kabarbursa.com
kabarbursa.com

Indonesia Alami Deflasi 5 Bulan Beruntun, Ini Penyebabnya!

Tren Deflasi Terus Berlanjut, PHK Bisa Terjadi
Ilustrasi Deflasi (Dok: KabarMakassar)
banner 468x60

KabarMakassar.com — Indonesia mencatat deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) pada September 2024, menandai deflasi kelima berturut-turut sepanjang tahun ini.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi September ini merupakan yang terparah dalam 5 tahun terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Kondisi ini terjadi di tengah penurunan harga berbagai komoditas, khususnya bahan bakar non-subsidi.

Pemprov Sulsel

Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam keterangan resminya, Selasa (01/10) menyatakan bahwa deflasi ini adalah yang paling signifikan dibandingkan bulan yang sama dalam lima tahun terakhir.

“Deflasi bulan September 2024 ini terdalam dibandingkan bulan-bulan sebelumnya dalam 5 tahun terakhir, dengan angka deflasi sebesar 0,12 persen,” kata Amalia.

Deflasi ini melanjutkan tren yang sudah terjadi sejak Mei 2024, di mana Indonesia mulai mencatat deflasi sebesar 0,03 persen. Kondisi ini terus memburuk pada bulan-bulan berikutnya dengan deflasi sebesar 0,08 persen pada Juni 2024, kemudian mencapai puncaknya di 0,18 persen pada Juli 2024.

Meski Agustus 2024 sempat menunjukkan perbaikan dengan deflasi kembali ke level 0,03 persen, pada September 2024 deflasi kembali memperdalam hingga 0,12 persen.

Penyebab Utama Deflasi: Penurunan Harga Komoditas Bergejolak

Menurut Amalia, deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini terutama disebabkan oleh penurunan harga komoditas yang tergolong bergejolak, seperti bahan bakar non-subsidi dan beberapa komoditas makanan.

Ia mencatat bahwa harga bensin dan solar turun tajam pada September 2024, yang berdampak langsung pada angka deflasi.

“Penurunan harga BBM pada bulan September, terutama untuk bahan bakar khusus non-subsidi seperti bensin dan solar, berkontribusi besar terhadap deflasi. Bensin mencatat deflasi sebesar 0,72 persen, sedangkan solar mencapai 0,74 persen,” jelas Amalia.

Penurunan harga bensin ini menyumbang andil deflasi sebesar 0,04 persen, menjadikannya deflasi terdalam sejak Desember 2023.

Kelompok makanan, minuman, dan tembakau juga menjadi penyumbang utama deflasi pada September 2024. Kelompok ini mencatat deflasi sebesar 0,59 persen, dengan kontribusi terhadap deflasi keseluruhan mencapai 0,17 persen.

Beberapa komoditas dalam kelompok ini, seperti cabai dan beras, mengalami penurunan harga yang signifikan, turut menekan inflasi.

Sebaran Deflasi di Provinsi-Provinsi Indonesia

Deflasi tidak hanya dirasakan secara nasional, tetapi juga tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Dari 38 provinsi, 24 provinsi mencatat deflasi pada bulan September 2024.

Papua Barat menjadi provinsi dengan deflasi terdalam, mencapai 0,92 persen, sedangkan Maluku Utara mencatat inflasi tertinggi dengan angka 0,56 persen. Hal ini menunjukkan adanya variasi dalam pola harga komoditas di berbagai daerah.

“Sebanyak 24 provinsi mengalami deflasi bulan ini, dengan Papua Barat mencatat deflasi terdalam sebesar 0,92 persen, sementara Maluku Utara mengalami inflasi tertinggi sebesar 0,56 persen,” ungkap Amalia.

Meskipun secara bulanan mencatat deflasi, secara tahunan (year-on-year/yoy), Indonesia masih mencatat inflasi sebesar 1,84 persen.

Inflasi ini dihitung dari perubahan indeks harga konsumen (IHK) yang naik dari 104,02 pada September 2023 menjadi 105,93 pada September 2024. Selain itu, inflasi secara tahun kalender (year-to-date/ytd) mencapai 0,74 persen hingga September 2024.

Prospek Inflasi ke Depan dan Harapan dari Ekonom

Sebelum pengumuman resmi dari BPS, Bloomberg telah mengumpulkan konsensus proyeksi dari para ekonom yang memperkirakan bahwa inflasi tahunan Indonesia akan terus mereda.

Dari 29 ekonom yang disurvei, nilai tengah proyeksi inflasi tahunan pada September 2024 adalah 2,00 persen, sedikit lebih rendah dari inflasi Agustus 2024 yang tercatat sebesar 2,12 persen. Proyeksi terendah untuk inflasi tahunan adalah 1,80 persen, sementara tertinggi mencapai 2,20 persen.

Meskipun begitu, secara bulanan, mayoritas ekonom memprediksi deflasi masih akan berlanjut pada September 2024. Konsensus memperkirakan deflasi bulan ini akan berada di level 0,02 persen, hanya sedikit lebih baik dari deflasi Agustus yang tercatat sebesar 0,03 persen.

Proyeksi tertinggi menyebutkan inflasi 0,10 persen (mtm), sementara proyeksi terendah memperkirakan deflasi mencapai 0,11 persen.

Menurut Amalia, pola deflasi ini berpotensi terus berlanjut dalam beberapa bulan ke depan, terutama jika harga komoditas global terus menurun.

Namun, ia juga menekankan pentingnya pemantauan ketat terhadap faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi inflasi, seperti kebijakan ekonomi global, harga energi, serta kondisi geopolitik yang dapat memengaruhi pasokan dan harga komoditas.

Dampak Deflasi dan Respons Pemerintah

Deflasi yang terjadi di Indonesia selama lima bulan berturut-turut memerlukan perhatian lebih, terutama terkait dampaknya terhadap perekonomian domestik. Di satu sisi, penurunan harga komoditas dapat memberikan sedikit ruang bagi konsumen untuk menikmati harga yang lebih rendah.

Namun, di sisi lain, penurunan harga yang terus menerus dapat mengindikasikan melemahnya permintaan konsumen, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Untuk merespons kondisi ini, pemerintah tengah mempertimbangkan sejumlah kebijakan untuk menjaga stabilitas ekonomi, termasuk langkah-langkah untuk menjaga daya beli masyarakat.

Salah satu kebijakan yang sedang dibahas adalah prefunding atau penarikan utang di awal untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Rencana ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan likuiditas yang cukup guna mendukung program-program strategis pemerintah.

Dengan likuiditas global yang meningkat setelah The Fed menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) pada September 2024, pemerintah berharap dapat menarik aliran modal asing ke dalam negeri melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) valuta asing.

Langkah ini diharapkan dapat membantu menutup celah kebutuhan investasi jangka panjang dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di tengah tantangan global.

Deflasi yang terjadi di Indonesia pada September 2024 menandai kelanjutan tren penurunan harga selama lima bulan berturut-turut. Faktor utama yang menyebabkan deflasi ini adalah penurunan harga komoditas, terutama bahan bakar non-subsidi, serta kelompok makanan, minuman, dan tembakau.

Meski demikian, inflasi tahunan masih tercatat sebesar 1,84 persen, memberikan sedikit sinyal positif bagi perekonomian.

Sebagai informasi, Deflasi merupakan penurunan harga barang dan jasa secara berjangka atau sekaligus dalam periode waktu tertentu. Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi, yaitu kenaikan harga barang dan jasa yang disebabkan oleh ketidakstabilan ekonomi.

PDAM Makassar