KabarMakassar.com — Mulai 2025, pemerintah akan memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%. Kebijakan ini telah menuai berbagai tanggapan, termasuk usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar penerapannya hanya berlaku untuk barang-barang mewah.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyarankan agar PPN 12% dikenakan pada barang mewah, seperti mobil dan hunian kelas atas.
“Mobil mewah, apartemen mewah, rumah mewah,” ujar Dasco melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (06/12).
Hal serupa juga diungkapkan Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun. Ia menjelaskan bahwa barang-barang yang akan dikenakan tarif ini adalah barang yang sebelumnya telah dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
“PPnBM-nya mereka tetap, tapi terhadap siapa dikenakan PPN 12% itu barang-barang yang masuk kategori mewah, baik itu impor maupun dalam negeri, yang selama ini sudah dikenakan PPnBM. Jadi masyarakat kelas atas lah yang mempunyai kemampuan beli barang mewah itu yang dikenakan,” katanya.
Berdasarkan laman resmi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, barang yang tergolong mewah memiliki kriteria sebagai berikut:
- Bukan barang kebutuhan pokok.
- Dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
- Digunakan untuk menunjukkan status sosial.
Barang-barang ini dikenakan PPnBM pada saat penyerahan pertama oleh produsen atau saat impor.
Berikut adalah daftar barang yang termasuk kategori mewah:
- Kendaraan bermotor, kecuali untuk ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, angkutan umum, dan kendaraan negara.
- Hunian mewah, seperti rumah, apartemen, kondominium, dan jenis properti serupa.
- Pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga.
- Balon udara dan sejenisnya.
- Peluru dan senjata api, kecuali untuk keperluan negara.
- Kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara, angkutan umum, atau usaha pariwisata.
Alasan PPN 12% Tetap Diterapkan
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kebijakan ini tetap akan dijalankan meski ada penolakan. Ia mengungkapkan dua alasan utama:
- PPN 12% adalah Amanat UU
Kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Prabowo menyatakan bahwa pemerintah akan menerapkannya secara selektif hanya untuk barang mewah.
“Kan sudah diberi penjelasan PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan, tapi selektif hanya untuk barang mewah,” jelas Prabowo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (6/12/2024).
- PPN 12% untuk Mendukung Rakyat Kecil
Prabowo menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk melindungi rakyat kecil. Barang kebutuhan pokok dan barang lain yang tidak tergolong mewah akan tetap bebas dari PPN 12%.
“Untuk rakyat yang lain kita tetap lindungi. Sudah sejak akhir 2023 pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil, ya. Jadi kalaupun naik, itu hanya untuk barang mewah,” tegasnya.
Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Murtiadi Awaluddin menilai, kebijakan ini seharusnya ditunda karena sejumlah indikator menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia masih belum stabil.
Murtiadi menyebutkan bahwa penurunan indeks harga konsumen, deflasi, dan berkurangnya kelompok kelas menengah menjadi sinyal kelemahan ekonomi saat ini. Hal ini seharusnya cukup menjadi pertimbangan pemerintahan baru untuk menunda kenaikan pajak.
“Ketika menaikkan pajak meskipun hanya 1%, dampaknya cukup luas, terutama pada barang konsumsi. Konsumen mungkin tidak langsung merasakan, tetapi distributor di rantai pasokan akan terkena dampak besar,” ujarnya kepada KabarMakassar.
Ia menjelaskan, semakin panjang rantai distribusi suatu produk, semakin besar dampak kenaikan PPN terhadap harga akhir. Hal ini akan berdampak signifikan pada perubahan harga, terutama pada industri-industri tertentu seperti otomotif, yang memiliki proses distribusi panjang dari hulu ke hilir.
“Kenaikan ini juga terasa dalam pengadaan barang dan jasa, misalnya di instansi pemerintahan. Apalagi, setelah PPN, ada lagi PPh 5% yang otomatis membuat harga barang semakin tinggi,” tambahnya.
