KabarMakassar.com — Sepanjang pekan kemarin, nilai tukar rupiah terus menunjukkan tren penguatan. Menurut data dari Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (6/9), rupiah berada di level Rp 15.378 per dolar Amerika Serikat (AS), mencatatkan penguatan harian sebesar 0,15%.
Tidak hanya itu, berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah juga tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,24% secara harian ke posisi Rp 15.372 per dolar AS.
Secara mingguan, rupiah berhasil menguat sekitar 0,49% di pasar spot dari level penutupan pekan sebelumnya yang berada di angka Rp 15.455 per dolar AS. Begitu pula pada kurs Jisdor, penguatan mingguan mencapai 0,65%, dengan rupiah ditutup di level Rp 15.372 per dolar AS, lebih baik dibandingkan posisi akhir pekan lalu di Rp 15.473 per dolar AS.
Penguatan nilai tukar rupiah ini didorong oleh sejumlah faktor, termasuk data ekonomi Amerika Serikat yang kurang menggembirakan, terutama di sektor ketenagakerjaan. Data tersebut memicu ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) akan segera menurunkan suku bunga.
Tak hanya itu, aliran modal asing (capital inflow) juga turut memperkuat rupiah. Investor tertarik dengan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia yang lebih menarik dibandingkan obligasi AS. Hal ini membuat SBN menjadi pilihan investasi yang lebih menguntungkan.
Selain sentimen eksternal, data cadangan devisa Indonesia yang mencatat rekor tertinggi sebesar US$ 150 miliar juga memberikan dukungan tambahan bagi penguatan rupiah. Pencapaian ini mencerminkan kondisi fundamental yang kuat dan semakin memperkuat nilai tukar rupiah.
Penguatan mata uang Garuda ini juga sejalan dengan apresiasi mata uang di kawasan Asia lainnya, yang turut terdorong oleh rilis data ADP Employment di AS. Data tersebut menunjukkan peningkatan yang lebih rendah dari ekspektasi, mengonfirmasi pelonggaran pasar tenaga kerja di negara tersebut, yang pada gilirannya memperbesar peluang penurunan suku bunga The Fed.
Memasuki pekan depan, rupiah diperkirakan akan terus bergerak menguat, didorong oleh ekspektasi perlambatan inflasi AS serta potensi pengetatan pasar tenaga kerja di negeri Paman Sam. Rupiah diprediksi akan berada di kisaran Rp 15.300 hingga Rp 15.425 per dolar AS pada awal pekan, Senin (9/9).
Meskipun potensi penguatan rupiah masih terbuka lebar, pergerakan dolar AS juga akan dipengaruhi oleh rilis data ekonomi AS, termasuk data non farm payroll. Jika data tersebut lebih kuat dari ekspektasi, dolar AS mungkin akan menguat sementara. Namun, penguatan dolar diperkirakan hanya bersifat sementara karena pasar akan terus mengantisipasi data ekonomi lain seperti inflasi konsumen dan produsen di AS.
Dari sisi domestik, investor juga akan memperhatikan data penjualan ritel serta survei kepercayaan konsumen yang berpotensi menjadi katalis positif bagi pergerakan rupiah.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) baru-baru ini merilis laporan mengenai perkembangan indikator stabilitas nilai tukar rupiah selama pekan pertama bulan September 2024.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono, dalam keterangannya yang dikutip pada Minggu (08/09), menyampaikan berbagai data penting terkait pergerakan nilai tukar rupiah, serta langkah BI dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Pergerakan Nilai Tukar Rupiah dan Yield SBN
Pada penutupan hari Kamis(05/09), nilai tukar rupiah berada di level Rp15.395 per dolar AS. Adapun Yield Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun tercatat stabil di 6,63%. Indeks Dolar (DXY), yang mencerminkan pergerakan dolar terhadap enam mata uang utama dunia, juga berada pada posisi stabil di level 101,11. Sementara itu, Yield US Treasury Note (UST) 10 tahun mengalami penurunan, berada di level 3,727%.
Pada pagi hari Jumat (06/09), rupiah dibuka lebih menguat di level Rp15.380 per dolar AS, sedangkan Yield SBN 10 tahun turun sedikit menjadi 6,59%.
Aliran Modal Asing
Bank Indonesia juga melaporkan dinamika aliran modal asing selama pekan pertama bulan September 2024. Premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia selama lima tahun naik menjadi 68,92 bps pada 5 September, lebih tinggi dibandingkan 66,21 bps pada 30 Agustus 2024.
Berdasarkan data transaksi pada 2-5 September 2024, tercatat nonresiden melakukan jual neto sebesar Rp2,49 triliun. Aliran ini terdiri dari beli neto Rp2,65 triliun di pasar SBN, Rp2,24 triliun di pasar saham, serta jual neto Rp7,38 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Secara keseluruhan, sepanjang tahun 2024 hingga 5 September, nonresiden tercatat melakukan beli neto sebesar Rp28,80 triliun di pasar saham, Rp11,15 triliun di pasar SBN, dan Rp186,92 triliun di SRBI.
Selama semester II tahun 2024, nonresiden mencatatkan beli neto sebesar Rp28,46 triliun di pasar saham, Rp45,11 triliun di pasar SBN, dan Rp56,57 triliun di SRBI.
Strategi Bank Indonesia
Erwin Haryono menegaskan bahwa Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait guna menjaga ketahanan eksternal perekonomian Indonesia. BI juga terus mengoptimalkan bauran kebijakan, termasuk langkah-langkah untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mendukung perekonomian nasional.
Indeks Dolar (DXY), yang mencerminkan kekuatan dolar AS terhadap beberapa mata uang utama dunia, dan Yield US Treasury Note (UST) 10 tahun juga menjadi fokus perhatian dalam pengambilan kebijakan BI. Kedua indikator ini memiliki dampak besar terhadap aliran modal global, yang pada gilirannya memengaruhi stabilitas nilai tukar dan ekonomi Indonesia.