KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah mengalami penguatan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (17/09), setelah libur panjang akhir pekan.
Menurut data Refinitiv, rupiah ditutup di level Rp15.330 per dolar AS, naik 0,42% dibandingkan penutupan pada Jumat (13/09) sebelumnya. Meskipun masih bergerak di kisaran Rp15.300 per dolar AS, penguatan rupiah ini menjadi sinyal positif bagi pasar.
Di sisi lain, indeks dolar AS (DXY) yang mengukur kinerja dolar terhadap sejumlah mata uang utama juga melemah. DXY turun 0,12% ke posisi 100,644, yang turut memberi dorongan bagi penguatan mata uang Garuda.
Optimisme Pasar Terhadap Kebijakan The Fed dan BI
Penguatan rupiah didorong oleh beberapa faktor, termasuk pelemahan dolar AS serta ekspektasi pasar terhadap kebijakan moneter bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed). Pasar saat ini tengah menantikan kemungkinan penurunan suku bunga The Fed, dengan prediksi kuat bahwa suku bunga akan dipangkas antara 25 hingga 50 basis poin (bps) dari level saat ini di kisaran 5,25-5,50%.
Survei dari CME FedWatch Tool menunjukkan bahwa pelaku pasar sepenuhnya yakin bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga acuannya. Hal ini didukung oleh data inflasi AS yang terus melandai, serta tingkat pengangguran yang cenderung tinggi. Jika kebijakan ini diterapkan, hal ini diperkirakan akan semakin memperkuat mata uang di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Selain itu, pelaku pasar juga menantikan keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan pada Rabu (18/09) hari ini. Keputusan ini diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai arah kebijakan moneter domestik, yang tentunya berpotensi memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu ke depan.
Surplus Neraca Perdagangan Dorong Sentimen Positif
Selain optimisme terkait kebijakan moneter, penguatan rupiah juga didorong oleh data ekonomi domestik yang positif. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2024 mencatat surplus sebesar US$2,89 miliar. Angka ini jauh melampaui perkiraan konsensus pasar yang memprediksi surplus sebesar US$1,82 miliar.
Surplus tersebut didorong oleh peningkatan nilai ekspor sebesar 5,97% menjadi US$23,56 miliar, sementara impor tercatat lebih rendah, yakni sebesar US$20,67 miliar. Hal ini menunjukkan kinerja perdagangan yang kuat, di tengah kondisi global yang penuh tantangan.
Pudji Ismartini, Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, menjelaskan bahwa surplus ini menandai surplus neraca perdagangan Indonesia selama 52 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Prestasi ini menunjukkan ketahanan ekonomi Indonesia yang cukup kuat, terutama dalam menghadapi tekanan eksternal.
Menunggu Keputusan Bank Indonesia
Selain rilis data perdagangan, pasar juga tengah menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang akan memutuskan kebijakan suku bunga acuan. Saat ini, suku bunga acuan BI berada di level 6,25%, dengan suku bunga Deposit Facility sebesar 5,50% dan suku bunga Lending Facility di 7,00%.
Keputusan yang akan diambil oleh Bank Indonesia dianggap krusial, terutama dalam menjaga stabilitas rupiah di tengah kondisi global yang masih tidak menentu. Pasar berharap kebijakan BI yang diumumkan pada Rabu (18/09) dapat mendukung tren penguatan rupiah yang sudah mulai terlihat dalam beberapa hari terakhir.
Dengan berbagai sentimen positif yang muncul baik dari dalam maupun luar negeri, rupiah diharapkan mampu mempertahankan penguatannya. Namun, pelaku pasar tetap diingatkan untuk memperhatikan perkembangan lebih lanjut, terutama dari kebijakan moneter global yang masih berpotensi mempengaruhi arah pergerakan nilai tukar di masa mendatang.