KabarMakassar.com — Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menyatakan bahwa dinamika Pemilihan Presiden AS dan ketegangan geopolitik global telah memberikan dampak negatif terhadap nilai tukar rupiah dan arus modal yang masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Perry menambahkan bahwa situasi ini harus direspons dengan hati-hati karena dapat memengaruhi kestabilan pasar keuangan dan perekonomian nasional.
“Tekanan dari faktor eksternal seperti ini memberikan tantangan bagi negara-negara berkembang. Kami perlu terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan arus modal masuk dengan langkah-langkah yang tepat,” ujar Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu (06/11) di Jakarta.
Perry juga memproyeksikan bahwa nilai tukar rupiah pada triwulan IV 2024 kemungkinan akan berada di kisaran Rp15.825 per dolar AS, dengan rata-rata nilai tukar di triwulan III 2024 tercatat pada posisi Rp15.789.
Meski terjadi tekanan, Perry menegaskan bahwa Bank Indonesia tetap berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang merupakan bagian dari mandat BI untuk mendukung kestabilan ekonomi Indonesia.
“Kami berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, sebagai bagian dari tugas dan mandat kami untuk mendukung perekonomian Indonesia tetap tumbuh secara stabil,” tambah Perry.
Diketahui, nilai tukar rupiah kembali menghadapi tekanan pada penutupan perdagangan Rabu (06/11) kemarin dengan mencatatkan pelemahan sebesar 0,53% atau 84 poin, berakhir di posisi Rp15.833 per dolar AS.
Pelemahan ini terjadi seiring dengan penguatan indeks dolar AS yang tercatat naik 1,56% pada level 105,03 pada pukul 15:32 WIB.
Kenaikan tajam dolar AS ini dipicu oleh serangkaian faktor global, terutama dinamika Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) dan ketegangan geopolitik yang tengah berlangsung, yang memberikan dampak langsung pada nilai tukar dan pasar keuangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pada awal perdagangan sebelumnya, rupiah sudah menunjukkan tren pelemahan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka dengan penurunan 0,58% atau 91,5 poin di posisi Rp15.840 per dolar AS.
Sementara itu, penguatan dolar AS juga berlanjut, dengan indeks dolar AS yang menguat hingga 1,18%, mencapai posisi 104,540 pada pagi hari. Dampak penguatan dolar AS ini tidak hanya terasa pada rupiah, tetapi juga pada mata uang lainnya di kawasan Asia, seperti yen Jepang yang melemah 1,08%, dolar Singapura turun 0,66%, baht Thailand terdepresiasi 0,65%, dan yuan China yang melemah 0,35% terhadap greenback.
Pelemahan rupiah terus berlanjut hingga sesi pertama perdagangan, dengan rupiah tercatat berada di posisi Rp15.853 per dolar AS pada pukul 13:59 WIB, mengalami penurunan sebesar 0,88%.
Penguatan dolar AS semakin tajam pada saat yang sama, dengan indeks dolar AS terus melesat 1,72% ke level 105,20. Hal ini menunjukkan bahwa sentimen pasar global yang mendukung dolar AS semakin kuat, sementara mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tertekan dengan volatilitas yang semakin tinggi.
Penguatan dolar AS ini tidak lepas dari faktor eksternal yang berperan penting, seperti hasil Pemilihan Presiden AS yang tengah berlangsung dan ketegangan geopolitik di berbagai kawasan.
Dalam Pemilu AS kali ini, ketidakpastian politik antara dua kandidat, Donald Trump dan Kamala Harris, terus memberikan dampak signifikan pada pasar keuangan global.
Jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa Trump unggul sementara dengan 60.508.879 suara atau 51% serta perolehan 230 suara electoral college, yang memberi tekanan pada pasar dan memperburuk ketidakpastian ekonomi.
Ketegangan yang terjadi di Timur Tengah juga menambah kekhawatiran pasar terhadap potensi eskalasi konflik yang dapat mempengaruhi perekonomian global.
Sementara itu, Bank Indonesia juga memproyeksikan bahwa The Federal Reserve (The Fed) AS kemungkinan akan menurunkan suku bunga acuan menjadi 4,5% pada tahun 2024, dengan kemungkinan penurunan lebih lanjut pada 2025.
Namun, Perry mengingatkan bahwa ketegangan geopolitik dapat mempengaruhi laju penurunan suku bunga The Fed, yang pada akhirnya juga akan berdampak pada pasar global.
“Meski ada proyeksi penurunan suku bunga The Fed, ketegangan geopolitik yang terjadi saat ini bisa mempengaruhi keputusan The Fed dalam menentukan arah kebijakan moneter mereka,” ujarnya.
Untuk menghadapi tekanan eksternal yang datang dari penguatan dolar AS dan ketegangan geopolitik, BI memastikan bahwa mereka akan terus melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Selain itu, BI juga akan memperkuat kebijakan operasi moneter yang bertujuan untuk mendukung pasar uang domestik agar tetap dalam kondisi likuiditas yang baik.
Perry juga menambahkan bahwa Bank Indonesia tetap berkoordinasi dengan pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk memastikan stabilitas ekonomi nasional dalam menghadapi berbagai tantangan global.
Pada rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Oktober 2024, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6%, dengan suku bunga Deposit Facility di 5,25% dan Lending Facility di 6,75%. Kebijakan ini tetap bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas ekonomi dan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Selain itu, BI juga melihat potensi untuk menurunkan suku bunga pada tahun 2025, guna mendukung sasaran inflasi dan menciptakan stabilitas ekonomi yang lebih baik.
Perry menyatakan bahwa kebijakan moneter pada tahun 2025 akan tetap fokus pada pencapaian keseimbangan antara pro-stability dan pro-growth, untuk memastikan perekonomian Indonesia dapat tumbuh secara sehat di tengah tantangan global.
Dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, Bank Indonesia juga berencana untuk memperkuat kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) yang bertujuan untuk mendorong kredit dan pembiayaan di sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja tinggi.
Program ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat, terutama menjelang tahun 2025.
Sebagai bagian dari upaya digitalisasi ekonomi, Bank Indonesia juga menargetkan untuk mencapai 50 juta pengguna QRIS dan 40 juta merchant pada tahun 2025, dengan volume transaksi mencapai 5,5 miliar transaksi.
BI juga berencana untuk meningkatkan volume transaksi digital sebesar 25%, sejalan dengan rencana pengembangan Rupiah Digital dan implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia yang mencakup inovasi dalam bidang pembayaran digital.
Dengan berbagai langkah kebijakan yang adaptif dan proaktif, Bank Indonesia berharap dapat meredam dampak negatif dari ketegangan geopolitik dan penguatan dolar AS, sekaligus menciptakan perekonomian Indonesia yang lebih berkelanjutan dan tangguh dalam menghadapi ketidakpastian global yang terus berkembang.