk mengantisipasi dampak kenaikan ini, pemerintah juga menyiapkan sejumlah stimulus ekonomi guna menjaga daya beli dan kesejahteraan masyarakat.
Kenaikan PPN ini merupakan lanjutan dari kebijakan sebelumnya. Pada April 2022, tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen sesuai UU HPP. Kini, tahapan berikutnya adalah kenaikan menjadi 12 persen di awal 2025.
Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Murtiadi Awaluddin menyoroti pentingnya kejelasan dan pengawasan dalam penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang mewah.
Menurutnya, pemerintah perlu mempertegas kategori barang yang termasuk dalam kelompok mewah untuk menghindari kebingungan dan potensi penyalahgunaan di lapangan.
“Perlu dipertegas apa saja yang masuk kategori barang mewah. Misalnya, mobil dengan kapasitas mesin tertentu, tanah atau rumah berdasarkan ukuran atau lokasi, hingga perhiasan dengan batasan berat tertentu. Standar ini harus dioperasionalkan dengan jelas agar pelaksanaannya tidak bias,” ujar Murtiadi.
Ia juga menekankan pentingnya adanya aturan turunan atau Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pengawasan penerapan PPN barang mewah.
Hal ini diperlukan agar pengawasan di lapangan dapat berjalan efektif dan tidak menimbulkan celah bagi pihak-pihak yang ingin bermain di balik aturan tersebut.
“Pengawasan harus diperketat, dan perlu ada sanksi tegas bagi pelanggar. Jika aturan tidak dikontrol dengan baik, dikhawatirkan akan ada pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi,” tambahnya.
Murtiadi juga menyarankan agar pemerintah gencar melakukan sosialisasi hingga ke daerah-daerah, sehingga masyarakat luas, termasuk di wilayah terpencil, memahami aturan ini.
Dengan demikian, kebijakan PPN barang mewah dapat berjalan dengan optimal tanpa menimbulkan kesalahpahaman atau penolakan dari masyarakat.
Langkah-langkah tersebut, menurut Murtiadi, akan memperkuat implementasi aturan pajak ini sekaligus meningkatkan penerimaan negara secara adil dan transparan.
Berdasarkan laman resmi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, barang yang tergolong mewah memiliki kriteria sebagai berikut:
- Bukan barang kebutuhan pokok.
- Dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
- Digunakan untuk menunjukkan status sosial.
Barang-barang ini dikenakan PPnBM pada saat penyerahan pertama oleh produsen atau saat impor
Berikut adalah daftar barang yang termasuk kategori mewah:
- Kendaraan bermotor, kecuali untuk ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, angkutan umum, dan kendaraan negara.
- Hunian mewah, seperti rumah, apartemen, kondominium, dan jenis properti serupa.
- Pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga.
- Balon udara dan sejenisnya.
- Peluru dan senjata api, kecuali untuk keperluan negara.
- Kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara, angkutan umum, atau usaha pariwisata.