KabarMakassar.com — Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, optimistis rupiah akan melanjutkan tren positifnya pada perdagangan hari ini, Selasa (24/12). Ia memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak di rentang Rp 16.130 hingga Rp 16.200 per dolar AS.
Penguatan ini terjadi di tengah data ekonomi AS yang menunjukkan perlambatan inflasi. Data tersebut meredakan kekhawatiran pasar terhadap kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) pada tahun depan.
Berdasarkan laporan Reuters, para pelaku pasar kini memproyeksikan The Fed hanya akan menurunkan suku bunga sebesar 38 basis poin pada 2025. Angka ini lebih rendah dari dua penurunan suku bunga masing-masing sebesar 25 basis poin yang diproyeksikan sebelumnya.
Diketahui, Nilai tukar rupiah menunjukkan penguatan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada awal pekan ini, Senin (23/12) kemarin.
Pada perdagangan kemarin, rupiah mengakhiri perdagangan sore dengan menguat 0,15 persen atau naik 25 poin ke posisi Rp 16.195 per dolar AS, berdasarkan data kurs Bloomberg.
Sementara itu, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) mencatat rupiah berada di level Rp 16.159 per dolar AS.
Penguatan rupiah tidak terjadi sendirian. Mata uang negara tetangga seperti Filipina dan Malaysia juga mencatat penguatan masing-masing sebesar 0,54 persen dan 0,43 persen terhadap dolar AS.
Baht Thailand bahkan unggul lebih tinggi dengan kenaikan 0,57 persen. Sementara itu, dolar Hong Kong dan Singapura naik tipis masing-masing 0,07 persen dan 0,09 persen.
Namun, tidak semua mata uang Asia mengalami tren serupa. Yen Jepang menjadi yang paling terpukul dengan pelemahan 0,26 persen terhadap dolar AS.
Mata uang Taiwan, Korea Selatan, India, dan Cina juga melemah. Selain itu, dolar Australia dan Selandia Baru turut tertekan dengan penurunan masing-masing sebesar 0,14 persen dan 0,12 persen.
Meskipun pasar tampak optimis, potensi risiko tetap membayangi. Salah satu sentimen negatif berasal dari kebijakan Presiden Terpilih Donald Trump, yang telah mengancam untuk menerapkan tarif impor sebesar 25 persen dari Kanada dan Meksiko, serta 60 persen untuk Cina.
Langkah tersebut dinilai dapat memicu inflasi di AS, yang berpotensi memaksa The Fed mempertahankan atau bahkan menaikkan suku bunganya.
Di dalam negeri, tantangan utama depresiasi rupiah datang dari penurunan daya beli masyarakat, terutama setelah pemerintah menerapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Selain itu, meskipun intervensi Bank Indonesia (BI) dapat membantu menopang rupiah, banyak pihak menilai langkah tersebut hanya akan berdampak sementara.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa nilai tukar rupiah adalah tanggung jawab Bank Indonesia sebagai otoritas moneter.
Namun, ia juga menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya menjaga stabilitas rupiah melalui kebijakan fiskal, seperti mendorong ekspor dan menekan impor.
“Kalau yang menjaga nilai tukar, kan, Bank Indonesia,” ujar Airlangga di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (20/12).
Meski menunjukkan penguatan di awal pekan ini, rupiah diperkirakan masih akan menghadapi tekanan pada akhir tahun.
Dengan berbagai tantangan global dan domestik, sejumlah analis memproyeksikan kurs rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp 16.500 hingga Rp 16.700 pada penghujung 2024.
Momentum penguatan rupiah kali ini memberikan harapan baru di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian.
Namun, apakah rupiah mampu mempertahankan performa positifnya hingga akhir tahun? Semua bergantung pada stabilitas kebijakan dan perkembangan ekonomi global yang masih dinamis.
Sebelumnya diberitakan, Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui, mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat mencapai Rp16.300 per dolar AS.
