kabarbursa.com
kabarbursa.com
News  

Polemik Usulan Pilkada Kembali Melalui DPRD, Ini Pandangan Pakar Unhas

Polemik Usulan Pilkada Melalui DPRD, Ini Pandangan Pakar Unhas
Ilustrasi Pilkada (Dok: KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Rencana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menjadi sorotan publik.

Pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Sukri Tamma, memberikan pandangannya terkait wacana yang digulirkan oleh Presiden Prabowo Subianto tersebut.

Pemprov Sulsel

Menurut Prof Sukri, ide ini sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Sebab, sebelum diberlakukan pilihan langsung, pemilihan kepala daerah merupakan wewenang DPRD.

“Sebelum pemilihan langsung diberlakukan pada 2005, kepala daerah memang dipilih oleh DPRD. Jadi ini bukan gagasan yang asing,” ujarnya, Sabtu (14/12).

Namun, ia menekankan bahwa perubahan semacam ini tidak bisa hanya didasarkan pada pertimbangan tertentu, seperti efisiensi anggaran atau kompleksitas pelaksanaan Pilkada langsung.

Salah satu alasan yang kerap disebut sebagai dasar pengembalian mekanisme ke DPRD adalah tingginya biaya Pilkada langsung serta fragmentasi sosial yang diakibatkan oleh proses tersebut.

“Apakah demokrasi hanya soal efisiensi anggaran dan mengurangi keribetan? Bukankah ada cara lain untuk memperbaiki Pilkada langsung tanpa harus menghilangkannya?” katanya.

Ia juga menyinggung risiko yang mungkin timbul jika pemilihan kepala daerah kembali diserahkan kepada DPRD. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi munculnya praktik politik transaksional.

‘Kalau kepala daerah dipilih oleh DPRD, ada kemungkinan besar mereka hanya menjadi ‘pegawai partai’ yang menjalankan amanah partai, bukan kepentingan rakyat,” tegasnya.

Prof. Sukri menjelaskan bahwa pemilihan melalui DPRD bisa membuka ruang untuk politik transaksional, baik dalam proses pengajuan calon maupun saat pemilihan berlangsung.

“Sebelum diajukan sebagai calon, pasti ada potensi deal-deal politik. Artinya, ada kemungkinan kesepakatan tertentu terjadi di balik layar, sebelum nama calon diajukan ke DPRD,” ujarnya.

Selain itu, ia mempertanyakan apakah DPRD benar-benar mampu merepresentasikan kehendak rakyat secara utuh.

“Memang pemilihannya jadi lebih sederhana, hanya segelintir orang yang memilih. Tapi apakah mereka betul-betul memilih berdasarkan kepentingan rakyat atau hanya mengikuti arahan pimpinan partai?”

Prof. Sukri juga mengingatkan bahwa alasan utama transisi dari sistem pemilihan melalui DPRD ke pemilihan langsung pada 2005 adalah kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam mekanisme lama.

“Dulu kita pindah ke sistem pemilihan langsung karena ada kekhawatiran atas lemahnya mekanisme pemilihan oleh DPRD, seperti dominasi partai dan kurangnya keterwakilan rakyat. Sekarang, apakah kita yakin masalah itu tidak akan terulang jika kembali ke sistem lama?”

Ia menekankan bahwa efisiensi anggaran, meskipun penting, tidak boleh menjadi satu-satunya pertimbangan dalam mengambil keputusan besar ini.

“Permasalahan utamanya bukan hanya soal anggaran, tapi apakah sistem yang dipilih nantinya benar-benar bisa merepresentasikan kehendak rakyat. Jangan sampai kepala daerah hanya menjadi perpanjangan tangan partai politik,” katanya.

Menurutnya, upaya untuk memperbaiki demokrasi lokal harus lebih komprehensif. Jika Pilkada langsung memiliki kelemahan, perbaikilah sistemnya tanpa menghilangkan prinsip utama demokrasi yaitu keterlibatan langsung rakyat dalam menentukan pemimpinnya,” pungkas Prof. Sukri.

Wacana ini tentu memerlukan kajian mendalam, terutama untuk memastikan bahwa demokrasi di tingkat lokal tetap berjalan secara transparan, inklusif, dan mewakili kepentingan rakyat banyak.

Untuk informasi, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pandangan tentang perlunya evaluasi sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia, termasuk usulan mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Hal ini diungkapkan dalam pidatonya pada acara HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Kamis (12/12).

Prabowo menyoroti bahwa sistem Pilkada langsung yang saat ini diterapkan di Indonesia memiliki beberapa kelemahan, terutama terkait biaya politik yang sangat besar.

Menurutnya, Pilkada langsung selama ini menghabiskan dana hingga puluhan triliun rupiah hanya dalam satu atau dua hari. Presiden juga menyebut negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan India yang memilih kepala daerah melalui DPRD sebagai contoh sistem yang lebih efisien.

“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, DPRD itulah yang memilih gubernur, memilih bupati. Efisien, tidak keluar duit,” ujar Prabowo.

Menurut Prabowo, dengan mengalihkan mekanisme pemilihan kepala daerah ke DPRD, dana yang selama ini digunakan untuk Pilkada langsung dapat dialihkan untuk peningkatan pendidikan seperti memperbaiki kualitas sekolah, membangun infrastruktur seperti irigasi atau fasilitas publik lainnya dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

“Uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, uang yang bisa perbaiki irigasi,” tegasnya.

Prabowo juga mengajak para elite partai politik yang hadir dalam acara tersebut untuk memikirkan langkah konkret guna memperbaiki sistem demokrasi, termasuk mekanisme Pilkada.

Ia menekankan bahwa perbaikan ini memerlukan keberanian untuk mengakui kekurangan sistem yang ada saat ini.

Selain itu, Presiden Prabowo juga mengkritisi ketergantungan pada konsultan asing dalam merancang sistem politik Indonesia, mengingat mereka mungkin tidak memahami kondisi dan kebutuhan lokal.

“Sekali lagi saya tidak mau mengajak kita anti orang asing, tidak! Tetapi belum tentu mereka mikirin kita kok,” tambahnya.

Usulan Prabowo ini memunculkan perdebatan mengenai efektivitas dan dampak dari mekanisme Pilkada melalui DPRD. Di satu sisi, usulan tersebut dianggap dapat mengurangi pemborosan anggaran dan meminimalkan potensi konflik horizontal.

Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa mekanisme ini dapat mengurangi legitimasi kepala daerah di mata masyarakat dan membuka celah untuk politik transaksional.

Pernyataan ini juga mencerminkan keinginan Prabowo untuk memulai diskusi serius tentang reformasi sistem politik Indonesia yang lebih efisien dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.