KabarMakassar.com — Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah aturan pencalonan kepala daerah dalam Pilkada Serentak 2024, skenario politik di Sulawesi Selatan (Sulsel) mengalami dinamika yang menarik.
Perubahan ini terutama fokus pada persyaratan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung calon kepala daerah, yang sekarang lebih rinci berdasarkan jumlah penduduk di provinsi tersebut.
Diketahui, MK mengubah Pasal 40 nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam aturan baru pencalonan Pilkada, MK menambah Pasal 40 ayat 1 dengan lebih detail sebagai berikut:
a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut
b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai dengan 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut.
c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai dengan 12 juta, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut.
d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut.
Sedangkan, partai politik atau Parpol Non kursi harus Berkoalisi agar Cukup 7,5 persen Dengan keputusan baru MK terhadap UU Pilkada, maka hal ini memungkinkan semua partai atau gabungan partai politik mengusung calonnya sendiri, baik di kabupaten kota maupun tingkat provinsi.
Dimana merujuk putusan MK tersebut, maka syarat pencalonan Pilgub Sulsel akan merujuk huruf C. Sesuai daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024, jumlah pemilih di Sulsel mencapai 6.670.582. Angka 7,5 persen dari jumlah DPT Sulsel (6,6 juta) adalah 500.293.
Partai yang meraih suara cukup atau lebih dari itu bisa mengusung calon gubernur. Dengan begitu, bukan hanya Partai Nasdem yang bisa mengusung calon gubernur tanpa berkoalisi dengan 17 kursi. Tapi juga Gerindra dan Golkar.
Berdasarkan keputusan KPU Sulsel nomor 740 tahun 2024, partai besutan Prabowo Subianto itu meraih 812.563 suara pada pemilu 14 Februari lalu.
Jumlah tersebut setara 12 persen untuk mengusung calon gubernur. Begitu juga partai beringin rindang tersebut. Dimana suara Golkar berdasarkan rekapitulasi KPU Sulsel mencapai 770.454 suara atau melebih dari syarat paling sedikit 7,5 persen jumlah DPT.
Sementara partai-partai lain yang tidak mempunyai kursi di DPRD Sulsel, harus tetap berkoalisi karena jumlah suara tidak cukup 7,5 persen.
Partai tersebut adalah PSI, Perindo, Partai Garuda, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Buruh dan Partai Ummat serta PBB.
Sementata itu, partai Golkar punya pengalaman dalam sistem politik termasuk menetukan arahnya dukungannya untuk mengusung jagoang jelang Pilgub Sulsel 2024.
Bahkan, partai beringin rindang itu dianggap sangat matang dan dinamis. Dimana konstalasi politik jelang kontestasi yang dihelat pada 27 Nopember mendatang, partai paraih kedua setelah NasDem hasil Pileg 2024 lalu, tentu memiliki sikap politik menentukan pilihannya.
“Golkar itu sangat matang. Apalagi kita tahu di sulsel pernah lumbung sura golkar dimasanya. Golkar itu sangat pandai nemainkan fiksi dalam perpolitikan,” ujar Pengamat politik Unhas Makassar, DR Hasrullah kepada Kabarmakassar.com, Minggu (4/8).
Menurut Komunikolog Universitas Hasanuddin, melihat dinamisnya Pilgub saat ini, Golkar tentu sangat mempertimbangkan tokoh yang mumpuni seperti Ilham Arief Sirajuddin (IAS), Indah Putri Indriani, dan Adnan Purichta Ichsan termasuk Taufan Pawe.
“Saya melihat Golkar akan memberikan kejuatan atau surprise jelang pendaftaran kontestasi Pilgub Sulsel 2024,” ujarnya.
Selain Golkar, Hasrullah juga menilai sikap PKB, PPP maupun PDI Perjuangan memilih Danny-Azhar, tentu bentuk perlawan melawan wacana kotak kosong.
“Saya melihat paket yang mumpuni bisa bersaing. Azhar juga punya pengalaman berpolitik. Punya kapasitas dan profesional,” tuturnya.
Sedangkan, untuk poros ketiga dimungkinkan tengah menyusun arah politik Golkar di Pilgub kali ini. Untuk itu pihaknya berharap keberadaan ruang-ruang publik untuk Pilgub Sulsel tahu ini tentu masyarakat berharap demikian kepada figur atau tokoh sulsel untuk bisa bertarung.
“Opini publik soal kotak kosong. Dimana respon publik masyarakat Sulsel yang berharap tokoh-tokoh Sulsel untuk mendapatkan kesempatan yang sama,” terang Hasrullah.
Dimana sebelumnya, wacana kotak kosong menjelang Pilgub Sulawesi Selatan 2024 dianggap mencederai esensi demokrasi. Pesta demokrasi yang sejatinya memilih calon pemimpin yang dipilih langsung secara demokratis oleh masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel).
Wacana kotak kosong juga dianggap merusak percaturan politik Susel yang tenagh berlangsung sehat dan dinamis jelang pilkada setentak yang dihelat 27 November mendatang. Bahkan, kotak kosong dapat menimbulkan kegaduhan politik dikalangan elit dan berdampak kepada masyarakat Sulsel.
Dr Hasrullah juga menganggap bahwa kota kosong kemungkinan bisa terjadi seperti yang dialami pada Pilkada Makassar tahun 2018 silam. Dimana kemenangan diraih kotak kosong sehingga melahirkan sejarah perpolitikan di Sulsel.
Menurut dia, apa yang terjadi dengan pengalaman itu diharapkan tidak seperti yang kita harapkan. Sehingga harapan rakyat Sulsel, Pilgub kali ini tidak melahirkan kotak kosong. Justru diharapkan tentu berlangsung berkontestasi oleh para calon pemimpin terbaik.