KabarMakassar.com — Sebanyak 18 organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia meminta presiden wan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengedepankan hak-hak masyarakat pesisir.
Hal itu dirembukkan dalam Coastal and Small Islands People Summit 2024 yang merupakan pertemuan tahunan ketiga yang berlangsung di Kepulauan Banda Neira pada 8-13 September 2024.
Dalam pertemuan ini, Jaring Nusa menyampaikan sikap terhadap transisi kepemimpinan nasional menuju pemerintahan baru yang akan dinahkodai oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Dinamisator Jaring Nusa, Asmar Exwar mengatakan Indonesia merupakan negara kepulauan. Untuk itu pemerintahan ke depan harus secara sungguh-sungguh merumuskan dan mengeluarkan produk kebijakan yang memberikan jaminan dan kepastian terhadap perlindungan dan pengakuan wilayah kelola rakyat di pesisir, laut dan pulau kecil.
Ia meminta pemerintah memberikan jaminan perlindungan terhadap masyarakat di ribuan desa-desa pesisir dan wilayah adat yang terancam oleh dampak krisis iklim juga terhadap tekanan dinamis yang menyertainya dari berbagai kebijakan pembangunan yang berdampak negatif secara langsung.
“Sektoralisme pembangunan dan pengurusan sumber daya alam selama ini telah menempatkan wilayah pesisir dan kepulauan sebagai objek eksploitasi dan memunculkan multi ancaman dan kerentanan tinggi terhadap risiko bencana ekologi. Kepedulian dan keseriusan pemerintah kedepan terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan kepulauan yang lebih adil akan tercermin dari produk kebijakan yang akan dihasilkan, apakah pro terhadap masyarakat pesisir dan kepulauan serta keberlanjutan ruang hidup mereka atau kepada investasi padat modal tetapi menimbulkan kerentanan dan bencana bagi kehidupan masyarakat,” ungkapnya.
Yayasan EcoNusa, Gadri R. Attamimi menjelaskan bahwa Indonesia Timur sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati, baik hutan maupun laut, perlu dilindungi dengan kembali dikuatkannya kearifan lokal yang sudah mengakar di Masyarakat.
“Dengan mendorong kearifan lokal yang berbasis masyarakat tersebut kita dapat menghindari lajunya daya rusak keanekaragaman hayati di Indonesia Timur. Perlunya political will pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan produk hukum bersama dan tidak tumpang tindih dalam menjaga kearifan lokal di Indonesia Timur. Ini sejalan dengan nafas pembukaan UUD 1945 alinea keempat melindungi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,” pungkasnya.
Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil WALHI Nasional, Parid Ridwanuddin mengatakan pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka wajib menempatkan keadilan ekologis dan atau keadilan iklim serta pemenuhan hak-hak masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya di kawasan Timur Indonesia, sebagai agenda utama pemerintahannya.
“Tak hanya itu, proyek ekstraktif dan neo ekstraktif -seperti pertambangan pasir laut, reklamasi, Penangkapan Ikan Terukur, pariwisata skala besar yang meminggirkan masyarakat harus dihentikan secara total dan permanen demi terwujudnya keadilan antar generasi di Indonesia. Ke depan, agenda keadilan iklim bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil harus menjadi agenda arus utama dalam rencana pembangunan,” ucapnya.
Direktur WALHI Maluku Utara, Faizal Ratuela menegaskan bahwa Walhi Maluku Utara melihat satu dekade arah kebijakan pembangunan negara gagal memberikan keadilan bagi masyarakat kepulauan terutama di kawasan timur Indonesia.
Arah pembangunan yang digaungkan oleh pemerintah saat ini kata dia sebagai solusi menurunkan angka kemiskinan justru hanya menguntungkan segelintir orang (oligarki) di negara ini, sementara rakyat terutama di wilayah timur indonesia mengalami keterpurukan ekonomi dan dipaksa menanggung beban bencana ekologi.
Kawasan Indonesia timur yang sebagian besar wilayah kepulauan berada pada jalur ring of fire serta jalur gempa dimana wilayah timur terutama kepulauan Sulawesi, Maluku, Maluku Utara dan Papua yang berada pada pertemuan 3 lempengan diantaranya lempengan Eurasia, lempengan laut Filipina dan lempengan pasifik sehingga sangat rentan terhadap bencana.
“Pemberian ruang terhadap industri ekstraktif yang saat ini dilakukan di kawasan timur indonesia terutama wilayah pesisir laut dan pulau kecil melalui skema proyek strategis nasional justru akan mengakibatkan tingginya kerentanan masyarakat terhadap bencana .ekologis. untuk itu Walhi Maluku Utara secara tegas menyampaikan ke negara untuk meninjau kembali seluruh investasi industri ekstraktif yang ada di pesisir laut dan pulau kecil khususnya di kawasan timur Indonesia serta tidak lagi menerbitkan izin baru terutama untuk industri ekstraktif,” jelasnya.
Direktur Eksekutif JALAN INA, M. Yusuf Sangadji menyebut kebijakan pemerintah saat ini lebih berorientasi pada sektor ekonomi dan peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), termasuk target 30% perluasan ruang konservasi laut di tahun 2045 dan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur.
