kabarbursa.com
kabarbursa.com
News  

Mediasi Konflik Kepemilikan Lahan di Gaddong Makassar Belum Membuahkan Hasil

Mediasi Konflik Kepemilikan Lahan di Gaddong Makassar Belum Membuahkan Hasil
Mediasi Distaru Kota Makassar dan 2 pihak yang konflik atas pemilikan tanah (Dok : Ist).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Mediasi terkait sengketa kepemilikan lahan di Jalan Gunung Latimojong, Kelurahan Gaddong, Kecamatan Bontoala, Makassar, antara dua pihak yang berselisih belum mencapai kesepakatan yang jelas.

Pertemuan mediasi yang dilaksanakan baru-baru ini hanya membahas batas tanah berdasarkan gambar lokasi, namun belum menyertakan bukti konkret seperti surat kepemilikan tanah yang sah.

Pemprov Sulsel

Lurah Gaddong Andi Nizar, menuturkan kepemilikan tanah ini belum akurat karena yang ditampilkan hanya lampiran foto copy dari batas-batas tanah.

“Bukti yang dia lampirkan hanya gambar letak tanah dengan ukuran 18 x 18, itupun foto copynya saja. Saya tidak tahu apakah ada aslinya atau tidak, kecuali dia lampirkan aslinya maka yang menentukan itu adalah notaris dan pihak pertanahan,” ujar Nizar, usai dilakukan mediasi, Kamis (05/09).

Nizar menyebut, jika mengacu pada peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997, tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 5 disebutkan pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN), dengan elemen fungsi untuk melakukan penyusunan, pendaftaran, penetapan hak, pemetaan dan pelaksanaan pengukuran tanah.

Andi Nizar menyebutkan, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan BPN untuk mengecek status kepemilikan tanah tersebut.

“Saya minta plotting untuk melihat penetapan batas-batas tanah secara resmi melalui BPN, tapi setelah di cek, memang belum ada pendaftar atas nama itu. jadi kalau mau kita ukur juga ukur kosong karena tidak ada dasarnya. Seperti luas lahan yang dia punya, apalagi dua kubu ini saling klaim atas tanah tersebut,” kata Nizar.

Disini lain, Anggota Bidang Penertiban Dinas Tata Ruang dan Bangnan Kota Makssar (Distaru), Hermin menuturkan pihaknya sudah melaksanakan kewajiban pemberian SP 1 kepada pemilik rumah yang tidak memiliki izin membangun.

“Sudah diberi SP 1, dan itu jelas sekali dalam surat teguran kami hanya mengimbau untuk menghentikan kegiatan aktivitas pembangunan. Sekarang di mediasi kedua kami mempertemukan kedua belah pihak untuk menemukan solusi atas persoalan yang dihadapi,” tuturnya.

Setelah melalui perdebatan yang panjang. Keputusan kedua belah pihak sepakat bahwa selama belum memiliki surat izin membangun, maka bahan bangunan seperti bambu dan batu harus disingkirkan diarea lorong.

Sementara itu, salah satu warga bernama Adri mengatakan bahwa saat pemilik rumah masih melakukan pengurusan sertifikat tanah, hendaknya material dari bangunannya bisa dirapikan agar tidak mengganggu akses warga.

“Saya kira saat kita membangun harus memperhatikan sekeliling. Jadi kami minta agar bambu, batu, dan besi harus dilepas karena mengganggu akses keluar masuk motor,” kata Adri.

Sebelumnya, Distaru Kota Makassar melakukan peninjaun pada sebuah rumah yang tidak memiliki surat Izin Membangun (IMB), atas laporan dari warga setempat.

Warga mengajukan laporan, diduga karena pemilik rumah membangun tanpa adanya surat IMB dan menutup separuh jalan, sehingga mempersempit akses keluar masuk kendaraan.

“Alasan adanya tuntutan warga karena si pemilik rumah membangun di atas tanah umum. Tapi dia mengklaim kalau tanah umum itu miliknya berdasarkan gambar yang dia lampirkan ukuran 18×18. Hanya saja gambarnya tidak berdasar karena dia tidak ada surat kepemilikan tanah yang asli dari BPN. Warga merasa cemas karena pembangunan itu kian mempersempit akses keluar masuk kendaraan. Si pemilik rumah membangun teras dengan menggunakan hak umum,” kata Mila kepada KabarMakassar.com

Sehingga warga setempat merasakan kecemasan karena jalan tersebut merupkan lorong buntu. Jalan yang bisa dilewati warga hanya ada satu, dan itulah yang jadi polemik sampai sekarang. warga khawatir takutnya ada insiden kebakaran di dalam lorong namun karena akses keluar masuk yang sempit membuat rasa panik warga ini kian meningkat.

“Kita tidak mempermasalahkan dia membangun rumah, hanya saja harus ada surat kepemilikan agar kita dapat mengetahui sejauh mana tanah yang dia ukur untuk dipakai pribadi dan mempersempit lahan publik,” tandasnya.