kabarbursa.com
kabarbursa.com

Rupiah Di Level 15.647 di Akhir Pekan, Terganjal Sentimen Global dan Ketegangan Geopolitik

Rupiah Di Level 15.647 di Akhir Pekan, Terganjal Sentimen Global dan Ketegangan Geopolitik
Ilustrasi KabarMakassar
banner 468x60

KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah mengalami tekanan di penghujung pekan, Jumat (25/10) kemarkn, dengan penutupan melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah di pasar spot ditutup pada level Rp 15.647 per dolar AS, melemah sebesar 0,40 persen dibandingkan hari sebelumnya. Sepanjang pekan ini, rupiah di pasar spot terdepresiasi sebesar 0,92 persen, sementara kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) mencatat pelemahan lebih dalam, yakni 1,06 persen, dan berakhir pada level Rp 15.629 per dolar AS.

Anjloknya nilai rupiah ini disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal yang mendorong pelaku pasar untuk mencari aset yang lebih aman, seperti dolar AS. Salah satu faktor utama adalah kekhawatiran terhadap pemulihan ekonomi China yang masih diselimuti ketidakpastian.

Pemprov Sulsel

Kekhawatiran ini kembali mengemuka setelah beberapa pejabat internasional menunjukkan keraguan terhadap efektivitas stimulus ekonomi China dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Beberapa pejabat keuangan yang memberikan pandangan skeptis, termasuk Menteri Keuangan AS Janet Yellen,

Menteri Keuangan Brazil Fernando Haddad, dan Direktur IMF Kristalina Georgieva, mempertanyakan dampak jangka panjang dari stimulus tersebut. Pandangan ini meningkatkan sentimen negatif di pasar global, yang akhirnya turut menekan pergerakan rupiah.

Di samping itu, ekspektasi kenaikan “neutral rate” dari Federal Reserve AS juga menambah tekanan bagi mata uang Garuda sepanjang pekan ini. Dengan potensi suku bunga yang lebih tinggi, dolar AS menjadi lebih menarik bagi para investor sebagai aset safe haven, terutama di tengah ketidakpastian global.

Ketegangan yang kian memanas di Timur Tengah dan ekspektasi bahwa Trump mungkin memenangkan pemilihan presiden AS bulan depan turut memperberat posisi rupiah. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah, jika berlanjut, berpotensi memicu kenaikan harga energi global yang signifikan, yang biasanya mendorong investor mengalihkan dananya ke aset yang lebih stabil seperti dolar AS.

Dari dalam negeri, ada sentimen positif yang sedikit menyeimbangkan tekanan terhadap rupiah, yakni dari susunan kabinet pemerintahan baru yang mempertahankan beberapa sosok lama, seperti Menteri Keuangan, yang dikenal memiliki kebijakan ekonomi yang stabil dan terjaga. Keberlanjutan kebijakan ini membawa sinyal positif bagi pasar, terutama mengenai prospek stabilitas ekonomi domestik.

Meski demikian, pelaku pasar masih menantikan langkah-langkah konkret dari pemerintahan baru terkait kebijakan ekonomi ke depan, termasuk bagaimana strategi pembiayaan dan pengelolaan proyek-proyek ekonomi nasional akan dilakukan dalam waktu dekat.

Menghadapi berbagai tekanan global yang masih berlangsung, analis memperkirakan rupiah masih berpotensi melemah pada pekan depan. Pergerakan rupiah diprediksi berada di rentang Rp 15.500 hingga Rp 15.700 per dolar AS, dengan perkembangan global dan respons kebijakan dalam negeri yang akan terus dipantau.

BI Catat Capital Outflow Capai Rp6,63 Triliun

Disisi lain, Bank Indonesia (BI) melaporkan adanya aliran keluar modal asing dari pasar keuangan domestik selama periode 21 hingga 24 Oktober 2024. Data menunjukkan bahwa investor nonresiden tercatat melakukan aksi jual bersih atau capital outflow sebesar Rp6,63 triliun.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa arus keluar dana asing ini terutama berasal dari pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN).

Secara rinci, nilai jual bersih dari pasar saham mencapai Rp3,01 triliun, sementara dari pasar SBN sebesar Rp4,53 triliun. Meski begitu, Ramdan mencatat masih ada aktivitas beli bersih (neto) sebesar Rp0,91 triliun dalam bentuk Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang menunjukkan minat investor asing terhadap instrumen SRBI tetap ada.

Secara tahunan, sejak awal 2024 hingga 24 Oktober, data menunjukkan nonresiden mencatatkan beli bersih sebesar Rp44,48 triliun di pasar saham, Rp47,31 triliun di pasar SBN, dan Rp195,39 triliun di SRBI.

Tren yang sama juga terlihat sepanjang semester II 2024, dengan investor asing melakukan pembelian bersih sebesar Rp44,14 triliun di pasar saham, Rp81,27 triliun di pasar SBN, serta Rp65,04 triliun di SRBI. Angka ini menegaskan adanya kepercayaan investor asing terhadap instrumen keuangan Indonesia meski terjadi capital outflow dalam beberapa hari terakhir.

Namun, dalam perkembangan terkait risiko kredit, BI mencatat peningkatan Premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia. Per 24 Oktober 2024, premi CDS Indonesia 5 tahun mencapai 68,04 basis poin (bps), naik dari posisi 67,39 bps pada 18 Oktober 2024. Kenaikan premi CDS ini mengindikasikan meningkatnya persepsi risiko terhadap perekonomian Indonesia di mata investor global.

Dari sisi imbal hasil, tingkat yield SBN 10 tahun juga mengalami perubahan signifikan. Pada Jumat pagi, 25 Oktober 2024, imbal hasil SBN 10 tahun berada di level 6,68 persen, sedikit turun dibandingkan penutupan hari sebelumnya yang berada di 6,75 persen. Fluktuasi ini menunjukkan dinamika pasar obligasi dalam merespons berbagai perkembangan global dan domestik.

Ramdan menekankan bahwa BI akan terus memantau perkembangan pasar keuangan domestik serta faktor-faktor eksternal yang memengaruhi stabilitas keuangan Indonesia.

PDAM Makassar