KabarMakassar.com — Rupiah kembali terpuruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (12/12) kemarin. Rupiah mencatatkan pelemahan empat hari berturut-turut sejak awal pekan ini.
Berdasarkan data Refinitiv, nilai tukar rupiah ditutup melemah 0,06% ke level Rp15.920 per dolar AS. Sepanjang hari, rupiah bergerak dalam rentang Rp15.920 hingga Rp15.950 per dolar AS.
Pelemahan rupiah terjadi di tengah penurunan Indeks Dolar AS (DXY) sebesar 0,27% ke posisi 106,42 pada pukul 15.00 WIB.
Meski dolar melemah secara global, tekanan terhadap mata uang Garuda datang dari berbagai faktor eksternal, terutama ekspektasi kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed).
Rilis data inflasi konsumen AS pada November 2024 yang tumbuh 2,7% year-on-year (yoy), sesuai dengan ekspektasi pasar, memperkuat peluang The Fed untuk melanjutkan pemangkasan suku bunga.
Berdasarkan perangkat CME FedWatch, probabilitas pasar terhadap pemangkasan suku bunga pada pertemuan pekan depan melonjak menjadi 96,2%, dari sebelumnya 86%.
Namun, inflasi inti AS yang masih berada di level 3,3% yoy mengindikasikan bahwa tekanan harga tetap tinggi. Hal ini mengisyaratkan The Fed akan mengambil langkah yang lebih hati-hati dalam mengurangi suku bunga pada tahun mendatang.
Pasar juga menantikan rilis data Indeks Harga Produsen (IHP) AS yang diperkirakan melandai menjadi 0,2% yoy. Jika sesuai ekspektasi, data ini akan semakin memperkuat prospek pemangkasan suku bunga.
Selain itu, klaim pengangguran mingguan AS diprediksi menurun menjadi 220.000 dari pekan sebelumnya yang mencapai 224.000 klaim.
Penurunan ini menunjukkan pemulihan pasar tenaga kerja AS, yang pada akhirnya memberikan tekanan tambahan bagi mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Sentimen negatif bagi rupiah juga datang dari Eropa. Bank Sentral Eropa (ECB) diperkirakan akan kembali memangkas suku bunga acuannya pada pertemuan besok, menandai pemangkasan keempat sepanjang tahun ini.
Langkah ini menunjukkan percepatan pelonggaran kebijakan moneter di Zona Euro, yang semakin menarik perhatian investor global terhadap aset berdenominasi euro.
Tekanan eksternal yang beragam, mulai dari kebijakan The Fed hingga perkembangan di Eropa, membuat rupiah sulit menemukan momentum penguatan.
Dengan ekspektasi kebijakan moneter global yang cenderung longgar, volatilitas nilai tukar diperkirakan masih tinggi. Investor diimbau untuk terus memantau perkembangan pasar global yang akan memengaruhi pergerakan rupiah dalam jangka pendek.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diprediksi terus melemah dan berpotensi menembus level Rp16.000 per dolar.
Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui, menyebut pelemahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kewajiban utang jatuh tempo Indonesia, impor barang strategis, serta meningkatnya kebutuhan dolar AS di pasar domestik.
Menurut Sutardjo, kurs mata uang dipengaruhi oleh neraca perdagangan yang mencerminkan perbandingan ekspor dan impor antarnegara. Semakin tinggi nilai ekspor suatu negara, semakin kuat mata uangnya karena peningkatan permintaan terhadap mata uang lokal. Sebaliknya, dominasi impor dan peningkatan utang cenderung melemahkan mata uang domestik.
Namun, ia menyoroti bahwa pasar valuta asing saat ini tidak hanya bergantung pada neraca perdagangan, tetapi juga pada dinamika permintaan dan penawaran di pasar uang. “Permintaan dolar yang meningkat, baik untuk impor barang, pembayaran utang luar negeri, maupun perjalanan ke luar negeri, menjadi faktor utama pelemahan rupiah,” jelas Sutardjo.