Ia menilai, jika langkah-langkah strategis tidak segera diambil, nilai tukar rupiah bisa terus melemah hingga Rp18 ribu per dolar AS.
Menurut Sutardjo, kondisi ini harus ditangani dengan kehati-hatian. Jangan menggunakan langkah parsial dalam melakukan sesuatu.
“Jangan gunakan langkah parsial, contohcseperti wacana efisiensi anggaran seperti infrastruktur,” ujar Sutardjo.
Faktor Penekan Nilai Tukar Rupiah
Ia mengungkapkan bahwa sejumlah faktor turut menekan nilai tukar rupiah, salah satunya adalah kebutuhan dolar untuk pembayaran utang pokok dan bunga yang jatuh tempo pada 2025.
Selain itu, kebutuhan impor rutin, seperti impor bahan bakar minyak (BBM), kacang hijau, kedelai, dan bahan baku obat-obatan, terus menyedot dolar dalam jumlah besar.
“Kebutuhan impor ini menjadi beban tambahan bagi rupiah. Jika tidak dikelola dengan baik, ancaman krisis moneter bukan lagi sekadar kemungkinan, tetapi kenyataan yang harus dihadapi,” tegasnya.
Selain tekanan dari kebutuhan dolar, kebijakan domestik juga dinilai berpotensi memicu gejolak ekonomi. Sutardjo menyoroti program makan gratis, kenaikan gaji guru, serta rencana penerapan pajak 12 persen yang menurutnya bisa memicu kenaikan harga dan inflasi.
“Hal-hal ini pasti akan berdampak pada kenaikan harga yang berpotensi menciptakan gejolak. Faktor-faktor ini menjadi pemicu utama risiko krisis moneter,” tambahnya.
Dampak Sosial dan Potensi Gejolak
Sutardjo juga mengkhawatirkan dampak sosial dari kebijakan pengurangan anggaran infrastruktur yang dapat memengaruhi lapangan pekerjaan.
Jika hal ini terjadi, gejolak sosial diprediksi akan muncul, mengingat banyaknya masyarakat yang bergantung pada sektor ini untuk penghidupan mereka.
“Wacana pengurangan infrastruktur bisa memicu pengurangan lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya akan berdampak pada stabilitas sosial,” ujarnya.
Melihat kondisi saat ini, Sutardjo memproyeksikan rupiah akan tetap berada di kisaran Rp16 ribu per dolar AS jika pemerintah mampu mengelola situasi dengan baik.
Namun, ia juga memperingatkan bahwa pelemahan hingga Rp17 ribu atau bahkan Rp18 ribu bisa terjadi jika langkah-langkah strategis tidak segera diambil.
“Bagus kalau rupiah bisa bertahan di Rp16 ribu. Semoga tidak naik ke Rp17 ribu atau lebih,” tutupnya.
Sutardjo berharap pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk menjaga stabilitas rupiah dan mencegah terjadinya krisis moneter yang lebih dalam.
Sebelumnya diberitakan, Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menunjukkan tren melemah hingga menyentuh level Rp16.300 per dolar AS. Kondisi ini memberikan dampak signifikan pada berbagai sektor, terutama industri yang sangat bergantung pada bahan baku impor.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyoroti bahwa pelemahan rupiah ini menjadi tantangan besar bagi daya saing industri dalam negeri.
Menurutnya, kebutuhan bahan baku yang masih harus diimpor membuat banyak industri harus menanggung beban yang lebih berat.
“Untuk bahan baku, ini berat sekali. Bahan baku yang selama ini masih harus didapatkan dari impor pasti akan memberikan dampak yang cukup berat bagi industri. Hal ini juga akan berkaitan langsung dengan daya saing kita,” ungkap Agus saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (20/12) kemarin.
Untuk mengantisipasi dampak lebih lanjut dari pelemahan rupiah, Agus menyebut bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan pemberian stimulus bagi sektor industri.
Meski demikian, ia belum merinci bentuk atau jenis stimulus yang akan diberikan.
