kabarbursa.com
kabarbursa.com

Rupiah Hari Ini Diprediksi Menguat, Ditopang Stimulus China dan Kebijakan The Fed

Rupiah Diprediksi Tertekan Akibat Sentimen Konsumen AS yang Menguat
Ilustrasi KabarMakassar
banner 468x60

KabarMakassar.com — Pada perdagangan hari Rabu (25/09), nilai tukar rupiah diperkirakan akan menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS), melanjutkan tren positif yang terlihat sejak awal minggu.

Berdasarkan data dari Bloomberg, rupiah pada Selasa (24/09) ditutup naik 0,13% di pasar spot, berada di level Rp15.187 per dolar AS.

Pemprov Sulsel

Di sisi lain, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah ditutup menguat tipis 0,03% ke level Rp15.186 per dolar AS.

Faktor Pendorong Penguatan Rupiah
Stabilitas aktivitas bisnis di AS pada bulan September menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi sentimen pasar global. Meski aktivitas bisnis stabil, harga rata-rata barang dan jasa di AS tercatat meningkat pada laju tercepat dalam enam bulan terakhir, yang bisa menjadi sinyal akan adanya inflasi yang lebih cepat dalam beberapa bulan mendatang.

Data ini muncul setelah Federal Reserve (The Fed) menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin minggu lalu, di mana beberapa pejabat Fed menekankan bahwa langkah ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan yang baru muncul di perekonomian. Dengan stabilitas ekonomi yang terjaga, baik di dalam negeri maupun global, potensi penguatan rupiah terlihat semakin terbuka.

Selain itu, S&P Global melaporkan bahwa Indeks Output PMI Gabungan AS untuk bulan ini mencapai 54,4, sedikit lebih rendah dibandingkan angka 54,6 pada Agustus, namun tetap berada di atas level 50, yang menandakan ekspansi. Hal ini turut memberi sinyal positif bagi perekonomian AS, meskipun ada kekhawatiran tentang inflasi dan pertumbuhan.

Kondisi Domestik dan Dampaknya Terhadap Rupiah
Dari dalam negeri, Pemerintah Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga 2024 akan stabil, didorong oleh kebijakan pemangkasan suku bunga baik oleh BI maupun The Fed.

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,06% secara tahunan (year on year/YoY), yang relatif stabil dibandingkan dengan kuartal kedua 2024 yang mencapai 5,05% YoY.

Selain itu, penurunan volatilitas di pasar keuangan mulai terlihat, dengan aliran modal asing yang kembali masuk ke pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini mengindikasikan bahwa investor global mulai merasa lebih percaya diri terhadap prospek ekonomi Indonesia.

Meski kebijakan moneter di negara-negara maju, terutama di AS, menunjukkan tren soft landing, pemerintah tetap berhati-hati terhadap kondisi geopolitik global, termasuk perkembangan Pemilu di AS, yang akan mempengaruhi arah kebijakan ekonomi negara tersebut.

Bank Indonesia (BI) juga memperkirakan bahwa dengan mulai berlangsungnya pemangkasan suku bunga, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap berada di kisaran 4,7% hingga 5,5%, dengan proyeksi rata-rata di sekitar 5,1%. Hal ini menunjukkan adanya optimisme dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah dinamika global.

Pada perdagangan hari ini, rupiah diperkirakan akan bergerak fluktuatif namun berpotensi ditutup menguat. Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah akan bergerak di rentang Rp15.130 hingga Rp15.230 per dolar AS.

Faktor regional, seperti langkah-langkah stimulus yang diberikan oleh bank sentral China, turut memberikan sentimen positif bagi penguatan rupiah. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong perekonomian China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.

Selain itu, prospek pemangkasan suku bunga lebih lanjut oleh The Fed juga semakin kuat, setelah beberapa sinyal kelesuan mulai terdeteksi di perekonomian AS. Hal ini meningkatkan daya tarik aset-aset di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

Laporan indeks keyakinan konsumen AS yang turun tajam pada Selasa malam ke level terendah sejak Agustus 2021, menjadi salah satu indikator yang memperkuat ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut.

Pasar offshore turut mencerminkan optimisme ini, di mana nilai tukar rupiah di pasar non-deliverable forward (NDF) untuk jangka satu bulan (1M) dini hari tadi ditutup menguat di kisaran Rp15.149/US$, dan pagi ini terus bergerak positif di sekitar Rp15.140/US$. Indeks dolar AS juga melemah, dengan penurunan 0,4% semalam dan pagi ini kembali turun ke level 100,28, memberikan ruang bagi penguatan rupiah.

Di pasar Asia, sebagian besar mata uang regional juga menunjukkan tren penguatan terhadap dolar AS, dipimpin oleh ringgit Malaysia yang mencatat kenaikan 1,2%, won Korea Selatan naik 0,32%, yuan offshore China menguat 0,15%, serta dolar Singapura dan dolar Hong Kong yang masing-masing menguat 0,03% dan 0,01%. Bahkan, baht Thailand mencapai level terkuatnya terhadap dolar AS sejak Maret 2022.

Lanskap ini menciptakan dukungan tambahan bagi rupiah untuk melanjutkan penguatan pada perdagangan hari ini. Secara teknikal, rupiah berpotensi menguat hingga menembus level Rp15.150/US$, yang menjadi resistance terdekat.

Jika berhasil menembus resistance tersebut, target berikutnya berada di kisaran Rp15.120 hingga Rp15.100 per dolar AS. Lebih lanjut, jika rupiah berhasil menembus level tersebut, penguatan bisa berlanjut hingga ke level Rp15.040/US$ dan Rp15.000/US$.

Namun, apabila rupiah melemah, level support yang patut diperhatikan berada di kisaran Rp15.200 hingga Rp15.250 per dolar AS, dengan support psikologis terkuat berada di level Rp15.300/US$.

Langkah Bank Sentral China, atau People’s Bank of China (PBOC), untuk memberikan stimulus ekonomi bagi negara tersebut memberikan kabar baik bagi pasar Asia, termasuk Indonesia. China merupakan mitra dagang utama Indonesia, dengan porsi ekspor Indonesia ke China mencapai 22,47% dari total ekspor nasional pada semester pertama 2024. Hal ini menjadikan Indonesia sangat bergantung pada perkembangan ekonomi di Negeri Tirai Bambu.

Sebagai perbandingan, negara-negara ASEAN lainnya memiliki ketergantungan yang jauh lebih rendah terhadap China. Malaysia, misalnya, hanya memiliki 12,04% dari total ekspor ke China, sementara Filipina dan Thailand masing-masing mencatatkan 11,15% dan 10,58%. Oleh karena itu, pemulihan ekonomi China diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja perdagangan Indonesia, yang sempat lesu pada pertengahan tahun ini.

Pada Juni 2024, pertumbuhan ekspor Indonesia hanya mencapai 1,17% secara tahunan, meskipun harga komoditas di pasar global sedang mengalami kenaikan. Oleh karena itu, jika ekonomi China berhasil bangkit, diharapkan akan membawa dorongan signifikan bagi ekspor Indonesia, sehingga kinerja perdagangan bisa kembali meningkat.