Faktor Utama Pemicu Pelemahan Rupiah
Saat ini, kebutuhan dolar AS di dalam negeri melonjak akibat beberapa faktor signifikan. Sutardjo mencatat, pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo, impor bahan bakar minyak (BBM), beras, gula, dan telur menjadi pemicu utama pelemahan rupiah. Hal ini, menurutnya, membuat skenario rupiah menyentuh Rp16.000 per dolar semakin realistis.
“Proyeksi rupiah di angka Rp16.000 per dolar bisa saja terjadi dan hal itu sangat wajar,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun Bank Indonesia dapat mengintervensi pasar valuta asing melalui penggunaan cadangan devisa, kebijakan ini tidak akan menyelesaikan akar masalah yang berasal dari kewajiban utang dan ketergantungan impor.
Sutardjo turut menyoroti target ambisius pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menurunkan nilai tukar rupiah hingga Rp5.000 per dolar AS. Menurutnya, target ini dapat dicapai hanya jika Indonesia berhasil melunasi utang luar negeri dan secara drastis mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
“Penghapusan utang, pengurangan perjalanan luar negeri, efisiensi biaya domestik, dan penghentian impor adalah langkah penting yang harus dilakukan untuk mencapai target itu,” ujar Sutardjo.
Namun, ia mengingatkan bahwa target ini membutuhkan perubahan struktural yang signifikan dalam ekonomi Indonesia, termasuk peningkatan kapasitas ekspor dan pengurangan kebutuhan terhadap barang-barang impor.
Pelemahan rupiah saat ini menjadi cerminan tantangan ekonomi Indonesia yang masih menghadapi ketergantungan besar terhadap dolar AS. Di sisi lain, hal ini menjadi pengingat pentingnya kebijakan strategis untuk memperkuat fondasi ekonomi domestik.
Dengan utang jatuh tempo yang membayangi tahun 2025 dan kebutuhan impor yang masih tinggi, Indonesia harus segera beradaptasi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Tanpa langkah konkret, proyeksi pelemahan hingga Rp16.000 per dolar AS bisa menjadi kenyataan yang tak terelakkan.
Untuk informasi, Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dipengaruhi oleh sentimen global dan domestik yang beragam. Data terbaru dari Bank Indonesia (BI) mengenai suku bunga acuan dan penantian rilis transaksi berjalan serta Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menjadi sorotan utama pelaku pasar.
Dalam keputusan terbarunya, BI mempertahankan suku bunga acuan di level 6%. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa langkah ini diambil untuk menjaga inflasi tetap dalam target pemerintah sebesar 2,5% plus minus 1% pada 2024 dan 2025, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Kami akan terus memperhatikan pergerakan nilai tukar rupiah, prospek inflasi, dan dinamika kondisi global maupun domestik untuk menentukan langkah kebijakan moneter selanjutnya,” ujar Perry.
Ketegangan geopolitik global semakin memengaruhi pasar mata uang. Lonjakan indeks dolar AS (DXY) terjadi setelah Ukraina melancarkan serangan ke wilayah Bryansk, Rusia, menggunakan senjata jarak jauh buatan AS, Army Tactical Missile System (ATACMS). Eskalasi konflik ini memperkuat posisi dolar AS di pasar global sebagai aset safe haven, sekaligus melemahkan rupiah.
Kondisi ini diperburuk oleh ketidakpastian politik di AS yang menciptakan tekanan tambahan pada pasar keuangan global. Investor semakin berhati-hati, sementara permintaan terhadap dolar AS terus meningkat.
Pelaku pasar kini menantikan rilis angka transaksi berjalan dan NPI oleh BI. Data ini akan menjadi indikator penting untuk menilai arus dana asing di Indonesia. Jika hasilnya menunjukkan perbaikan, potensi aliran dana asing kembali ke pasar domestik bisa meningkat. Sebaliknya, jika data tersebut mengecewakan, pelemahan rupiah bisa berlanjut.
Rilis data ini juga akan menjadi bahan evaluasi bagi investor untuk menentukan strategi investasi mereka di tengah ketidakpastian yang melingkupi pasar keuangan global.
Di tengah gejolak ini, langkah BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah menjadi krusial. Perry menegaskan bahwa bank sentral akan terus memantau perkembangan global dan domestik untuk memastikan stabilitas moneter dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.