“Insentif berupa stimulus-stimulus lain pasti akan kita bicarakan,” tambahnya tanpa memberikan keterangan lebih lanjut.
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga memberikan tanggapannya terkait melemahnya nilai tukar rupiah.
Menurutnya, pengelolaan nilai tukar merupakan tanggung jawab utama Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang kendali kebijakan moneter.
Namun, pemerintah juga akan memainkan perannya dengan menjaga kestabilan nilai tukar melalui pendekatan fiskal.
Airlangga menekankan pentingnya mendorong ekspor sekaligus menekan impor sebagai langkah strategis untuk memperkuat nilai tukar rupiah.
“Dorong investasi untuk substitusi impor, jadi impor yang berbasis dolar harus kita tekan. Ekspornya juga harus ditingkatkan sehingga nilai rupiah kita lebih solid,” jelasnya di hadapan wartawan pada hari yang sama.
Airlangga juga mengingatkan bahwa pelemahan nilai tukar tidak hanya dialami oleh Indonesia. Beberapa negara lain, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Brasil, juga menghadapi depresiasi mata uang terhadap dolar AS.
Ia menjelaskan bahwa penguatan dolar AS di pasar global menjadi penyebab utama tren ini.
Meski demikian, Airlangga menilai fenomena ini masih tergolong baru dan memastikan bahwa pemerintah akan terus memantau perkembangan nilai tukar rupiah sambil menjaga stabilitas ekonomi.
“Kita monitor pergerakan rupiah dan kita jaga fundamental ekonomi kita,” tegasnya.
Pada Kamis (19/12) kemarin, nilai tukar rupiah tercatat merosot hingga 127 poin atau 0,79 persen ke level Rp16.225 per dolar AS.
Pelemahan ini telah berlangsung konsisten selama pekan terakhir, menambah tekanan pada ekonomi domestik.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, memprediksi bahwa tren depresiasi ini masih akan berlanjut hingga akhir tahun. Ia memperkirakan nilai tukar rupiah dapat mencapai level Rp16.500 per dolar AS pada penghujung 2024.
“Penguatan dolar AS masih menjadi tekanan utama bagi rupiah hingga akhir tahun nanti,” ungkapnya.
Sebelumnya diberitakan, Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diprediksi terus melemah dan berpotensi menembus level Rp16.000 per dolar.
Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui, menyebut pelemahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kewajiban utang jatuh tempo Indonesia, impor barang strategis, serta meningkatnya kebutuhan dolar AS di pasar domestik.
Menurut Sutardjo, kurs mata uang dipengaruhi oleh neraca perdagangan yang mencerminkan perbandingan ekspor dan impor antarnegara. Semakin tinggi nilai ekspor suatu negara, semakin kuat mata uangnya karena peningkatan permintaan terhadap mata uang lokal. Sebaliknya, dominasi impor dan peningkatan utang cenderung melemahkan mata uang domestik.
Namun, ia menyoroti bahwa pasar valuta asing saat ini tidak hanya bergantung pada neraca perdagangan, tetapi juga pada dinamika permintaan dan penawaran di pasar uang. “Permintaan dolar yang meningkat, baik untuk impor barang, pembayaran utang luar negeri, maupun perjalanan ke luar negeri, menjadi faktor utama pelemahan rupiah,” jelas Sutardjo.
Faktor Utama Pemicu Pelemahan Rupiah
Saat ini, kebutuhan dolar AS di dalam negeri melonjak akibat beberapa faktor signifikan. Sutardjo mencatat, pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo, impor bahan bakar minyak (BBM), beras, gula, dan telur menjadi pemicu utama pelemahan rupiah. Hal ini, menurutnya, membuat skenario rupiah menyentuh Rp16.000 per dolar semakin realistis.
