KabarMakassar.com — CEO PT Duta Politika Indonesia, Dedi Alamsyah Mannaroi menyebut bahwa Pilkada kali ini merupakan salah satu Pemilu paling aneh yang pernah ia temui selama karirnya sebagai konsultan politik.
Dengan pengalaman lebih dari 14 tahun di dunia politik, Dedi menilai Pilkada 2024 memiliki banyak ketidakpastian dan penyimpangan dari pola sebelumnya.
“Biasanya, kami sudah terikat kontrak pendampingan eksklusif dengan salah satu pasangan calon setidaknya enam bulan sebelum pemilihan. Bahkan, untuk inkamben, kami sudah mendampingi mereka sebelum mereka memiliki pasangan,” ujar Dedi dalam Webinar Ekonomi Makro, Telisik Peluang Pasar Modal Jelang Pilkada 2024, Via Zoom, Kamis (22/08)
Namun, tahun ini, kata dia, situasinya berbeda. Banyak calon belum jelas apakah mereka bisa maju atau tidak, yang membuat persiapan politik menjadi lebih lambat.
Menurut Dedi, faktor ekonomi makro memang mempengaruhi kondisi ini, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak mikro yang dirasakan lebih buruk dibandingkan Pilkada sebelumnya.
“Ini tidak hanya terjadi di Sulawesi Selatan, tetapi juga di daerah lain seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Jawa Tengah,” tambahnya.
Dedi juga mengkritik fenomena politik yang semakin sentralistik, di mana semua keputusan politik harus melalui pusat, khususnya Jakarta. Proses pengajuan rekomendasi partai yang dulu bisa cepat dilakukan di daerah, kini harus melalui persetujuan dari pusat dengan biaya politik yang tinggi.
“Di Sulsel, satu kursi partai bisa bernilai hingga 1-2 miliar rupiah. Bayangkan jika seseorang memiliki 10 kursi, berapa besar biaya politik yang harus dikeluarkan,” ungkap Dedi.
Ia menekankan bahwa saat ini, masyarakat daerah hanya dilibatkan pada saat pemilihan saja, sementara realitasnya partai politik sering kali lepas tangan setelah memberikan rekomendasi kepada kandidat.
Lebih lanjut, Dedi menyatakan bahwa Pilkada kali ini bukan lagi pilihan rakyat, melainkan pilihan pusat.
“Ini bukan Pilkada pilihan rakyat, tapi pilihan pusat, pilihan KIM (Kabinet Indonesia Maju), pilihan Jakarta,” tegasnya.
Ia menyesalkan sentralisasi kekuasaan yang membuat Pilkada lebih diatur oleh elit pusat dibanding aspirasi masyarakat daerah.
Dedi juga memberikan beberapa pesan penting bagi masyarakat dalam menghadapi Pilkada dan dinamika politik saat ini.
Pertama, ia mengingatkan agar masyarakat bijak dalam menggunakan media telekomunikasi dan tidak mudah terpengaruh oleh berita-berita yang belum tentu benar.
“Selaraskan otak dan jempol, jangan terlalu berlebihan dalam merespon berita, karena pada akhirnya hal itu bisa merugikan diri sendiri,” pesannya.
Kedua, Dedi meminta masyarakat untuk memilih calon yang benar-benar dapat membawa kesejahteraan, bukan hanya karena calon tersebut menawarkan uang.
“Jangan menggadaikan suara hanya karena uang. Pilihlah calon yang berkomitmen terhadap kesejahteraan umat,” tegasnya.
Terakhir, ia menyarankan agar masyarakat lebih fokus pada bisnis jangka panjang yang stabil dan tidak mudah terdampak oleh perubahan politik.
“Jika mau berbisnis, pilih bisnis yang tidak mudah rusak bahan bakunya, yang punya masa depan jangka panjang,” tutup Dedi.
Dedi menegaskan, meski ekonomi mikro tidak terlalu terdampak positif oleh Pilkada, masyarakat harus tetap cermat dan bijaksana dalam melihat peluang di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian ini.