kabarbursa.com
kabarbursa.com

PPN Naik Jadi 12 Persen, Eksportir Hadapi Tantangan Daya Saing Produk

Kenaikan PPN Jadi 12 Persen, Eksportir Hadapi Tantangan Daya Saing Produk
Ilustrasi Rupiah (Dok : KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mendapat sorotan dari pelaku usaha di Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya pelaku usaha ekspor (eksportir) yang mendapat tantangan menjaga daya saing produk global.

Ketua Gabungan Perusahaan Eksport Indonesia (GPEI) Sulawesi Selatan, Arief R. Pabettingi, menyampaikan kekhawatirannya atas dampak kebijakan tersebut terhadap sektor usaha, khususnya ekspor. Menurutnya, meskipun kenaikan ini terlihat kecil, efeknya pada keberlangsungan bisnis dan daya saing komoditas ekspor cukup besar.

Pemprov Sulsel

Arief menjelaskan bahwa kenaikan pajak akan menambah beban operasional yang harus ditanggung pelaku usaha. Dalam dunia bisnis, setiap kenaikan biaya akan memberikan tekanan tambahan, terutama bagi usaha yang terlibat di sektor ekspor.

Ia menilai bahwa kenaikan PPN ini seharusnya diimbangi dengan kebijakan yang mendukung pelaku usaha agar tetap bisa bertahan dan bersaing di pasar global.

“Kenaikan pajak dari 10% menjadi 11% saja sudah menjadi tantangan. Kini akan naik lagi menjadi 12%, tentu hal ini berdampak besar. Pajak adalah pengeluaran bagi pelaku usaha, dan kenaikan ini memaksa kami untuk memutar otak demi mempertahankan bisnis,” ujar Arief, Selasa (19/11).

Ia menambahkan bahwa kenaikan ini harus disertai dengan timbal balik berupa fasilitas yang dapat membantu pelaku usaha, seperti kemudahan akses kredit atau regulasi yang menyederhanakan proses administrasi.

Arief juga menyoroti bahwa kenaikan PPN berpotensi menciptakan tantangan tambahan bagi pelaku usaha ekspor yang sudah menghadapi persaingan ketat di pasar internasional.

Menurutnya, di dunia global, persaingan tidak selalu terlihat langsung, tetapi dampaknya sangat signifikan terhadap komoditas ekspor Indonesia.

Banyak negara tujuan ekspor cenderung mencari kelemahan produk untuk menekan harga jual, yang semakin memperburuk daya saing produk Indonesia.

“Di pasar global, persaingan sering tidak kasat mata, tetapi sangat nyata dampaknya. Pelaku usaha ekspor menghadapi tantangan besar untuk memastikan produk mereka tetap kompetitif. Jika pajak naik, biaya tambahan ini akan membuat produk kita lebih mahal, sementara negara lain terus berupaya menemukan kekurangan produk kita agar tidak laku atau dijual dengan harga rendah,” jelas Arief.

Ia juga menilai waktu pemberlakuan kebijakan ini kurang tepat. Menurutnya, pemerintah seharusnya memberikan waktu lebih panjang sebelum kembali menaikkan tarif PPN.

Kenaikan dari 10% menjadi 11% baru saja diberlakukan, tetapi dampaknya terhadap pelaku usaha belum sempat dievaluasi. Kini pemerintah sudah merencanakan kenaikan baru menjadi 12%.

“Seharusnya pemerintah memberi waktu dulu bagi pelaku usaha untuk beradaptasi. Biarkan kebijakan berjalan setidaknya selama satu tahun sebelum menaikkan lagi. Kenaikan pajak secara berturut-turut ini akan menambah tekanan, terutama bagi pelaku ekspor yang harus bersaing di pasar internasional,” tegasnya.

Arief mengingatkan bahwa kebijakan seperti ini tidak hanya berdampak pada pelaku usaha, tetapi juga pada perekonomian secara keseluruhan.

Jika pelaku usaha kesulitan menekan biaya operasional akibat kenaikan pajak, maka daya saing produk Indonesia di pasar global akan semakin tergerus.

Ia berharap pemerintah tidak hanya mengejar peningkatan pendapatan negara melalui pajak, tetapi juga memikirkan bagaimana mendukung pelaku usaha yang menjadi ujung tombak ekspor nasional.

“Kami berharap kenaikan pajak ini disertai dengan kebijakan yang membantu kami di lapangan. Jangan hanya membebankan pembayaran pajak, tetapi kesulitan yang kami hadapi tidak mendapat perhatian. Pemerintah harus memberikan kemudahan, seperti subsidi transportasi, insentif, atau fasilitas lain yang dapat meringankan beban kami,” kata Arief.

Ia juga menegaskan bahwa sektor ekspor memiliki tantangan yang sangat unik dibandingkan sektor lainnya. Sebagai pelaku usaha yang berhadapan langsung dengan pasar internasional, mereka harus bersaing dengan negara-negara lain yang juga menargetkan pasar yang sama.

Hal ini memerlukan dukungan dari pemerintah untuk memastikan bahwa produk Indonesia tetap kompetitif.

“Kami menghadapi banyak koefisien biaya tambahan karena kenaikan ini, meskipun hanya 1%. Dampaknya tidak kecil, terutama karena kami harus bersaing dengan seluruh dunia. Negara tujuan ekspor pasti akan mencari cara untuk menekan harga produk kita agar tidak laku. Jika pemerintah hanya menaikkan pajak tanpa memberikan dukungan, ini akan menjadi tantangan besar bagi kami,” tutup Arief.

Pelaku usaha ekspor berharap pemerintah mempertimbangkan dampak kebijakan kenaikan PPN ini dengan matang.

Selain memberikan waktu adaptasi, pemerintah diharapkan dapat menghadirkan kebijakan yang mendorong daya saing produk Indonesia di pasar global.