“Proyeksi rupiah di angka Rp16.000 per dolar bisa saja terjadi dan hal itu sangat wajar,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun Bank Indonesia dapat mengintervensi pasar valuta asing melalui penggunaan cadangan devisa, kebijakan ini tidak akan menyelesaikan akar masalah yang berasal dari kewajiban utang dan ketergantungan impor.
Sutardjo turut menyoroti target ambisius pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menurunkan nilai tukar rupiah hingga Rp5.000 per dolar AS. Menurutnya, target ini dapat dicapai hanya jika Indonesia berhasil melunasi utang luar negeri dan secara drastis mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
“Penghapusan utang, pengurangan perjalanan luar negeri, efisiensi biaya domestik, dan penghentian impor adalah langkah penting yang harus dilakukan untuk mencapai target itu,” ujar Sutardjo.
Namun, ia mengingatkan bahwa target ini membutuhkan perubahan struktural yang signifikan dalam ekonomi Indonesia, termasuk peningkatan kapasitas ekspor dan pengurangan kebutuhan terhadap barang-barang impor.
Pelemahan rupiah saat ini menjadi cerminan tantangan ekonomi Indonesia yang masih menghadapi ketergantungan besar terhadap dolar AS. Di sisi lain, hal ini menjadi pengingat pentingnya kebijakan strategis untuk memperkuat fondasi ekonomi domestik.
Dengan utang jatuh tempo yang membayangi tahun 2025 dan kebutuhan impor yang masih tinggi, Indonesia harus segera beradaptasi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Tanpa langkah konkret, proyeksi pelemahan hingga Rp16.000 per dolar AS bisa menjadi kenyataan yang tak terelakkan.
Untuk informasi, Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dipengaruhi oleh sentimen global dan domestik yang beragam. Data terbaru dari Bank Indonesia (BI) mengenai suku bunga acuan dan penantian rilis transaksi berjalan serta Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menjadi sorotan utama pelaku pasar.
Dalam keputusan terbarunya, BI mempertahankan suku bunga acuan di level 6%. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa langkah ini diambil untuk menjaga inflasi tetap dalam target pemerintah sebesar 2,5% plus minus 1% pada 2024 dan 2025, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Kami akan terus memperhatikan pergerakan nilai tukar rupiah, prospek inflasi, dan dinamika kondisi global maupun domestik untuk menentukan langkah kebijakan moneter selanjutnya,” ujar Perry.
Ketegangan geopolitik global semakin memengaruhi pasar mata uang. Lonjakan indeks dolar AS (DXY) terjadi setelah Ukraina melancarkan serangan ke wilayah Bryansk, Rusia, menggunakan senjata jarak jauh buatan AS, Army Tactical Missile System (ATACMS). Eskalasi konflik ini memperkuat posisi dolar AS di pasar global sebagai aset safe haven, sekaligus melemahkan rupiah.
Kondisi ini diperburuk oleh ketidakpastian politik di AS yang menciptakan tekanan tambahan pada pasar keuangan global. Investor semakin berhati-hati, sementara permintaan terhadap dolar AS terus meningkat.
Pelaku pasar kini menantikan rilis angka transaksi berjalan dan NPI oleh BI. Data ini akan menjadi indikator penting untuk menilai arus dana asing di Indonesia. Jika hasilnya menunjukkan perbaikan, potensi aliran dana asing kembali ke pasar domestik bisa meningkat. Sebaliknya, jika data tersebut mengecewakan, pelemahan rupiah bisa berlanjut.
Rilis data ini juga akan menjadi bahan evaluasi bagi investor untuk menentukan strategi investasi mereka di tengah ketidakpastian yang melingkupi pasar keuangan global.
Di tengah gejolak ini, langkah BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah menjadi krusial. Perry menegaskan bahwa bank sentral akan terus memantau perkembangan global dan domestik untuk memastikan stabilitas moneter dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.
Dengan tekanan eksternal yang kian intens, prospek pergerakan rupiah dalam beberapa waktu ke depan masih bergantung pada bagaimana pasar merespons data ekonomi Indonesia serta perkembangan geopolitik global.