KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) kembali menunjukkan tren pelemahan pada penutupan perdagangan Selasa (03/09) kemarin. Rupiah ditutup pada level Rp15.526 per USD, mengalami penurunan sebesar satu poin atau sekitar 0,01 persen dibandingkan dengan penutupan sebelumnya.
Penguatan dolar AS ini terutama didorong oleh meningkatnya perhatian investor global terhadap laporan ketenagakerjaan Amerika Serikat yang dijadwalkan akan dirilis pada akhir pekan ini.
Laju pelemahan rupiah hari ini memperpanjang tren negatifnya yang sudah berlangsung selama lima hari berturut-turut. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah spot berada di level Rp15.526 per dolar AS, mencatatkan penurunan tipis sebesar 0,006% dari posisi sebelumnya.
Hal yang sama juga terlihat pada kurs referensi Jisdor Bank Indonesia (BI), yang turun 0,14% menjadi Rp15.557 per dolar AS dari level Rp15.536 pada hari sebelumnya.
Penurunan nilai tukar rupiah kali ini dipicu oleh beberapa faktor, baik dari dalam maupun luar negeri. Salah satu faktor domestik yang menjadi perhatian utama adalah data terbaru dari sektor manufaktur Indonesia.
Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia menunjukkan bahwa sektor ini kembali mengalami kontraksi untuk dua bulan berturut-turut, dengan nilai PMI turun ke level 48,9 pada Agustus dari 49,3 pada Juli. Penurunan ini mencerminkan penurunan tajam dalam aktivitas manufaktur, yang kini berada pada posisi terendah sejak Agustus 2021.
Kontraksi yang terjadi di sektor manufaktur ini memperlihatkan kondisi yang semakin sulit bagi industri dalam negeri, yang pada gilirannya memberi tekanan pada nilai tukar rupiah.
Meski demikian, pelemahan rupiah masih dapat tertahan berkat tingginya permintaan investor terhadap surat utang negara (SUN) dalam lelang terbaru. Total penawaran yang masuk mencapai Rp45,48 triliun, menunjukkan masih adanya minat yang kuat terhadap aset-aset berdenominasi rupiah.
Sementara itu, dolar AS terus memperkuat posisinya, mencatatkan penguatan selama lima sesi berturut-turut. Hal ini terjadi seiring dengan persiapan para pelaku pasar di AS yang kembali beraktivitas setelah libur panjang Hari Buruh pada Senin lalu.
Indeks Dolar Bloomberg, yang mengukur kekuatan dolar terhadap sejumlah mata uang utama lainnya, naik tipis sebesar 0,2%. Selain itu, imbal hasil Treasury AS bertenor dua tahun, yang sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan moneter, juga naik satu basis poin menjadi 3,93%.
Investor global kini menantikan rilis data ekonomi AS yang akan dirilis dalam beberapa hari mendatang. Di antara data yang paling dinantikan adalah data manufaktur, jasa, dan laporan tenaga kerja non-pertanian (non-farm payrolls) yang akan dirilis pada hari Jumat.
Data ini akan menjadi indikator penting bagi pasar untuk menilai apakah Federal Reserve (The Fed) akan melanjutkan kebijakan pelonggaran moneter atau tidak.
Saat ini, pasar swap menunjukkan bahwa ada sekitar 25% kemungkinan bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga acuan lebih dari 25 basis poin pada pertemuan mereka bulan ini. Hasil dari laporan payroll yang sesuai dengan ekspektasi mungkin cukup untuk meredam harapan pasar terhadap pemotongan suku bunga yang lebih besar dalam waktu dekat.
Meskipun Ketua The Fed, Jerome Powell, telah mengindikasikan bahwa waktu untuk menyesuaikan kebijakan sudah tiba, investor masih meragukan apakah kondisi ekonomi dan inflasi di AS sudah cukup untuk memicu pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin pada pertemuan yang dijadwalkan pada 17-18 September mendatang.
Oleh karena itu, data ekonomi yang akan dirilis dalam minggu ini, terutama data ISM Manufacturing PMI, menjadi sangat krusial.
ISM Manufacturing PMI untuk Agustus dijadwalkan akan dirilis pada Selasa malam waktu setempat. Jika data ini menunjukkan pemulihan yang lebih baik dari perkiraan, dolar AS diperkirakan akan terus menguat, yang dapat mempengaruhi ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga The Fed.
Selain faktor dari Amerika Serikat, ketidakpastian politik di Eropa dan pemilu AS yang semakin mendekat juga memberikan tekanan tambahan pada mata uang-mata uang utama dunia. Hal ini membuat dolar AS tetap menjadi pilihan aman bagi para investor global.
Namun, tekanan dari berbagai sisi ini juga menyebabkan dolar Australia melemah paling signifikan, sementara yen Jepang menunjukkan kinerja yang lebih baik setelah Gubernur Bank of Japan, Kazuo Ueda, mengisyaratkan rencana untuk memperketat kebijakan moneter lebih lanjut.
Pada perdagangan hari ini, Rabu (04/09), nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan berada di bawah tekanan seiring dengan ekspektasi data ISM Manufacturing PMI AS yang dirilis malam nanti.
Data tersebut diperkirakan akan menunjukkan perbaikan setelah empat bulan berturut-turut mengalami kontraksi, yang bisa memperkuat posisi dolar AS lebih lanjut dan memberikan tekanan tambahan pada rupiah.
Dengan berbagai faktor eksternal dan internal yang bermain, pelaku pasar diharapkan tetap waspada terhadap perkembangan terbaru, terutama terkait kebijakan moneter global dan kondisi ekonomi dalam negeri yang dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar dalam beberapa waktu ke depan.