“Kebijakan tersebut berpotensi besar merampas ruang penghidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di kepulauan Maluku,” sebutnya.
Ketua Yayasan Suara Nurani Minaesa, Juli Takaliuang mengatakan masyarakat dari Pulau kecil Sangihe berharap penegakkan hukum terkait pencabutan IUP PT Tambang Mas Sangihe (TMS) harus dilakukan secara tegas oleh aparat penegak hukum.
“Beberapa waktu lalu ada tim dari Bareskrim yang sudah melakukan Penegakkan hukum, tapi terkesan hanya sekedarnya, tidak serius. Semua aktivitas pertambangan ilegal harus dihentikan, jika pemerintah serius ingin menyelamatkan pulau kecil Sangihe. Saya juga berharap, pemerintah secara khusus KKP dan KLHK mencabut Izin Reklamasi Pantai Manado Utara dan stop beri izin reklamasi yang lain. Hentikan juga penjajahan KKP terhadap nelayan dengan alasan PIT dan PNBP di Sulawesi Utara,” harapnya.
Manajer Program Perkumpulan PakaTiva Maluku Utara, Zafira Daeng Barang mengungkap ancaman perubahan iklim untuk pesisir laut dan pulau-pulau kecil, merupakan bencana yang mau tidak mau akan berimplikasi pada masyarakat pesisir terutama kelompok rentan seperti anak, perempuan, disabilitas dan inklusi sosial.
“Sehingga kita 18 anggota yang berada pada wilayah Kawasan Timur Indonesia yang berhimpun di Jaring Nusa, mendesak pada pengambil kebijakan dari tingkat Pemerintah Daerah hingga Pusat untuk merancang pembangunan sesuai dengan karakteristik wilayah kepulauan, dan membangun mitigasi, adaptasi serta resiliensi terhadap ancaman perubahan iklim,” ungkapnya.
Yayasan Tananua Flores, Pius Jodho menjelaskan bahwa pangan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Petani dan nelayan memiliki peranan penting dalam rantai pangan dari benih yang mereka tanam hingga ke meja.
Sumber pangan yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di darat dan dilaut. Saat ini kata Pius kedua sumber ini telah dicederai oleh negara dengan mengeluarkan berbagai regulasi atau kebijakan. Kebijakan tersebut telah mencederai kemandirian dan budaya gotong royong.
“Mendorong pemerintahan dibawah kepemimpinan Prabowo Gibran untuk mengembangkan pangan benih pangan lokal yang tahan terhadap perubahan iklim dan berbagai serangan hama. Petani makan dari apa yang dia tanam, ditanam apa yang petani makan,” sebut Pius Jodho.
Direktur Yayasan Bonebula, Andi Anwar menyebut isu perubahan iklim menjadi siasat pemerintah saat ini terhadap berkurangnya hasil tangkapan masyarakat nelayan di pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Sedangkan dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pembangunan untuk pelabuhan, ruang publik, pemukiman real estate yang merusak ekosistem pesisir seperti mangrove, lamun dan terumbu karang bukan menjadi isu utama dengan alasan pembangunan infrastruktur telah melalui proses AMDAL,” jelasnya.
Ketua Lembaga Pengembangan Sumberdaya Nelayan – NTB, Amin Abdullah menjelaskan perubahan iklim, limbah industri, dan perampasan ruang laut atau fishing ground nelayan di Lombok NTB telah membuat nelayan lombok timur menangkap ikan jauh sekali, dan justru ke sumba NTT, ini berdampak pada cost yg dikeluarkan dan meningkatnya resiko keselamatan nelayan dalam melakukan penangkapan ikan.
“Masifnya izin yg dikeluarkan pemerintah kepada pengusaha tambak udang skala besar di Lombok telah berdampak kepada ekosistem utama akibat limbah dari tambak udang, juga telah berkontribusi pada menyusutnya luasan mangrove karena akibat pembukaan lahan mangrove untuk tambak udang terutama hutan mangrove di luar kawasan. Perubahan iklim telah menyebabkan musim ikan menjadi tidak menentu, juga telah menyebabkan pemutihan karang dimana mana di perairan NTB. Ini semua menyebabkan menurunnya produktivitas perairan. Semua ini juga diperparah dengan kebijakan dijadikan nya beberapa wilayah perairan sebagai lokasi penambangan pasir laut di selat alas NTB,” pungkasnya.
Terakhir, PGM Malaumkarta, Sorong – Papua Barat, Jefri menjelaskan bahwa dalam Pertemuan tahunan III Jaring Nusa ini, pihakny mewakili masyarakat adat di Malaumkarta, Provinsi Papua Barat Daya.
Masyarakat adat, kata dia, terbukti berhasil menjaga sumber daya alam, khususnya hutan, pesisir dan laut sejak dulu sampai dengan hari ini.
“Kami bekerja untuk masa depan generasi di Kawasan Timur Indonesia. Kami mengingatkan kepada pemerintahan terbaru untuk melihat apa yang telah dikerjakan oleh masyarakat adat serta menyusun regulasi yang mengakui sekaligus melindungi seluruh masyarakat adat di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke,” jelasnya.