Murtiadi menekankan, industri otomotif menjadi salah satu sektor yang paling terdampak oleh kenaikan PPN ini.
“Industri ini melalui banyak tahapan distribusi, sehingga kenaikan harga hampir pasti terjadi. Selain itu, daya beli masyarakat yang saat ini belum sepenuhnya pulih berpotensi semakin tergerus,” tegas Murtiadi.
Murtiadi mengakui bahwa kenaikan PPN dapat memberikan kontribusi besar pada penerimaan negara, diperkirakan mencapai Rp70-80 triliun. Namun, ia menilai masih ada alternatif lain yang dapat meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat dan pelaku usaha.
Ia berharap pemerintah dapat mengeksplorasi kembali program seperti tax amnesty sebagai alternatif kebijakan yang lebih inklusif. Dengan demikian, penerimaan negara dapat ditingkatkan tanpa menciptakan beban baru bagi masyarakat maupun pelaku usaha.
“Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa program tax amnesty bisa memberikan penerimaan yang signifikan tanpa harus menaikkan PPN. Program ini juga lebih ramah bagi masyarakat dan dunia usaha dibandingkan kebijakan pajak yang langsung menaikkan harga barang,” jelasnya.
Ia juga mengkhawatirkan potensi perlambatan ekonomi jika kenaikan pajak terus dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil.
“Kebijakan seperti ini perlu dipertimbangkan matang-matang, karena dampaknya bisa melebar ke berbagai sektor, termasuk konsumsi masyarakat yang menjadi motor utama perekonomian,” tutupnya.
Senada, Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui, menilai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% merupakan langkah yang kurang bijaksana. Ia mengungkapkan bahwa pajak, selain berfungsi sebagai sumber pendapatan negara dan daerah, juga memiliki peran penting dalam mengatur distribusi pendapatan masyarakat.
“Jika PPN dinaikkan secara menyeluruh kepada semua transaksi, dampaknya akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat,” kata Sutardjo kepada KabarMakassar.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini serupa dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang biasanya memicu kenaikan harga di berbagai sektor, terutama pada kebutuhan pokok. Produsen yang menanggung beban kenaikan pajak cenderung akan meneruskannya kepada konsumen kecil, sehingga masyarakat berpenghasilan rendah akan lebih terpukul.
Sutardjo mengusulkan agar kenaikan PPN hanya diberlakukan pada barang-barang mewah, termasuk barang impor. Menurutnya, jika tujuan pemerintah adalah untuk mendorong masyarakat hidup hemat atau menurunkan daya beli, kebijakan ini justru akan salah sasaran.
“Saat ini, masyarakat sedang menghadapi tantangan besar, seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), penurunan pendapatan, dan daya beli yang melemah,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini hanya akan memberikan dampak minim kepada kelompok berpenghasilan tinggi yang memiliki jet pribadi, aset besar, dan penghasilan pasif yang stabil.
“Kebijakan ini malah membuat ketimpangan semakin besar,” tambahnya.
Menurut Sutardjo, jika tujuan kenaikan PPN adalah untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah seharusnya mempertimbangkan dua cara utama: meningkatkan pendapatan negara melalui pajak dan non-pajak, atau mengurangi pengeluaran negara.
“Efisiensi anggaran, seperti memotong biaya seminar dan perjalanan dinas, juga bisa menjadi solusi yang efektif,” sarannya.
Ia juga mencatat bahwa kenaikan ini tampaknya berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menghadapi jatuh tempo utang pada tahun 2025
‘Kebijakan ini kemungkinan merupakan langkah antisipasi pemerintah untuk menutup defisit APBN, termasuk memenuhi kewajiban pembayaran utang dan bunganya,” ungkap Sutardjo.
Ia menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang tepat sasaran agar tidak menambah beban masyarakat, terutama di tengah situasi ekonomi yang menantang seperti saat ini.