Tanpa dukungan konkret, pelaku usaha ekspor akan terus menghadapi kesulitan yang semakin menekan keberlangsungan bisnis mereka.

Untuk informasi, Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025.

Penerapan PPN naik menjadi 12 persen sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Pemerintah menerapkan Kebijakan ini untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBB).

Meski demikian, kenaikan PPN menjadi 12 persen tersebut menjadi polemik dan perbincangan di tengah masyarakat.

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak atas setiap pertambahan nilai konsumsi barang dan jasa.

Pertambahan nilai suatu barang atau jasa berasal dari akumulasi biaya dan laba selama proses produksi hingga distribusi, meliputi modal, upah, sewa telepon, listrik, serta pengeluaran lainnya.

PPN termasuk jenis pajak tidak langsung. Artinya, konsumen sebagai penanggung pajak tidak langsung menyetorkan pajak yang dibayar kepada negara, melainkan pedagang atau pengusaha lah yang melapor.

Pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah konsumen akhir. Sementara yang berkewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN adalah pedagang/penjual.

Secara umum, tujuan PPN sama seperti pajak lainnya, yakni untuk menambah pemasukan negara dan membiayai pengeluaran program-program yang diterapkan pemerintah.

Barang yang tidak dikenai PPN 12 persen umumnya adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak alias sembako. Jenis barang tersebut antara lain beras, kedelai, jagung, sagu, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Dalam UU HPP Pasal 4A dan 16B juga disebutkan, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan makanan yang disediakan oleh usaha jasa boga (katering) juga tidak dikenai PPN. PPN juga tidak dikenakan untuk transaksi uang, emas batangan, dan surat berharga, seperti saham dan obligasi, di pasar keuangan.

Barang yang dikenai PPN 12 persen adalah barang-barang selain kategori di atas, termasuk beberapa kebutuhan keseharian lainnya. Misalnya belanja pakaian, sepatu, alat elektronik, perlengkapan mandi dan kebersihan rumah, obat-obatan bebas, hingga kosmetik.

Adapun jenis jasa yang tidak dikenai PPN 12 persen adalah pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, pendidikan, kesenian dan hiburan, angkutan umum, keagamaan, keuangan, asuransi, keagamaan, penyiaran (tanpa iklan), serta jasa tenaga kerja.

Ada sejumlah alasan mengapa pemerintah menaikkan PPN naik menjadi 12 persen, yang pertama adalah untuk mendongkrak pendapatan negara. PPN merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara dan berperan penting untuk mendanai berbagai program pemerintah.

Pemerintah juga menaikkan PPN menjadi 12 persen untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Dengan penerimaan pajak yang meningkat, diharapkan penggunaan utang menjadi berkurang dan stabilitas ekonomi negara terjaga dalam jangka panjang. Kemudian, alasan lain kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah untuk menyesuaikan standar internasional

Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, menyebut kebijakan tersebut kurang tepat, terutama karena situasi perekonomian saat ini masih lesu.

Menurut Bob, pemerintah seharusnya menunggu hingga perekonomian pulih sebelum memberlakukan kenaikan PPN. “PPN naik [menjadi 12%] dalam situasi ekonomi lesu, saya kira kurang bijak, ya. Mestinya ditunggu sampai situasi ekonomi membaik,” ujarnya, Selasa (19/11/2024).

Lebih lanjut, Bob menekankan bahwa kenaikan PPN akan berdampak pada daya saing industri di tingkat regional. Ia mengingatkan bahwa tarif PPN Indonesia saat ini sudah termasuk yang tertinggi di kawasan ASEAN. Kondisi ini berpotensi melemahkan posisi industri Indonesia dalam persaingan global, yang pada akhirnya dapat memengaruhi perekonomian nasional.

“Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak kenaikan ini terhadap daya saing industri kita. Tarif PPN di Indonesia sudah cukup tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya,” jelas Bob.

Selain itu, Bob menyoroti dampak kenaikan PPN terhadap konsumen. Dalam situasi daya beli masyarakat yang masih lemah, tambahan beban berupa kenaikan pajak justru dapat memperburuk kondisi ekonomi. Ia khawatir, kebijakan ini akan menekan aktivitas ekonomi secara keseluruhan.

“Kenaikan PPN dalam kondisi daya beli yang lemah berpotensi memberatkan konsumen. Jika volume ekonomi menurun, dampaknya justru bisa menyebabkan pendapatan pajak pemerintah berkurang,” katanya.

Di tengah rencana kenaikan PPN, Bob mengungkapkan bahwa banyak perusahaan telah berupaya mengantisipasi kenaikan biaya operasional. Salah satu langkah yang diambil adalah efisiensi untuk menjaga agar harga barang tetap stabil.

Namun, ia menekankan bahwa efisiensi ini memiliki batasan dan tidak bisa dilakukan terus-menerus tanpa menurunkan kualitas atau kapasitas produksi.

“Saat ini perusahaan-perusahaan sudah melakukan berbagai langkah efisiensi agar kenaikan biaya tidak langsung berdampak pada harga barang. Namun, upaya ini juga tidak bisa dilakukan tanpa batas. Jika terlalu berat, perusahaan bisa kehilangan daya saing,” terangnya.

Bob berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali waktu dan strategi kenaikan PPN agar kebijakan tersebut tidak menambah beban bagi masyarakat maupun pelaku usaha. Ia juga mendorong adanya dialog antara pemerintah dan sektor swasta untuk menemukan solusi yang lebih bijaksana dan berimbang.

“Kami berharap pemerintah tidak hanya melihat kenaikan ini dari sisi target penerimaan pajak, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan. Perlu ada sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha untuk menjaga stabilitas ekonomi,” pungkasnya.