KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar AS pada perdagangan hari Jumat (30/08) kemarin. Rupiah ditutup melemah sebesar 31,5 poin atau sekitar 0,20 persen, dengan kurs ditutup pada Rp15.455 per dolar AS, turun dari posisi sebelumnya di Rp15.423 per dolar AS. Pelemahan ini terjadi seiring dengan penguatan dolar AS yang didukung oleh berlanjutnya tanda-tanda ketahanan ekonomi Amerika Serikat.
Penguatan dolar AS tidak terlepas dari rilis data produk domestik bruto (PDB) AS pada Kamis sebelumnya, yang menunjukkan bahwa ekonomi negara tersebut tumbuh lebih cepat dari yang diperkirakan pada kuartal kedua tahun 2024.
Data ini menegaskan bahwa ekonomi AS tetap kuat, meskipun menghadapi berbagai tantangan global. Kuatnya data PDB ini memberikan sentimen positif bagi dolar, mengakibatkan tekanan pada mata uang lainnya, termasuk rupiah.
Selain itu, pasar sedang menantikan data indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), indikator inflasi yang menjadi acuan utama Federal Reserve (Fed). Data PCE ini akan dirilis pada Jumat dan diperkirakan menunjukkan sedikit peningkatan inflasi untuk bulan Juli.
Indikator ini sangat penting karena akan menjadi acuan bagi Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga ke depan. Dengan kondisi ekonomi yang masih kuat dan inflasi yang relatif stabil, Fed kemungkinan besar tidak akan terburu-buru untuk menurunkan suku bunga secara agresif.
Sementara itu, ekspektasi pasar terhadap pelonggaran suku bunga Fed pada bulan September masih bertahan. Menurut data dari CME Fedwatch, mayoritas pelaku pasar memperkirakan pemotongan suku bunga akan dilakukan, namun dengan besaran yang relatif kecil, yaitu 25 basis poin.
Di sisi lain, dari Jepang, data terbaru menunjukkan inflasi di Tokyo sedikit lebih tinggi dari perkiraan pada bulan Agustus. Inflasi inti di sana kembali mendekati target tahunan Bank of Japan (BOJ) sebesar 2 persen, didorong oleh peningkatan belanja swasta.
Kenaikan inflasi ini memberi ruang bagi BOJ untuk mempertimbangkan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut dalam waktu dekat. Di tengah data inflasi yang meningkat, pasar cenderung mengabaikan hasil produksi industri dan penjualan ritel yang kurang memuaskan, fokus pada prospek kenaikan suku bunga BOJ.
Di dalam negeri, pemerintah Indonesia berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap stabil pada tingkat 5,1 persen pada kuartal ketiga tahun 2024. Untuk mencapai target tersebut, perhatian lebih akan diberikan pada sektor konsumsi, investasi, ekspor, dan impor.
Pemerintah juga terus memantau perkembangan ekonomi global dan domestik, guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang stabil. Stabilitas politik pasca Pemilihan Presiden 2024 juga menjadi faktor yang memberikan dukungan positif bagi perekonomian.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2024 tercatat tumbuh sebesar 5,05 persen (year on year/yoy). Pertumbuhan ini didorong oleh kuatnya permintaan domestik dan peningkatan kinerja ekspor.
Konsumsi rumah tangga sebagai kontributor utama tumbuh sebesar 4,93 persen (yoy), didukung oleh periode libur panjang hari besar keagamaan dan libur sekolah yang lebih lama dari biasanya.
Daya beli masyarakat tetap terjaga berkat pengendalian inflasi yang efektif, kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), pemberian gaji ke-13 dengan tunjangan kinerja 100 persen, serta penciptaan lapangan kerja baru yang signifikan di awal tahun 2024 yang mencapai 3,55 juta.
Konsumsi pemerintah juga menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 1,42 persen, terutama didukung oleh penyerapan belanja modal dan belanja barang yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 39,5 persen dan 6,1 persen. Hal ini menunjukkan adanya komitmen pemerintah dalam mendorong perekonomian melalui belanja yang efektif dan efisien.
Di sisi lain, di Amerika Serikat, indikator inflasi yang menjadi favorit Fed, yaitu indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi inti, menunjukkan kenaikan yang moderat pada bulan Juli. Indeks ini mencatat kenaikan 0,2 persen dibandingkan bulan Juni, dan dalam tiga bulan terakhir naik 1,7 persen—kenaikan paling lambat sepanjang tahun ini. Dari tahun lalu, indeks ini meningkat 2,6 persen.
Pengeluaran konsumen, yang sudah disesuaikan dengan inflasi, juga menunjukkan akselerasi sebesar 0,4 persen, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya. Laporan ini memperkuat pandangan bahwa Federal Reserve akan segera memulai pelonggaran kebijakan moneter, seiring dengan tanda-tanda melemahnya pasar tenaga kerja dan inflasi yang mulai mendingin.
Hal ini juga menjelaskan mengapa Ketua Fed Jerome Powell menyatakan pekan lalu bahwa waktunya sudah tiba bagi bank sentral untuk mulai menurunkan suku bunga, kemungkinan besar pada bulan depan.
Dengan berbagai perkembangan ini, pasar global terus mencermati bagaimana dinamika kebijakan moneter dan data ekonomi akan mempengaruhi pergerakan nilai tukar mata uang dan kondisi ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia.