KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami pergerakan fluktuatif pada perdagangan awal pekan ini, Senin (9/12). Rupiah dibuka turun 10 poin di Level Rp15.845 per dolar AS, setelah sebelumnya ditutup di Rp15.855 per dolar AS pada perdagangan terakhir.
Rupiah sempat menunjukkan penguatan 0,03 persen pada awal sesi perdagangan. Namun, tidak lama kemudian kembali melemah tipis di kisaran Rp15.856/US$. Pada pukul 09.09 WIB, rupiah menguat terbatas sebesar 0,04 persen di level Rp15.844/US$.
Pergerakan ini terjadi seiring kebangkitan indeks dolar AS yang naik ke level 106,06 dari posisi sebelumnya di 105,99. Di sisi lain, volatilitas rupiah dipengaruhi oleh tekanan mata uang kawasan Asia yang tertekan berbagai sentimen geopolitik, mulai dari Timur Tengah hingga Asia Timur.
Won Korea Selatan memimpin pelemahan dengan penurunan 0,76 persen, diikuti peso Filipina dan ringgit Malaysia yang masing-masing turun 0,37 persen dan 0,33 persen.
Dolar Taiwan turut melemah 0,13 persen, sedangkan yuan Tiongkok turun tipis 0,05 persen. Beberapa mata uang lain justru mencatatkan penguatan, seperti baht Thailand yang naik 0,15 persen, dolar Singapura 0,04 persen, yuan offshore 0,03 persen, dan yen Jepang 0,02 persen.
Secara teknikal, rupiah masih memiliki potensi penguatan menuju level resistance terdekat di Rp15.810/US$, dengan target berikutnya di Rp15.800/US$.
Jika level ini berhasil ditembus, penguatan lanjutan bisa mengarah ke Rp15.740/US$. Namun, apabila tekanan melemahkan rupiah, level support terdekat berada di Rp15.880/US$, dengan potensi lanjut ke Rp15.900/US$ dan Rp16.000/US$.
Tekanan di pasar obligasi domestik terlihat semakin nyata pada awal pekan ini, Senin (9/12/2024). Meskipun sentimen positif dari penurunan yield Treasury AS pasca rilis data pasar kerja mendukung skenario pemangkasan suku bunga Federal Reserve, efeknya tidak sepenuhnya terasa di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Pagi ini, yield SBN hampir di semua tenor mencatatkan kenaikan, mencerminkan adanya tekanan jual yang cukup merata. Berdasarkan data realtime Bloomberg, yield INDOGB-1Y yang sebelumnya naik 8 basis poin ke 6,74% pada Jumat lalu, pagi ini melanjutkan kenaikan tipis ke 6,78%. Tenor 2Y bahkan mencatat kenaikan signifikan hingga 6,90% dari posisi 6,74% pekan lalu. Sementara itu, tenor 10Y juga naik ke kisaran 6,92%, menunjukkan tekanan yang terus membayangi pasar obligasi negara.
Kenaikan yield ini terjadi di tengah penguatan indeks dolar AS yang masih berada di kisaran 106, menahan peluang penguatan rupiah. Hingga pagi ini, rupiah masih tertekan di kisaran Rp15.851/US$, dengan pergerakan terbatas di rentang sempit.
Tekanan terhadap pasar SBN semakin diperburuk oleh aksi jual asing. Bank Indonesia melaporkan bahwa selama periode 2-5 Desember, investor asing membukukan net sell di SBN sebesar Rp1,37 triliun. Di sisi lain, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga mengalami net sell asing hingga Rp5 triliun pada periode yang sama.
Di tengah tekanan ini, pasar SUN tenor 10Y diperkirakan akan bergerak dalam pola flattening dengan rentang 6,90%-6,95%, sementara tenor pendek seperti 2Y dan 5Y berada di kisaran 6,85%-6,90%. Depresiasi rupiah yang masih berlangsung hari ini, dengan rentang Rp15.850-Rp15.950/US$, turut membatasi potensi penguatan obligasi domestik.
Sementara itu, di pasar Treasury AS hingga siang ini, yield UST cenderung menurun di semua tenor. Yield 2Y turun 4,7 bps ke 4,09%, sedangkan yield 10Y turun 3,1 bps ke 4,14%. Penurunan ini mencerminkan ekspektasi pasar bahwa The Fed kemungkinan besar akan kembali memangkas suku bunga pada pertemuan 18 Desember mendatang.
Optimisme ini diperkuat oleh data pasar tenaga kerja AS bulan November yang mencatat kenaikan tingkat pengangguran ke 4,2%. Namun, pasar masih menanti data inflasi CPI AS yang akan dirilis Rabu mendatang untuk konfirmasi lebih lanjut. Konsensus memperkirakan inflasi CPI naik 0,3% secara bulanan dan 2,7% secara tahunan, sementara inflasi inti diprediksi stabil di 0,3% mom dan 3,3% yoy.
Di sisi lain, lelang SRBI pada Jumat pekan lalu menunjukkan peningkatan minat investor dengan nilai penawaran naik 71% menjadi Rp31,54 triliun. Namun, permintaan yield yang lebih tinggi membuat Bank Indonesia memberikan bunga diskonto di level 7,23%, tertinggi sejak Agustus. Akibatnya, nilai penerbitan SRBI dalam lelang ini turun menjadi Rp14,9 triliun dari sebelumnya Rp16,3 triliun.