KabarMakassar.com — Sepanjang pekan 14-18 Oktober 2024, nilai tukar rupiah menunjukkan pergerakan positif terhadap dolar AS. Rupiah spot ditutup pada level Rp15.481 per dolar AS, menguat 0,17 persen pada akhir pekan dibanding perdagangan sebelumnua.
Jika dibandingkan dengan penutupan pekan sebelumnya, rupiah mengalami apresiasi sebesar 0,54 persen. Sementara itu, kurs referensi Jisdor dari Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan penguatan 0,73 persen dalam sepekan, dengan penutupan pada Rp15.466 per dolar AS.
Penguatan rupiah pekan ini terjadi seiring dengan terkoreksinya indeks dolar AS (DXY), yang turun 0,11 persen menjadi 102,58. Sebelumnya, indeks dolar mencapai posisi tertinggi dalam lebih dari satu bulan setelah sembilan hari berturut-turut mengalami kenaikan. Kenaikan DXY ini didorong oleh data ekonomi AS yang menunjukkan peningkatan jumlah pekerja lebih besar dari perkiraan dan penurunan tingkat pengangguran.
Sentimen positif terhadap rupiah juga diperkuat oleh ekspektasi pasar terhadap pemerintahan baru yang akan dilantik, yakni Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, pada 20 Oktober 2024. Respon pasar menunjukkan optimisme terhadap arah kebijakan ekonomi yang diharapkan akan mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Faktor penguatan rupiah dalam sepekan terakhir memberikan angin segar bagi pasar keuangan domestik, yang sempat tertekan oleh tren penguatan dolar AS. Optimisme terhadap kebijakan pemerintahan baru dan pelemahan indeks dolar memberikan dorongan bagi nilai tukar rupiah, yang diharapkan terus stabil dalam beberapa waktu mendatang.
Dilansir dari Bloomberg, Selama satu dekade terakhir, kinerja rupiah cenderung tidak memenuhi target pemerintah, dengan hanya empat tahun (2016, 2019, 2020, dan 2021) yang berhasil mencapainya. Menurut Abdul Manap Pulungan, seorang ekonom dari INDEF, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan kinerja rupiah kurang optimal.
Ia mengungkapkan bahwa salah satu masalah utama adalah pasar keuangan valuta asing (valas) di Indonesia yang relatif dangkal. Kondisi ini membuat investor kesulitan berpindah dari satu instrumen investasi ke instrumen lainnya ketika terjadi guncangan. Di Indonesia, pilihan instrumen seperti term deposit valas atau surat berharga negara (SBN) global terbatas dan jarang diterbitkan. Hal ini, menurut Abdul, menjadi alasan mengapa pasar keuangan Indonesia kurang menarik bagi investor.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa para investor lebih memilih menanamkan modal di Singapura yang memiliki pasar lebih likuid, dengan transaksi harian mencapai 1 triliun. Sebagai perbandingan, transaksi harian di Indonesia hanya sekitar 5 miliar. Kondisi ini membuat penanaman modal di Singapura lebih menarik karena memberikan keuntungan yang cepat jika investasi dilakukan dengan cermat.
Faktor lain yang disorot adalah rendahnya cadangan devisa Indonesia. Abdul menilai bahwa sebagian besar devisa justru disimpan di luar negeri, terutama di Singapura. Hal ini menyebabkan Bank Indonesia harus sangat berhati-hati dalam melakukan intervensi pasar, agar cadangan dolar tidak terkuras habis. Menurutnya, Bank Indonesia perlu menjaga kecukupan devisa untuk membayar utang pemerintah dan kebutuhan impor industri.
Ia juga menyoroti cara perhitungan cadangan devisa yang hanya memasukkan utang pemerintah dan impor, tetapi tidak memperhitungkan utang swasta. Padahal, nilai utang swasta di Indonesia lebih besar dibandingkan utang pemerintah. Kondisi ini menyebabkan perusahaan-perusahaan besar seperti Pertamina harus mencari dolar di pasar untuk memenuhi kebutuhan impor, terutama untuk bahan bakar minyak, yang pada akhirnya turut memperburuk depresiasi rupiah.
Ditambah, dalam 1 tahun terakhir, rupiah tak hanya melemah terhadap dolar AS, tetapi juga melemah terhadap 68,4% mata uang dunia. Bahkan melemah terhadap mata uang utama di kawasan seperti dolar Singapura (4,97%), thai Bath (6,12%), peso Filipina (1,91%), dan ringgit Malaysia (8,56%).
Dua faktor utama berupa harga komoditas yang mulai meningkat serta peran SRBI dan SBN yang menjadi magnet bagi devisa Indonesia merupakan faktor yang tidak sustainable dalam menjaga rupiah.
Risikonya adalah ada potensi rupiah tertekan dalam beberapa waktu mendatang
Sebelumnya, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melaporkan bahwa nilai tukar Rupiah mencatatkan penguatan yang signifikan pada akhir September 2024, didukung oleh kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dan meningkatnya aliran modal asing.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa Rupiah menguat sebesar 2,08% secara bulanan (month-to-month) menjadi Rp15.140 per dolar AS, dibandingkan dengan posisi akhir Agustus 2024.
“Penguatan Rupiah ini tercatat lebih tinggi dibandingkan apresiasi mata uang regional seperti Won Korea, Peso Filipina, dan Rupee India yang masing-masing menguat sebesar 2,02%, 0,17%, dan 0,10%,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (18/10).
Faktor Pendorong Penguatan Rupiah
Penguatan Rupiah yang terjadi ditopang oleh komitmen BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar, menariknya imbal hasil aset keuangan domestik, serta fundamental ekonomi yang kuat. Kombinasi ini mendorong aliran modal asing terus masuk ke Indonesia.
Selain itu, cadangan devisa negara tercatat sebesar USD149,9 miliar pada akhir September 2024, cukup untuk membiayai 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. Posisi ini jauh di atas standar kecukupan internasional yang sekitar tiga bulan impor.
Dampak Ketidakpastian Global pada Oktober 2024
Namun, pada bulan Oktober 2024, hingga pertengahan bulan (15 Oktober), Rupiah mengalami pelemahan sebesar 2,82% dari bulan sebelumnya. Sri Mulyani menjelaskan bahwa penurunan ini terutama dipengaruhi oleh meningkatnya ketidakpastian global yang disebabkan oleh eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan akhir tahun 2023, nilai tukar Rupiah hanya terdepresiasi sebesar 1,17% secara tahun kalender (year-to-date), lebih baik daripada pelemahan yang dialami oleh Peso Filipina, Dolar Taiwan, dan Won Korea.
Ke depan, Rupiah diproyeksikan akan kembali menguat seiring dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang baik, rendahnya inflasi, dan menariknya imbal hasil aset keuangan di Indonesia. KSSK akan terus mengoptimalkan instrumen moneter, termasuk strategi operasi pro-pasar seperti SRBI, SVBI, dan SUVBI, guna menarik aliran modal asing dan mendukung penguatan nilai tukar.
“Seluruh instrumen moneter akan terus dioptimalkan untuk memperkuat efektivitas kebijakan dan mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah,” tutup Sri Mulyani.